Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V5 Chapter 9
Bab 9 - Lalu, Festival pun Dimulai
Hari Pertama Festival Budaya.
Yamcha Café milik kelas 2-A langsung penuh sesaat setelah dibuka, bahkan antrean mengular hingga ke lorong.
Efek dari gaun Cina memang luar biasa.
Namun, para staf di belakang layar tak punya waktu untuk bersenang-senang, sibuk mempersiapkan makanan dan minuman.
Meski namanya Yamcha Café, kami sengaja tidak berpegang pada penyajian otentik. Demi mempercepat perputaran pelanggan, menu dibatasi pada minuman dingin saja, pilihan yang tepat. Andai kami menyajikan teh Cina hangat, antrean pasti akan semakin panjang.
Pesanan berdatangan tanpa jeda. Begitu satu pesanan selesai, pesanan berikutnya sudah menunggu. Tim dapur pun bekerja tanpa henti.
"Sena-kun, bakpao-nya tidak gosong, kan?" tanya seorang anak yang bertugas memanggang di sebelahku.
"Eh!? Aduh, gawat!"
Begitu kubuka tutup pemanggang, aroma gosong langsung tercium.
Saat kubalik, bakpao putih yang seharusnya empuk justru melewati warna cokelat keemasan dan berubah hitam.
Bakpao itu jelas tak bisa disajikan. Aku segera mengangkatnya dari pemanggang dan mulai memanggang yang baru.
Untuk mengusir bau gosong, aku membuka jendela lebar-lebar.
"Kisumi, Nanamura-kun. Bisa bantu melayani pelanggan sebentar?"
Yoruka, yang mengenakan gaun Cina, memanggil dengan nada panik karena ramainya pengunjung yang melebihi perkiraan.
"Sena-kun, di sini sudah aman. Bantu Arisaka-san saja."
"Maaf, terima kasih."
Aku melepas celemek dan melangkah ke area pelanggan di balik partisi.
"Kisumi, tolong bersihkan meja yang kosong. Aku ingin anak-anak perempuan fokus melayani dan mengantarkan pesanan."
"Baik."
Karena sebagian staf harus mengatur antrean panjang di lorong, tenaga untuk melayani pelanggan jadi kurang. Ironisnya, gadis-gadis bergaun Cina yang mengatur antrean malah menarik perhatian lebih banyak orang, membuat antrean makin panjang.
"Nanamura-kun, tolong minta pelanggan yang sudah selesai makan untuk meninggalkan meja. Kalau ada yang bertingkah mencurigakan, beri peringatan juga."
"Siap!"
Aku mulai merapikan piring dan gelas kertas yang kosong.
"Sumisumi, setelah itu tolong bersihkan meja di pojok juga."
Saat Miyachiii yang menerima pesanan lewat, dia menyampaikan permintaan itu dengan suara pelan.
"Mengerti. Tempat ini benar-benar ramai, ya."
"Senang rasanya, meski melelahkan."
Miyachii tersenyum dan kembali ke dapur untuk menyampaikan pesanan.
Sementara itu, Nanamura berdiri di belakang sekelompok mahasiswa yang tampak enggan pergi meski sudah selesai makan dan bermain dengan ponsel mereka.
"Mohon maaf. Karena ada pelanggan lain yang menunggu, kami harap Anda bersedia meninggalkan meja setelah selesai makan. Juga, demi kenyamanan bersama, pengambilan gambar selain makanan dilarang. Jika Anda sempat memotret, mohon untuk menghapusnya."
Dengan suara rendah namun sopan, Nanamura memperingatkan mereka sambil tetap tersenyum.
Didukung oleh postur tubuhnya yang besar dan aura mengintimidasi, kelompok mahasiswa itu pun buru-buru berdiri sambil mengucapkan, "Terima kasih atas makanannya!"
"Kau lebih mirip satpam daripada pelayan."
"Melindungi wanita adalah kewajiban pria."
Kami pun merapikan meja bersama.
"Lucu juga orang yang suka merayu di pantai bicara seperti itu."
"Hei, itu suka sama suka. Mereka juga tertarik, kan?"
"Jangan lupa, waktu itu kau malah kabur dan meninggalkanku sendirian."
"Itu karena tak ada yang bisa melawan Kanzaki-sensei."
Bahkan Nanamura tidak berani melawan Kanzaki-sensei.
"Gara-gara itu aku dibawa pergi seperti anak kecil."
"Itu bukan masalah besar, kan. Justru itu kesempatan bagus bisa mendapat perhatian dari guru secantik Kanzaki-sensei. Lagi pula, bukankah kau pacar bohongannya?"
"Koreksi. Mantan pacar bohongan."
Aku menegaskan dengan wajah serius, menanggapi godaan Nanamura.
"Kupikir kau yang akan langsung menegur pelanggan bermaksud buruk. Kau biasanya peka soal yang seperti itu. Jangan-jangan kurang tidur lagi?"
"Ya, semalam aku latihan gitar sampai larut."
"Santai saja. Saat tampil nanti, lebih baik percaya diri. Kreativitas dalam bermain justru akan meningkat."
"Kalau itu yang bicara adalah ace tim basket, terdengar meyakinkan juga."
Meskipun musik dan olahraga adalah genre yang berbeda, aku merasa keduanya memiliki kesamaan.
Tanpa sempat beristirahat sejenak, aku terus mondar-mandir antara ruang tamu dan belakang panggung. Di tengah kesibukan itu, wajah yang kukenal muncul di ruang kelas.
"Kisumi-kun, Ei datang!"
"Ei!?"
Ei, adikku, memanggilku dengan ceria begitu melihatku.
"Eh, Ibu dan Ayah juga!?"
Tentu saja, di belakang adikku yang masih duduk di kelas empat SD itu, tampak kedua orang tuaku sebagai penjaganya.
Tak kusangka, keluarga Sena datang lagi tahun ini.
"Apa-apaan dengan 'eh' itu?"
Ibu tampak kesal dengan reaksiku yang kelewat jujur.
"Soalnya, kalian bilang tidak bisa datang tahun ini karena kerja."
"Kalau aku, karena jadwal pemotretan ditunda gara-gara klien. Papa bilang ia akan langsung naik shinkansen. Disayang banget, ya, anak Ibu ini."
Sambil berkata begitu, Ibu menepuk lenganku dengan keras.
Sejak dulu, aku memang tidak pernah bisa membantah Ibu yang selalu blak-blakan padaku. Kurasa, alasan kenapa aku tetap menjalani berbagai hal meski setengah hati adalah karena sifat santai Ibu ini. Apalagi, sejak Ei lahir, jarak usia kami yang cukup jauh otomatis memberiku rasa tanggung jawab sebagai kakak.
"Yaaah, aku sih tidak masalah. Tapi, anak itu sepertinya belum siap."
"Anak itu? Maksudmu siapa?"
Sebelum aku sempat menjawab, Ei berteriak, "Yoruka-chan!" dan langsung memeluk seseorang yang baru saja dilihatnya.
Yoruka tampak membeku, tentu bukan hanya karena tiba-tiba dipeluk Ei.
Dia pasti terkejut melihat kedua orang tuaku.
Mana mungkin aku sempat memberitahunya sebelumnya, sedangkan aku sendiri juga tidak tahu keluarga akan datang.
"Ei, kamu kenal dengan anak ini?"
Ibu bertanya dengan polos, melihat sikap akrab Ei.
"Dia pacarnya Kisumi-kun!"
Dan adikku yang polos itu menjawab dengan jujur tanpa ragu.
"Eehh!?"
Ibu berteriak keras, sampai orang-orang di sekitar menoleh.
"Ibu, suaramu! Semua orang melihat kearah kita"
Kenapa sih, orang tua itu kalau di luar rumah suka bereaksi berlebihan?
"Tidak mungkin! Kamu pacaran sama gadis secantik ini?"
Ibu memandang Yoruka dengan wajah berbinar.
Yah, aku juga masih suka terpana dengan kecantikan pacarku sendiri.
Sementara itu, Yoruka tampak lebih tegang dari yang pernah kulihat sebelumnya.
Mungkin dia sedang berusaha memaksakan senyum karena situasi mendadak ini, tapi tubuhnya tampak kaku seperti batu.
Aku pun buru-buru memperkenalkan mereka.
"Dia pacarku, namanya Arisaka Yoruka. Yoruka, ini orang tuaku."
"S-Salam kenal! Nama saya Arisaka Yoruka. Saya berpacaran dengan Kisumi-san. Mohon bantuannya."
"Terima kasih sudah menjaga anak kami. Saya ibunya Kisumi."
Sikap Ibu terlihat formal, tapi raut wajahnya jelas-jelas penuh rasa ingin tahu.
"Wah, Kisumi ternyata bisa juga, ya, punya pacar secantik ini."
Ayah hanya berkomentar santai.
"Hei hei, Arisaka-san, apa yang kamu suka dari anak kami?"
Ibu, seperti biasa, bertanya tanpa basa-basi.
"Jangan ngobrol sambil berdiri. Duduk di meja sana!"
Aku buru-buru memotong percakapan karena merasa mereka bisa ngobrol seharian.
"Bukan kamu, Kisumi. Aku mau Arisaka-san yang antar kami."
"Maaf, pelanggan tidak bisa memilih pelayan, Bu!"
"Aku tidak apa-apa, Kisumi. Biar aku yang antar," kata Yoruka dengan wajah yang masih tegang, tapi berusaha menjalankan tugasnya.
"Kalau ditanya hal aneh, tidak usah dijawab, ya."
Selama mereka makan, aku tidak bisa tenang. Ibu dan Ayah terus saja bertanya macam-macam ke Yoruka, dan dia pun berusaha menjawab sebaik mungkin. Ah, jantungku rasanya mau copot.
"Pokoknya, nanti kamu harus jadi menantu Ibu, ya. Ibu tunggu, lho!"
"Ya!"
Saat berdiri, Ibu menunjukkan gerakan anggun ala calon ibu mertua dan langsung mengunci target pada calon menantunya.
Tapi, jawaban Yoruka barusan benar-benar tanpa ragu. Yah, tapi itu membuatku senang!
"Kenapa kamu bilang begitu saat datang ke festival budaya!"
Aku merasa kewarasanku hampir mencapai batas karena tingkah keluargaku yang terbawa suasana.
Di depan teman-teman sekelas pula, kenapa harus ada percakapan begini?
"Kisumi, jangan bilang kamu cuma main-main dan tidak berniat tanggung jawab sampai akhir, ya? Ibu kan selalu bilang dari dulu, hadapi perempuan dengan serius. Apalagi, kalau sampai melewatkan gadis secantik ini, seumur hidup pun kamu tidak akan menemukan yang lebih baik!"
"Kalau itu, tentu aja aku ingin terus bersamanya. Tapi, yang seperti itu jangan di bicarakan di sini."
"Kalau memang serius, kenapa tidak bilang saja di depan umum? Kalau kamu segitu lemah hatinya, nanti Arisaka-san bisa kecewa, lho."
"Ibu, tolong banget, pulang saja!"
"Kalau serius, Ibu oke-oke aja, kok, mau secepat apa pun!"
Dengan Ibu yang seperti itu, bahkan Ei pun jadi diam.
Ayah, yang menikahi wanita seperti Ibu, hanya tersenyum santai sambil memperhatikan kami tanpa sepatah kata pun.
Begitu keluargaku akhirnya keluar dari kelas, perasaan kosong langsung menyerangku.
Sementara itu, Yoruka tampak tersipu-sipu dengan senyum malu yang jarang kulihat.
◇◇◇
"Oi, Sena. Biar aku yang urus di sini. Kamu ajak Arisaka-chan keliling buat promosi."
Tiba-tiba, Nanamura muncul dengan saran tak terduga.
"Eh, bawa Yoruka juga? Apa tidak apa-apa?"
Meski antrean mulai berkurang, pengunjung masih terus berdatangan.
"Dasar bodoh. Yoruka-chan jalan-jalan keliling itu promosi paling ampuh. Kalian juga bisa sekalian kencan. Kau bisa ambil waktu istirahat lebih lama. Biar Yoruka-chan menyemangati."
"......Terimakasih."
"Sena, minimal bertahanlah sampai besok, ya."
"Aku tahu. Aku akan terlambat, tapi aku akan pergi menonton pertandingan persahabatan tim basket."
Akhirnya, aku dan Yoruka keluar dari kelas dengan alasan kegiatan promosi.
"Kelas 2-A buka Yamcha Café! Ada pangsit goreng renyah sebagai menu andalan kami. Kami juga sedia teh dingin dan bubble tea. Ada gadis-gasid cantik dengan gaun Cina yang siap melayani kalian~"
Aku membawa Yoruka sambil membagikan brosur.
Namun, Yoruka yang mengenakan gaun Cina di koridor ini benar-benar mencuri perhatian semua orang.
"Hey, Kisumi. Bisa kita ke tempat yang lebih sepi?"
"Aku juga maunya begitu. Tapi ini kan promosi. Kalau tidak dilihat orang, jadi tidak efektif."
Efek iklan berjalan Yoruka memang luar biasa, brosur yang kubawa habis dalam sekejap.
"Karena aku sudah berkesempatan berkeliling festival budaya bersama Kisumi, aku akan menahannya."
"Kamu kelihatan lebih santai dari yang kukira."
"Kalau itu, dibandingkan bertemu orang tuamu, ini tidak ada apa-apanya."
"Maaf karena tiba-tiba begitu."
"Aku kaget, tapi aku juga senang karena keluargamu begitu baik."
"Kalau Yoruka pasti langsung diterima."
"Ibumu keren, kelihatan seperti wanita karier. Ayahmu juga kelihatan baik."
"Itu komentar yang akan membuat mereka menangis bahagia, tahu."
"Berkat mereka, aku jadi tidak deg-degan untuk pertunjukkan besok."
"Baguslah kalau begitu."
Tak terasa, brosur yang kami bawa sudah habis. Kebetulan sekarang waktu istirahat.
"Nah, sekarang waktunya kencan di festival. Ini."
Aku melepas jaket olahraga yang tadi kugantungkan di pinggang dan menyampirkannya ke bahu Yoruka.
"Terima kasih. Tidak apa-apa?."
"Akan terasa dingin di koridor dengan pakaian seperti itu. Kalau pakai itu akan sedikit menutupi badanmu."
Yoruka pun perlahan mengenakan jaket itu, seolah meresapi kehangatannya.
"Uwah, Kebesaran. Lengan bajunya juga kepanjangan. Baunya Kisumi banget."
Bukan kaus pacar tapi jersey pacar, mungkin begitu sebutannya.
Tln: gatau apaan tapi kayanya ada istilah 彼シャツ/kare shatsu yang secara bahasa artinya kaus pacar
Karena ujung jaket jersey itu sepenuhnya menutupi gaun china-nya, orang bisa salah paham dan mengira dia tidak pakai apa-apa di bawahnya. Bagian paha yang mengintip di antara ujung jaket dan kaus kaki setinggi lutut itu, jujur saja, cukup menggoda.
Ada sesuatu yang membuat hati berdebar saat melihat pacar memakai baju kita sendiri.
Tanpa ragu, Yorukamelingkarkan lengannya ke lenganku.
"Benar tidak apa-apa?"
"Sudah lama kita tidak kencan kan. Apalagi di festival budaya."
Kami berdua berjalan santai mengelilingi sekolah, mampir ke berbagai pertunjukan yang ada.
Saat melihat ada yang mengadakan turnamen ○rio Kart dengan konsol game, kami iseng ikut. Yoruka-san yang ternyata adalah gamer dengan mudah mengalahkan siswa laki-laki yang sedang menang beruntun, membuat penonton terperangah. Memang pantas, mengingat dia sering diam-diam main game di ruang persiapan seni. Kalau saja aku tidak mengganggunya dengan sentuhan iseng, dia pasti bisa lebih cepat lagi. Wajah puas Yorukayang kekanak-kanakan itu juga terlihat sangat menggemaskan.
Kami menonton film pendek buatan siswa, mampir ke kelas yang mengadakan ramalan, dan mengunjungi hampir semua tempat yang menarik perhatian. Satu-satunya tempat yang kami lewatkan adalah rumah hantu, karena Yoruka jelas-jelas menolak.
Saat liburan musim panas di rumah keluarga Arisaka, dia terus saja menempel padaku saat menonton film horor.
Sesekali kami mengisi perut di stand makanan, menikmati festival budaya berdua dengan sepenuh hati.
"Kisumi, kamu tidak mau makan yang lain? Bukannya kamu belum kenyang."
"Tadi aku makan bakpao gosong dan camilan lain, jadi tidak terlalu lapar."
"Benarkah? Nafsu makanmu tampaknya berkurang dari biasanya."
"Besok hari penampilan band. Wajar saja kalau aku tegang dan jadi kurang nafsu makan. Tapi bisa kencan di festival budaya denganmu aaja sudah cukup membuatku semangat. Jadi, kita ke mana lagi?"
Bisa berjalan di koridor sambil bergandengan tangan dengan santai seperti ini, memang hanya festival budaya yang memberikan suasana seperti itu.
"Bagaimana kalau ke klub upacara minum teh? Sayu-chan bilang dia juga akan menyajikan teh, lho."
"Kalau begitu, ayo kita istirahat sambil minum matcha."
Untuk pertama kalinya, kami berdua melangkah ke ruang klub upacara minum teh karena keinginan kami sendiri.
"Selamat datang, Kii-senpai, Yoru-senpai."
Sayu menyambut kami dengan mengenakan kimono.
Rambutnya yang ditata rapi dan aura tenangnya dalam balutan pakaian tradisional membuat Sayu terlihat lebih dewasa dari biasanya.
"Silakan masuk, kalian berdua. Kebetulan sekali sekarang sedang sepi."
"Sayu-chan, kamu kelihatan cocok dengan kimono itu."
"Terima kasih. Gaun Cina Yoru-senpai juga sangat cantik."
Yoruka dan Sayu saling memuji penampilan satu sama lain yang berbeda dari biasanya. Mereka tampak senang, dan itu cukup membuatku lega.
"Terlebih lagi, Yoru-senpai bahkan pakai jersey pacarnya, ternyata senpai suka pamer, ya. Kalian juga kelihatan menikmati festival budaya sambil bergandengan tangan."
"Itu karena Kisumi bilang aku mungkin kedinginan, jadi ia pinjamkan jaketnya."
Saat Sayu mengomentari dengan jujur, Yoruka sempat tersipu, tapi dia tidak benar-benar menutupi rasa senangnya.
Ternyata Yoruka memang tipe yang mudah bahagia dengan hal-hal seperti ini.
"Tidak apa-apa kan. Itu hak istimewa orang yang punya pacar! Kii-senpai juga, aku yakin kamu kedinginan dengan pakaian tipismu. Silakan menghangatkan diri di sini."
Dipandu oleh Sayu, kami pun masuk ke ruang teh. Di sana, guru wali kelasku yang juga pembina klub, Kanzaki-sensei, duduk dengan anggun dalam balutan kimono.
Melihat sosok beliau dalam pakaian tradisional yang begitu elegan, aku teringat saat pernah diminta berpura-pura menjadi pacarnya demi menolak perjodohan.
Kanzaki-sensei benar-benar terlihat cocok dengan pakaian tradisional. Begitu cantik.
Tanpa sadar, aku terpaku memandangi beliau.
"Sena-san? Jangan diam saja, ayo duduk di sini bersama Arisaka-san."
"Sensei, ternyata Anda ada di sini juga, ya."
Aku tersadar saat namaku dipanggil.
Namun, entah kenapa, kombinasi ruang teh dan Kanzaki-sensei ini membuatku gelisah.
Setiap kali berada di situasi seperti ini, aku selalu dipaksa melakukan hal-hal yang sulit.
Memang, kebiasaan itu menakutkan.
Secara refleks, aku duduk bersila dengan hati-hati. Entah kenapa, tubuhku terasa berat.
"Kisumi, rasanya kamu kelihatan canggung."
"Perasaanmu saja."
Sensei melirik ke arahku dan berkata dengan kepala sedikit miring, "Sena-san. Arisaka-san benar, kamu memang kelihatan canggung, lho?"
"Ah, ya, soalnya saya sempat berpikir hari ini kira-kira akan disuruh melakukan hal aneh apa lagi, ya."
"------Aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi!"
Kanzaki-sensei buru-buru menyangkal dengan nada yang sedikit kesal.
"Sensei, tolong tenang." ujar Sayu sambil tersenyum menenangkan.
Sayu, yang selalu merasa tidak nyaman di dekat Kanzaki-sensei, entah bagaimana berhasil berbicara dengannya secara normal. Senangb melihat perubahan itu.
"Aku senang mendengar bahwa kelas berjalan dengan baik."
Kanzaki-sensei berdeham dengan cara yang agak dibuat-buat, lalu kembali melanjutkan pembicaraan.
"Ya, ini semua berkat usaha Yoruka dan Nanamura."
Aku bertukar pandang dengan Yoruka, lalu dengan bangga melaporkan hasilnya.
"Itu yang terpenting. Tolong tetap berhati-hati agar tidak mengalami cedera atau kecelakaan."
"Kalau begitu, aku akan menyajikan teh sekarang."
Sayu duduk di depan ketel.
"Pastikan rasanya enak, ya."
"Kanzaki-sensei yang mengajariku, jadi jangan khawatir."
"Yukinami-san juga berlatih dengan sepenuh hati, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Dengan suara tenang, Kanzaki-sensei memberi persetujuan.
Seperti yang dikatakannya, gerakan Sayu benar-benar berkelas, tidak tampak seperti pemula sama sekali. Setiap gerakannya halus, tanpa ragu-ragu, dan terlihat anggun serta menyenangkan untuk disaksikan.
Kami pun menikmati kue dan teh dengan sepenuh hati.
Ketika kami selesai minum, tamu baru masuk ke ruangan, sehingga kami pun meninggalkan ruang teh.
"Baiklah, aku pamit dulu. Aku harus kembali bekerja di panggung utama. Aku mungkin baru bisa datang di paruh kedua pertandingan Nanamura, tapi aku pasti akan ke sana."
"Semangat untuk tugas di panitia festival budaya, ya. Aku dan Hinaka-chan akan pergi lebih dulu untuk mengamankan tempat duduk di pertandingan basket."
"Terima kasih. Yoruka, semangat juga untuk kelas."
"Ya."
Yoruka menundukkan kepala dengan sedikit enggan.
Waktu yang menyenangkan selalu berlalu begitu cepat.
Kencan di festival budaya pun berakhir di sini. Kami masing-masing harus kembali menjalankan tugas kami.
"Oh iya, aku kembalikan jersey ini."
"Aku akan memakai kostum nanti, jadi kamu bisa tetap mengenakannya."
"Begitu. Kalau begitu, aku akan menerimanya."
Wajah Yoruka berseri-seri, dan tangannya yang hendak melepas jersey pun langsung berhenti.
"Itu cuma jersey biasa, kok."
"Tapi ini jersey pacarku."
Dia mengatakannya dengan begitu bahagia hingga aku pun tersenyum ikut terbawa suasana.
Senyuman pacarku memang istimewa.
Hanya dengan melihatnya saja, aku sudah merasa bahagia.
Karena tujuan kami berbeda, aku tetap berdiri di koridor depan ruang teh dan mengantarnya dengan tatapan.
Aku melambaikan tangan sampai punggung Yoruka menghilang di balik sudut koridor. Karena aku terlalu lama melambai, sebelum benar-benar menghilang, dia sempat menoleh dan tersenyum kecut.
"Kisumi, cepat pergi sana."
Saat aku hendak pergi, tepat pada saat itu, Kanzaki-sensei keluar dari ruang teh.
"Sensei sudah selesai bertugas?"
"Ya. Kalau Yukinami-san yang menangani, aku tidak perlu khawatir. Dia sangat cepat belajar."
"Terima kasih sudah membimbing Sayu."
"Melihat murid berkembang adalah kesenangan seorang guru."
"Sensei, besok datanglah ke pertunjukan band kami, ya. Bagiku, ini adalah puncak dari kerja keras sejak musim panas."
Aku mengepalkan lengan untuk menunjukkan semangatku.
"......Sena-san, kondisimu baik-baik saja?"
"Eh? Saya baru saja mengisi ulang energi dengan berkencan bersama Yoruka."
"Kalau terjadi sesuatu padamu, itu adalah tanggung jawab pengawasanku. Aku tahu kamu sibuk, Sena-san. Tapi kalau kamu melewati batas, semuanya akan sia-sia."
Sensei memotong kata-kataku dan memberikan peringatan.
"Sensei, tolong jangan melebih-lebihkan seperti itu."
"Sebagai seorang guru, tugasku adalah melindungi muridku. Bahkan jika itu membuatku dibenci, aku akan menjadi rem pengaman bagimu."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat wajah tegas Sensei. Kali ini, dia benar-benar serius, tanpa ragu sedikit pun.
Sikapnya dingin dan tegas, tidak membiarkanku berkelit sedikit pun.
"Sensei, saya masih muda. Cukup tidur semalam saja dan semuanya akan baik-baik saja."
Tinggal satu hari lagi. Besok adalah puncaknya, pertunjukan langsung.
Hari Senin adalah hari libur pengganti, jadi setelah semuanya selesai, aku bisa beristirahat sepuasnya.
"Aku mengkhawatirkanmu."
Kata-kata itu mengandung ketegasan dan wibawa seorang guru, tapi di baliknya terselip kepedulian dari seorang wanita bernama Kanzaki Shizuru. Perasaan canggung pun muncul dalam diriku. Dikhawatirkan secara langsung oleh seorang wanita dewasa secantik ini, tidak ada pria yang akan merasa tidak senang karenanya.
"......Kapan momen di mana Sensei berusaha paling keras?"
Keheningan panjang menyelimuti. Sepertinya dia tidak ingin menjawab.
Meskipun Sensei memang tidak banyak bicara, ini pertama kalinya dia memilih diam.
"Bagi saya, saat ini adalah momen itu. Kalau saya bisa sukses dalam pertunjukan festival budaya ini, aya merasa akan bisa lebih percaya diri. Kalau aya bisa menyelesaikannya, mungkin saya bisa sedikit bangga pada diri sendiri."
"Sena-san sudah cukup luar biasa."
"Tapi, orang-orang di sekitar saya semuanya hebat. Saya biasanya tidak memikirkannya, tapi ada momen-momen di mana saya membandingkan diri sendiri dan merasa aku ini biasa saja."
Tanpa menyembunyikan apa pun, aku mengutarakan perasaanku.
"Yang membuatmu luar biasa, Sena-san, adalah kamu bisa menyadari kekuranganmu sendiri, tidak lari, tidak berusaha mengelabuinya, dan tetap berusaha dengan tenang. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan semua orang."
"Itulah yang paling membuat saya kesal. Tentu saja, saya bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang menghargai kepribadian dan perilaku saya sehari-hari. Tapi justru karena itulah---saya ingin hasil yang nyata."
"Kamu benar-benar seorang pria, ya."
Kanzaki-sensei menyipitkan mata, seolah melihat sesuatu yang menyilaukan, dengan ekspresi penuh kebaikan.
Mendengar tekadku, akhirnya dia menjawab pertanyaanku tadi dengan sedikit malu.
"Momen ketika aku berusaha paling keras adalah saat aku meminta Sena-san menjadi pacar pengganti dan menemui orang tuaku."
"Itu berat, ya?"
"Kamu menertawakannya?"
"Setiap orang punya sesuatu yang sulit bagi mereka. Kebetulan, bagi Sensei, itu adalah orang tua. Dan Sensei sudah berusaha keras, bukan?"
"Rasanya aneh dipuji oleh muridku."
"Tidak suka?"
"Tidak, mungkin karena yang mengatakannya adalah Sena-san, itulah yang membuatnya terasa aneh."
"Sepertinya saya benar-benar sudah dibenci, ya?"
Sensei tiba-tiba terkejut dan buru-buru membantah.
"Aku tidak membencimu!" Kanzaki-sensei buru-buru membantah dengan panik.
Tapi hanya sesaat. Dengan cepat, dia kembali memasang ekspresi seorang guru.
"Tidak, justru sebaliknya. Kamu adalah satu-satunya orang yang bersamaku melewati itu. Saat itu, aku berpikir betapa bisa diandalkannya Sena Kisumi."
"Tunggu saja pertunjukan langsungnya, Sensei. Saya akan menyelesaikan ini sampai akhir."
"Aku pasti akan mendukungmu. Tapi jika terjadi sesuatu, sebagai gurumu, aku akan menghentikanmu tanpa ragu."
Kali ini, Sensei terdengar lebih protektif dari biasanya.
◇◇◇
Di ruang persiapan, aku mengenakan mantel happi panitia festival budaya dan memasang transceiver.
Di telinga, suara komunikasi rutin terus mengalir.
Aku bergabung di sisi panggung dan bertukar posisi dengan Asaki-san.
"Asaki-san, bagaimana, lancar?"
"Seperti yang kamu perkirakan. Jadwal yang kamu susun sangat tepat, semuanya berjalan mulus. Manual yang kamu perbaiki juga sangat membantu, semua orang bisa mengikutinya dengan mudah."
"Manual itu sebenarnya warisan dari masa Aria-san jadi ketua OSIS, jadi kurasa sudah agak ketinggalan zaman. Kalau perbaikanku berguna, syukurlah."
Saat membaca manual dengan saksama, secara tak langsung aku bisa merasakan kepribadian pembuatnya.
Pembuatnya, Gen-chan, atau lebih dikenal sebagai kakak dari Hanabishi, tampaknya tipe orang yang sangat disiplin. Dia menjalankan segalanya dengan ketat, berpegang teguh pada jadwal tanpa toleransi.
Aku sendiri mengatur ulang jadwal agar lebih fleksibel.
Selain menyisihkan waktu untuk pergantian antara pertunjukan, juga disediakan waktu khusus untuk memberi pengumuman kepada penonton di dalam venue. Jika terjadi keterlambatan, waktu tersebut bisa digunakan untuk menyesuaikan jadwal. Jika keterlambatannya cukup besar, pengumuman itu akan dipotong sepenuhnya agar jadwal tetap sesuai. Selain itu, agar semua orang benar-benar membaca manual, ditambahkan beberapa elemen menarik seperti tips kecil dan pengalaman dari penyelenggara di setiap halaman sebagai sentuhan tambahan.
Aku juga menambahkan tips dan pengalaman di setiap halaman manual, supaya siapa pun yang membacanya bisa membuat keputusan sendiri tanpa harus sering bertanya.
"Berani juga, ya. Tidak ragu-ragu mengubah hal-hal yang sudah ada."
"Aku sudah minta izin langsung dari yang membuatnya, jadi tidak masalah. Lagipula, perbaikan itu berdasarkan pengalaman tahun lalu juga."
"Berkat itu, para siswa tahun pertama sangat senang karena membuat mereka lebih mudah memahami."
"Semua itu supaya aku bisa santai saat hari-H. Lebih baik semuanya berjalan lancar daripada harus ambil keputusan mendadak."
"Itu bukan 'santai', namanya. Itu 'persiapan matang'."
"Kalau bisa berjalan lancar, itu yang terbaik."
"Besok, kamu juga akan main musik dengan lancar, kan?"
Asaki-san mengintip ke arahku.
"Apa yang harus dilakukan sudah kulakukan. Selebihnya, hanya Tuhan yang tahu."
Percakapan pun terhenti.
Berduaan dengan Asaki-san di balik panggung yang remang-remang membuatku sedikit gugup.
Waktu tugas Asaki-san sudah selesai, jadi seharusnya dia boleh pergi, tapi dia tetap berada di sini.
Pertunjukan selanjutnya adalah penampilan klub orkestra tiup. Mereka sudah terbiasa dengan persiapan di atas panggung karena setiap tahun tampil dalam konser tahunan dan festival budaya. Tidak ada staf yang perlu membantu mereka.
Kami hanya berdiri di sudut belakang panggung tanpa melakukan apa pun agar tidak mengganggu.
"Oh iya, sekalian mau lapor. Berkat mendengar saran darimu, aku bisa merayakan pernikahan ulang ibuku. Kurasa aku belum sempat berterima kasih dengan benar, jadi biarkan aku mengatakannya sekarang. Terima kasih."
"Selamat atas pernikahan ibumu."
"Ibuku juga titip salam untukmu, Kisumi-kun."
"Aku tidak melakukan apa-apa."
"Tidak, kalau Kisumi-kun tidak datang waktu itu, aku tidak akan bisa melangkah maju."
Waktu yang ditentukan tiba. Tirai panggung terbuka, dan konduktor klub orkestra tiup berjalan melewati kami menuju panggung. Setelah memberi salam kepada penonton, pertunjukan pun dimulai.
"......Besok, bantu aku juga di konser R-inks, ya."
Aku akan berada di panggung, sedangkan Asaki-san di belakang panggung, menghidupkan suasana puncak festival budaya.
"Serahkan padaku."
Tak ada kata-kata yang lebih menenangkan daripada itu.
◇◇◇
Karena aula olahraga digunakan sebagai panggung utama festival budaya, pertandingan klub basket diadakan di aula olahraga kedua.
Setelah menyelesaikan tugasku di panggung utama, akhirnya aku sampai di tempat pertandingan.
Saat aku tiba, pertandingan sudah memasuki kuarter ketiga.
"Kii-senpai, di sini!"
Sayu yang mengenakan seragam melambaikan tangan ke arahku.
Di antara penonton yang mengelilingi lapangan, ada Sayu, Yoruka, dan Miyachii bersama.
Mereka bertiga sudah menyelesaikan tugas mereka dan berganti ke seragam sekolah.
Aula hampir penuh, dan sorak-sorai menggema di seluruh ruangan.
Melihat papan skor, sekolah Eisei unggul dengan selisih yang cukup jauh.
Aku menyelinap di antara celah penonton dan akhirnya sampai di tempat mereka.
"Kerja bagus. Kamu datang terlambat ya."
"Ya."
Nanamura berpura-pura melakukan tembakan tiga angka, lalu saat lawan melompat untuk menutup tembakan, ia langsung menerobos ke area bawah ring. Dengan gerakan kuat, ia menembus pertahanan lawan dan melakukan dunk dengan paksa.
Pertandingan ini bisa dibilang sebagai panggung Nanamura. Aksi luar biasanya membuat penonton bersorak riuh.
"Haha, ia luar biasa."
Aku hanya bisa mengeluarkan komentar yang klise.
Siapa pun yang melihatnya pasti akan terkejut dengan kemampuan fisiknya yang luar biasa, tekniknya yang unggul, serta semangat juangnya yang meluap-luap.
Sambil mengamati pertandingan, tanpa berkata apa-apa, aku bersandar pada Yoruka.
"Kisumi?"
"Hanya sebentar."
"Orang-orang bisa melihat kita."
"Bukan rahasia lagi kalau kita pacaran."
"Itu semua gara-gara pernyataanmu waktu itu."
"Kamu tidak suka?"
"Kalau dipikir-pikir, kurasa itu bagus. Kalau bukan karena itu, aku tidak akan bisa berdiri di panggung festival budaya. Aku bisa berkembang juga berkatmu."
"Meskipun kamu memujiku, aku tidak bisa langsung memberikan hadiah, lho."
"Malah sekarang justru kamu yang manja, ya."
Meski diejek, aku tetap bersandar pada Yoruka tanpa bergerak.
"Kurasa kencan siang tadi masih belum cukup bagiku."
Saat merasakan kehangatan tubuh Yoruka, rasa kantuk perlahan menyerang.
"Heh! Hei, Sena! Berhenti bermesraan saat menonton pertandinganku!"
Dari lapangan, Nanamura menyadarinya dengan cepat. Ia menunjuk ke arah kami sambil berteriak. Pandangannya luas juga, ya? Sepertinya dia cukup berbakat menjadi pengatur serangan sebagai point guard.
"Diamlah. Fokus saja ke pertandingan," kataku sambil tetap bersandar di bahu Yoruka.
"Lihat, langsung ditegur."
"Kalau kamu keberatan, aku akan menahannya."
"Tidak masalah, tetap seperti ini saja."
Di lapangan, Nanamura terus menunjukkan aksinya.
Bahkan jika aku menutup mata, aku bisa membayangkan jalannya pertandingan.
Setiap kali Nanamura mencetak angka, sorakan membahana di aula.
Sepertinya tim basket SMA Eisei akan menang telak dalam pertandingan ini.
Pemain berbakat memang selalu mencuri perhatian.
Penonton selalu menginginkan aksi luar biasa dari mereka yang terpilih, dan para pemain berbakat memberikan hasil yang melampaui ekspektasi.
Memiliki bakat, serta mendapat kesempatan dan lingkungan untuk menyalurkannya, adalah sebuah keberuntungan.
Permainan basket Nanamura sangat menarik untuk ditonton.
Selain aksi berani yang memanfaatkan kemampuan fisiknya yang luar biasa, tekniknya yang canggih juga membuatnya mencetak angka dengan cara yang penuh kreativitas dan kejutan.
Untuk kesekian kalinya, sorakan besar menggema di aula.
Nanamura mungkin baru saja menerobos ke area bawah ring dengan dribel tajamnya.
Dengan cekatan, ia menembus celah pertahanan lawan dan memaksakan tembakan dari posisi yang sulit. Dengan tinggi badan yang menjulang, ditambah lompatan tinggi dan durasi melayang yang panjang, seakan-akan ia berjalan di udara sambil membawa bola ke ring.
Ditambah lagi, ia juga menguasai senjata andalannya, tembakan tiga angka dari luar area.
Saat ini, hampir tak ada lawan yang bisa menghentikan Nanamura.
Hari ini aku senang bisa menyaksikan pertandingannya.
Atau, bahkan tanpa melihat pun, aku sudah tahu bagaimana hasilnya.
Sorakan kegembiraan tak kunjung reda.
Peluit panjang tanda pertandingan berakhir pun terdengar.
Suasana penuh sorak-sorai merayakan kemenangan. Tepuk tangan hangat diberikan untuk para pemain yang telah memberikan pertandingan sengit.
Aku pun ikut terbawa suasana, merasa seakan melayang di udara. Sepertinya aku benar-benar bahagia. Tubuhku yang semula terasa berat kini mendadak ringan. Jika aku bisa merasakan kebahagiaan dan kepuasan seperti ini saat konser besok, pasti akan luar biasa.
Namun, begitu pikiranku tertuju pada hari esok, tiba-tiba aku merasa wajahku jatuh di atas sesuatu yang lembut seperti perosotan empuk. Rasanya nyaman sekali. Apa ini? Bahannya terasa aneh tapi menyenangkan.
Astaga, aku terlalu lengah sebelum penampilan besok.
Apa aku terlalu larut dalam euforia kemenangan Eisei?
---Tapi, tunggu sebentar. Sejak kapan aku berhenti menonton pertandingan?
"Kisumi, bertahanlah! Kisumi!!"
Saat tersadar, wajah Yoruka sudah berada tepat di depan mataku.
Kelopak mataku terasa berat, membuka mata saja begitu sulit.
Aneh. Kenapa aku bisa melihat langit-langit gimnasium? Seharusnya, kalau berdiri, aku tidak akan melihatnya dari sudut ini.
"......Eh, kamu membiarkanku tidur di pangkuanmu?"
Pemandangan di sekitarku terlihat horizontal. Aku sedang terbaring di lantai.
"Hei, ada apa denganmu!? Kisumi!!"
Suara Yoruka yang terdengar hampir menangis datang dari atas kepalaku. Apa yang terjadi?
Banyak orang mengelilingi kami, memandangku dengan ekspresi cemas.
Yoruka terus memanggil namaku dengan panik.
Aku ingin menjawab, tapi suaraku tak kunjung keluar.
Perlahan, pandanganku semakin menyempit, dunia di sekitarku terasa menjauh.
Gawat. Aku tahu ini tidak baik. Tapi tubuhku tidak merespons.
Seperti saklar yang dimatikan paksa, kesadaranku pun menghilang.