Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V5 Chapter 7
Bab 7 - Surga dan Neraka
"Selamat malam~"
Pukul 21:00. Siaran langsung dimulai dengan sapaan santai dari Kanou.
Dengan penuh percaya diri, dia dengan cepat menyimak komentar yang ditulis di video dan berbicara dengan ringan.
Kali ini, kami memutuskan untuk memainkan tiga lagu orisinal yang ditulis dan dikomposisi oleh Kanou Mimei untuk festival budaya. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa memainkan lagu lain.
Keempat anggota lainnya diam di luar layar, menunggu isyarat dari Kanou.
"Baiklah, mari kita mulai dengan lagu pertama!"
Dan, pertunjukan dimulai.
Yoruka dari awal terlihat gugup, menatap ke arahku. Setiap kali aku melakukan kesalahan kecil, ekspresinya berubah dengan jelas, dan akhirnya dia mulai berbicara denganku melalui tatapan, "Apa kamu baik-baik saja?"
Aku berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik, memainkan tanpa melihat tanganku. Progresi chord sudah tertanam di kepalaku. Sekarang tinggal bagaimana memainkannya dengan lancar seperti saat latihan, bahkan di bawah tekanan panggung.
Hasilnya, aku dan Yoruka saling menatap satu sama lain, seolah-olah kami sedang adu gengsi.
Seperti yang diperkirakan, Yoruka bisa fokus padaku dan tidak menyadari tatapan dari balik layar, sehingga dia bisa menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.
Aku sendiri bisa memainkannya tanpa kesalahan sampai akhir.
Aku mendengar permainan ketiga anggota lainnya, tapi aku baru tahu bagaimana mereka benar-benar memainkannya setelahnya.
Atas perintah pemimpin, kami merekam pertunjukan kami dengan kamera terpisah.
'Pertunjukan termasuk bagaimana kamu terlihat! Mainkan dengan keren!'
Aku teringat kata-kataku pada anggota klub penggemar idol dan para penari di atap. Cara menampilkan diri itu penting. Aku menyadarinya saat menonton rekaman itu, bagaimana perasaan tercermin dalam penampilan.
Misalnya, Hanabishi entah bagaimana tidak terikat oleh ketepatan sebelumnya dan memainkan drum dengan agresif, menggelengkan kepalanya dengan keras sampai hampir menenggelamkan vokal. Seperti provokasi. Hei, apa kau tidak perlu memakai penyangga leher?
Miyachii terlihat agak kesal dengan kerasnya drum Hanabishi.
Seolah-olah melawan, vokal Miyachii juga lebih emosional dari biasanya.
Drumnya terlalu keras, dengarkan nyanyianku! Miyachii melirik Hanabishi dengan tatapan tajam.
Dari lagu kedua, dia langsung meningkatkan suaranya, lebih seperti berteriak daripada bernyanyi. Suaranya sudah bagus, dan dia juga pandai bernyanyi. Tapi bagi telingaku, ada kedalaman dan rasa yang bertambah.
"Ini dia, aku sudah menunggu!"
Dengan penampilan kami yang jelas berbeda dari siang hari, tensi Kanou langsung melonjak. Terlalu bersemangat, dia mulai menambahkan improvisasi di tengah jalan.
Akhirnya, dia bahkan lupa bahwa dia sedang siaran langsung dan bermain sesuka hatinya.
Dia bahkan melompat keluar layar tanpa ragu, mengacak-acak rambutnya, dan benar-benar bebas.
Dia tersenyum dan bersemangat, benar-benar dalam keadaan euforia.
Dia bahkan meninggalkan kami dan melaju sendiri.
Dia benar-benar menikmati dirinya sendiri.
Setelah lagu ketiga, Kanou kembali sadar dan dengan santai berkata, "Datanglah ke festival budaya~~" sambil tertawa, dan siaran langsung berakhir.
Ketika gadis cantik bassis JK terlalu bebas, video siaran langsung itu menjadi viral.
"Hasilnya bagus, kan!"
Pemimpin kami memang hebat.
Semua orang pasti merasakan kelegaan setelah siaran langsung dan pencapaian yang berhasil diraih. Kami menonton rekaman pertunjukan itu di akhir, dan hari ini berakhir.
Ada kamar mandi tamu yang terpisah dari kamar mandi keluarga, dan kami mandi air panas untuk menghilangkan lelah hari ini.
Saat berkumpul di pagi hari, kami berbicara tentang begadang dan mengobrol di malam hari, tapi tidak ada yang punya energi tersisa. Hari ini juga latihan yang melelahkan.
◇◇◇
Hanabishi, yang satu kamar denganku, sudah tertidur.
Aku juga akhirnya bisa berbaring pada jam yang wajar setelah sekian lama, tapi entah kenapa malam ini aku tidak bisa tidur.
Biasanya aku tertidur saat berlatih sampai larut malam di rumah, tapi mungkin adrenalinku terlalu tinggi. Mandi air panas tidak cukup untuk meredakan kegembiraanku.
Hasil latihan akhirnya mulai terlihat.
Aku merasa semakin percaya diri setiap kali tampil, dan itu menjadi keyakinan.
Aku senang dan tidak bisa tenang.
Aku berbaring diam di tempat tidur untuk sementara waktu tapi tetap tidak bisa tidur, jadi aku pergi ke ruang keluarga untuk minum air.
Lalu, aku melihat lampu menyala di dapur, dan ternyata Yoruka ada di sana.
"Yoruka?"
"Oh, Kisumi. Ada apa?"
"Aku terlalu bersemangat dan tidak bisa tidur. Kamu bagaimana?"
"Aku juga sama. Kupikir mungkin minum susu hangat bisa menenangkanku."
"Boleh buatkan untukku juga?"
"Tentu saja."
Karena malam ini bulan bersinar dengan indah, kami sengaja tidak menyalakan lampu ruang keluarga dan duduk berdampingan di atas karpet.
Aku menyesap secangkir susu hangat yang ada di tanganku.
Cahaya bulan yang masuk melalui jendela samar-samar menerangi wajah cantik Yoruka.
"Siaran langsung tadi, kurasa kita berhasil melakukannya dengan cukup baik."
"Ya. Aku juga terkejut. Padahal seharusnya tidak ada ruang untuk merasa tenang, tapi aku bisa bermain tanpa terlalu gugup."
Sepertinya Yoruka juga merasakan hal yang sama.
"Kalau kita bisa menjaga ritme ini saat tampil di panggung nanti, kurasa tidak perlu khawatir."
"Di atas panggung nanti, kamu juga akan memainkan gitar sambil menatapku?"
"Tidak, kalau di atas panggung sih......"
Ekspresi Yoruka cukup serius saat mengatakannya.
Aku ingin saja melakukannya, tapi bagi penonton, itu pasti akan terlihat aneh.
"Ini keegoisan dari sang ratu, lho."
Dia masih mengingat apa yang pernah kukatakan sebelumnya.
"Perintah yang cukup manis."
"Perintah ratu itu mutlak, bukan begitu?"
"Sekalipun kita tak bisa saling menatap, kamu cukup menatap punggungku."
"Itu sudah jelas."
Pengalaman suksesnya hari ini pasti akan menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kepercayaan dirinya.
Dalam gelap, wajah Yoruka tampak bersinar.
Senyum di bibirnya yang diterangi cahaya bulan terlihat seperti kelopak bunga yang sedang mekar.
"Saat tampil nanti, kamu hanya perlu memikirkan aku. Maka semuanya akan berjalan dengan baik."
Kalau dipikir-pikir, kata-kataku memang terdengar agak berlebihan, tapi ini memang kenyataan.
Mengungkapkan keberhasilan dalam kata-kata akan membantu merekamnya dalam ingatan.
"Benar juga......Aku hanya perlu melihatmu saja, ya."
Yoruka bergumam pelan.
"Iya. Tatap aku saja."
"Baik."
Yoruka lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.
Sambil menikmati manisnya susu hangat, kami berbagi waktu dalam keheningan.
Ketegangan yang sempat terasa kini perlahan mengendur, membuat tubuh terasa lebih rileks.
Minum sesuatu yang hangat di udara dingin memang membawa perasaan yang nyaman.
Dan kehangatan tubuh Yoruka yang menyentuhku terasa semakin jelas.
"Sudah lama ya, sejak terakhir kali kita punya waktu berdua seperti ini," kata Yoruka sambil menggenggam tanganku.
Aku meletakkan cangkirku di samping.
"Saat festival budaya nanti, ayo kita atur waktu istirahat agar bisa berkeliling bersama."
"Ya, aku menantikannya. Tapi......kurasa aku tidak bisa menunggu selama itu."
Yoruka berkata begitu, lalu jemarinya yang satunya mulai menyusuri dadaku dengan lembut.
Seakan-akan sedang menekan tuts piano, ujung jarinya bergerak perlahan, menggelitik kulitku.
"Y-Yoruka......?"
Gerakannya yang menggoda membuatku tak bisa bergerak.
"Akhir-akhir ini kita jarang punya waktu untuk bermesraan, kan? Aku tidak bisa menahannya lagi."
Tiba-tiba, Yoruka menarik tanganku, membuatku terjatuh ke lantai.
Dan tanpa ragu, dia duduk di atasku begitu saja.
"Eh?"
Aku hanya bisa melongo, tidak bisa langsung memahami apa yang sedang terjadi.
Paha dan pinggulnya yang bersentuhan dengan tubuhku memberikan sensasi yang jelas.
Dengan langit-langit sebagai latar belakang, Yoruka menatap lurus ke arahku.
"Dulu kita pernah mengalami hal yang sebaliknya, kan? Saat kamu mendorongku di ruang persiapan seni......waktu itu aku benar-benar gugup, tahu?"
Suaranya terdengar lembut, tapi mengandung kehangatan yang berbeda dari biasanya.
Pagi-pagi, adikku sering menaiki perutku dengan polosnya untuk membangunkanku.
Tapi ini......adalah sesuatu yang jauh berbeda.
Kenyataan bahwa pacarku sekarang tengah menunggangiku dengan sungguh-sungguh.
Jantungku berdebar tak terbendung.
"Terlalu berani, kan?"
Begitu tiba-tiba, otakku masih belum bisa sepenuhnya menerima situasi yang tidak masuk akal ini.
"Orang yang sudah berusaha keras pantas mendapat hadiah, bukan?"
Yang terlintas di benakku adalah hari itu di ruang kesehatan, saat aku terkilir di turnamen olahraga.
Di sanalah, untuk pertama kalinya, kami saling mendekap satu sama lain.
Seperti saat itu, Yoruka kembali mendekatkan tubuhnya, ingin merengkuh kepalaku ke dalam pelukannya.
Jari-jarinya menyusup di antara helaian rambutku, lalu dengan hati-hati membingkai kepalaku seolah sedang menggendong sesuatu yang sangat berharga.
Kehangatan yang menekan dadaku, kelembutan tubuhnya, serta aroma manis yang menyeruak---semua itu membuat pikiranku benar-benar mati rasa.
Seluruh inderaku menjadi tajam.
Aku bisa mendengar detak jantung Yoruka yang berdegup kencang, sangat dekat.
Dengan sisi dirinya yang begitu agresif hari ini, aku mengerahkan sisa-sisa akal sehatku.
"Aku juga ingin bermesraan, tapi ini rumah orang."
"Justru karena tempatnya tak boleh, jadi makin mendebarkan."
Tangan Yoruka membingkai wajahku.
"Aku juga sangat gugup, tahu?"
"Perempuan juga punya batas kesabarannya, lho?"
Tatapan Yoruka berubah, dihiasi kilatan gairah yang melampaui rasa malu.
"Yoruka......"
"Perintah ratu itu mutlak."
Bisikannya yang memerintah melepaskan kendali terakhir yang kutahan.
---Ah, sudah tak bisa lagi.
Saat tersadar, bibirku telah merenggut bibirnya.
Aku tak bisa menahan diri, terus menciumnya tanpa henti.
Bukan sekadar kecupan ringan seperti biasanya, bukan sekadar sentuhan lembut yang manis---tapi ciuman yang rakus, seolah ingin merasakan bagian terdalam satu sama lain.
Tanpa ragu, lidah kami pun saling berkelindan, mencari kehangatan di tempat paling dalam.
Seluruh tubuhku kini menyerap kelembutan Yoruka.
Tangan-tanganku, seakan memiliki kehendaknya sendiri, mulai melingkari kepala dan punggungnya, menahannya lebih erat.
Yoruka tak menolak. Justru, dia semakin menempelkan tubuhnya, seolah ingin menyatu denganku.
Panas.
Sesak.
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
Namun, aku tak bisa berhenti.
Aku bisa merasakan bibir kami basah oleh air liur yang bercampur.
Entah sudah berapa lama kami terus seperti ini.
Hanya karena berciuman, tubuh kami sudah dipenuhi keringat.
Dengan wajah yang masih diliputi gairah, bibir Yoruka setengah terbuka, terlihat begitu menggoda.
Benang-benang transparan masih menghubungkan kami, seakan menolak untuk terpisah.
Kata-kata sudah tak lagi diperlukan.
Hanya dengan saling menatap, kami bisa mengerti isi hati masing-masing.
Tak ada izin yang dibutuhkan.
Tanpa aba-aba, kami kembali mendekat untuk menyatukan bibir kami sekali lagi.
Namun, saat itu juga, terdengar suara gagang pintu yang diputar.
"Arisaka-saaan? Kau baik-baik sajaaa?"
Dengan suara mengantuk, Kanou masuk ke ruang keluarga.
Mungkin dia khawatir karena Yoruka tak kunjung kembali ke kamar.
Refleks, kami berdua langsung menggulingkan tubuh ke belakang meja, bersembunyi di baliknya.
Gerakan kami begitu kompak, seolah sudah terlatih.
Tanpa sepatah kata pun, tanpa perlu diskusi, kami langsung bertindak seakan bisa membaca pikiran satu sama lain.
Kami menahan napas, menghilangkan jejak keberadaan kami seakan melebur dengan lantai.
Aku menekan tubuh serendah mungkin agar tak terlihat oleh Kanou.
"Aneh, aku merasa ada seseorang barusan."
Kanou menoleh ke sana kemari, matanya mengamati seisi ruangan.
Di dalam kegelapan, hanya ada aku dan Yoruka. Jika kami ketahuan dalam situasi seperti ini, mustahil mencari alasan yang masuk akal.
Namun, saat ini ada bahaya lain yang lebih mendesak dibanding ketahuan.
"Kisumi, kamu baik-baik saja?"
Yoruka membisikkan kata-kata itu di telingaku, napasnya hangat dan sedikit bergetar.
Saat kami berguling tadi, posisi kami terbalik, sekarang akulah yang menindihnya.
Aku bertahan dalam posisi plank, kedua sikuku menekan lantai, tubuhku menegang, menjaga keseimbangan sebaik mungkin.
"Tak perlu memaksakan diri......kamu bisa saja bersandar padaku."
Yoruka berbisik dengan wajah yang sedikit malu.
"Kalau aku tidak seperti ini, aku tak bisa melihat keadaan di sana."
Tubuhku melayang tipis di atasnya, nyaris bersentuhan.
Otot-ototku yang seharian memainkan gitar kini benar-benar menjerit. Lenganku, punggungku, bahkan perutku mulai kelelahan. Keringat dingin mengalir di dahiku.
"Kamu kelihatan kesulitan......kalau sampai kamu goyah dan menimbulkan suara, kita pasti ketahuan."
Yoruka masih memikirkan keadaanku. Aku ingin menerima kebaikannya dan bersandar.
Tapi, kalau aku benar-benar menjatuhkan tubuhku ke arahnya---dia akan menyadarinya.
Bagian yang paling menderita sekarang bukanlah lenganku, punggungku, atau perutku, melainkan sesuatu yang lain.
Setelah rangkaian skinship yang begitu berani tadi, aliran darah di satu titik tubuhku melonjak drastis.
Dan kini, aku berjuang mati-matian untuk menahan diri.
Aku harus tetap menjaga jarak ini, sekecil apa pun.
Kalau sampai Yoruka menyadari keadaanku sekarang, aku tak tahu harus menaruh muka di mana.
Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memikirkan hal lain, tapi kenyataan bahwa Yoruka tengah terbaring di bawahku, dengan ekspresi menggoda seperti itu, membuat seluruh usahaku sia-sia.
Sementara itu, langkah kaki Kanou semakin mendekat.
Kami bisa ketahuan kapan saja.
Ini benar-benar di ambang surga dan neraka.
"Lampunya juga mati......mungkin cuma perasaanku saja."
Aku berusaha mengalihkan perhatian dari godaan di bawahku dan menoleh ke samping.
Saat itulah aku melihatnya.
Dua cangkir yang tertinggal di lantai.
Napas seketika tercekat.
Sial! Tolong jangan sampai dia menyadarinya!
"Kisumi, ada apa?"
"Diam."
Aku hanya bisa berbisik pelan, berusaha mengendalikan situasi.
Sial.
Lenganku gemetar.
Punggungku menjerit.
Batasnya hampir habis.
Kanou sudah sangat dekat.
"---Ah!?"
Kanou tiba-tiba berseru, nada kantuknya lenyap seketika.
Aku berpikir ini adalah akhir.
Sudah tak ada jalan lain selain mengaku.
Namun...
"Oh, ternyata suara Roomba, ya."
Di sudut ruangan, robot pembersih berbentuk bundar terus bekerja dengan tekun.
Dengan santai, Kanou berbalik dan berjalan keluar dari lorong.
Brak, pintu tertutup. Setelah memastikan dia benar-benar pergi, aku mengembuskan napas panjang yang entah sejak kapan kutahan.
"Kita, selamat~~"
Karena terlalu lega, tubuhku kehilangan tenaga.
Tanpa sengaja, aku langsung tumbang ke atas Yoruka.
Dan... sesuatu yang mengeras itu pun menyentuh pahanya.
"H-Hei Kisumi, sesuatu menyentuhku---"
Yoruka yang awalnya kebingungan hanya butuh sepersekian detik untuk menyadarinya.
◇◇◇
Hari Kedua Kamp Pelatihan.
"Ada sesuatu yang terjadi antara kalian?"
Saat sarapan, Miyachii tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu.
Dia terlihat curiga karena sejak tadi aku dan Yoruka bahkan tidak saling bertatap mata.
"Tidak ada apa-apa!" "Ya, tidak terjadi apa-apa kok!"
"......Mencurigakan."
Miyachii menatap kami bergantian, sorot matanya penuh rasa ingin tahu.
"Ngomong-ngomong, tadi malam waktu aku terbangun, Arisaka-san tidak ada di kamar. Aku sampai mencarimu karena kupikir kamu tersesat."
Kanou ikut menimpali dengan tatapan menyelidik.
"Aku hanya sulit tidur, jadi aku pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Setelah itu, aku juga sempat ke kamar mandi. Mungkin saat aku kembali, Kanou-san sudah tertidur, jadi kita hanya berselisih jalan."
"Oh, mungkin saja. Soalnya tadi malam di ruang keluarga lampunya juga mati. Aku sempat mengintip karena merasa ada seseorang di sana, tapi ternyata cuma Roomba yang sedang membersihkan ruangan."
"Maaf kalau membuatmu khawatir."
"Tidak apa-apa, kalau memang tidak terjadi apa-apa."
Kanou tak lagi memperpanjang pertanyaan.
Tentu saja, kenyataannya tidak se-"tidak ada apa-apa" itu.
Setelah menyadari keadaanku yang tak bisa kusebutkan, Yoruka langsung panik dan kabur dari ruang keluarga.
Aku, yang ditinggalkan sendirian, hanya bisa menghela napas panjang, membereskan cangkir, lalu kembali ke kamar dengan perasaan yang masih bercampur aduk.
Sudah bisa ditebak, aku sama sekali tidak bisa tidur dengan tenang.
Hari itu, kami kembali berlatih dengan penuh semangat.
Mungkin karena ingin melupakan kejadian tadi malam, aku dan Yoruka fokus sepenuhnya pada latihan.
Energi kami menular ke anggota lain, membuat suasana latihan semakin membara.
Saat istirahat siang, kami mulai membahas kostum untuk penampilan nanti.
Berbagai ide muncul, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar terasa cocok.
"Bagaimana kalau kita pakai seragam sekolah saja? Toh, ini cuma band dadakan untuk festival budaya."
Begitu aku mengusulkan ide itu, keputusan langsung diambil---kami akan tampil dengan seragam sekolah.
Kupikir Kanou, yang begitu mencintai musik, akan menolak mentah-mentah. Tapi di luar dugaan, dia sama sekali tidak keberatan.
"Justru karena kita ini band dengan gaya dan selera yang berbeda-beda, tetap terlihat kompak itu sudah keren. Lagipula, tampil dengan seragam di festival budaya itu lebih terasa rock, kan?"
Karena pemimpin band sudah memberi lampu hijau, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan.
Setelah beristirahat sejenak, kami kembali berlatih hingga sore hari.
Sebagai penutup, kami memainkan tiga lagu secara penuh tanpa jeda.
Hasilnya hampir sempurna.
"Ooh~~Aku berhasil!"
Aku secara refleks mengepalkan tangan dengan penuh semangat.
"Sumisumi, nice!"
"Sena-chan, perkembanganmu luar biasa."
"Masih belum cukup, tapi setidaknya kita sudah melewati batas minimal. Senakisu, kerja bagus."
Seperti biasa, Kanou tetap memberikan komentar yang tajam, tapi kali ini dia tersenyum puas.
"Wah, sang Instruktur Iblis akhirnya memuji kita."
"Siapa yang kau sebut instruktur iblis!? Aku hanya menuntut hasil terbaik!"
"Aku tahu. Justru karena bimbinganmu, kami bisa berkembang sejauh ini. Terima kasih, Kanou."
"Yah, ternyata keputusan mengadakan kamp pelatihan ini tidak sia-sia. Band kita jadi lebih kompak. Baguslah."
Di tengah-tengah suasana penuh pencapaian itu, hanya Yoruka yang tetap diam.
Aku pun menoleh padanya.
"Bagaimana menurutmu, Yoruka?"
"Aku jadi semakin jatuh cinta pada Kisumi."
"Yah, itu bagus."
"Aku serius."
"Aku tahu."
Melihat senyum Yoruka, aku merasa semakin bahagia.
Aku bisa merasakan perkembangan diriku sendiri, dan itu membuatku begitu bersemangat.
"Baik, latihan hari ini cukup sampai di sini! Kamp pelatihan selesai! Terima kasih atas kerja kerasnya!"
""""Terima kasih atas kerja kerasnya!!!!""""
Seruan penutup dari Kanou disambut dengan suara kami berempat yang bersatu.
Setelah merapikan studio dan bersiap-siap untuk pulang, ponselku tiba-tiba berdering.
Nama yang muncul di layar adalah Hasekura Asaki.
Aku naik ke lantai atas dan mengangkat telepon.
"Halo, Asaki-san? Ada apa?"
『......Kisumi-kun?』
Suaranya terdengar lesu.
"Ada apa? Terjadi sesuatu?"
『Maaf ya, aku menelepon di tengah-tengah kamp pelatihanmu.』
"Tidak apa-apa, kebetulan kami baru saja selesai dan akan pulang."
『Begitu ya. Ah, aku juga menonton siaran langsung kalian tadi malam.』
"Terima kasih. Kanou agak membuat kewalahan di bagian akhir, sih."
『Kemarin bagus sekali. Aku jadi semakin menantikan festival budaya nanti.』
Percakapan kami hanya berupa basa-basi.
Namun, jika hanya untuk itu, dia tidak perlu repot-repot menelepon.
Bolehkah aku membiarkan percakapan ini tetap di permukaan saja?
"Asaki-san. Kamu butuh bantuan?"
Aku memutuskan untuk bertanya langsung.
Hening.
Lalu, suara isakan pelan terdengar dari seberang.
Kekhawatiranku semakin menjadi.
『Aku, tidak tahu harus berbuat apa.』
"Tentang pernikahan ulang ibumu?"
『Ya. Aku ingin memberi selamat dengan tulus, tapi, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya......』
Aku mendengarkan dengan saksama, tak ingin melewatkan satu kata pun.
Di sela-sela suara tangisnya, samar-samar aku mendengar suara kendaraan melintas dari telepon.
"Asaki-san, kamu sedang di luar?"
『Aku baru saja makan malam bersama ibuku dan tunangannya. Tapi aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang harus kutunjukkan. Jadi aku keluar dengan alasan pergi ke kamar kecil.』
"Kamu bisa kembali ke dalam?"
『Aku tidak tahu. Udara dingin, dan aku sadar aku tak bisa selamanya berdiri di luar, tapi...』
Seorang gadis menangis sendirian di luar adalah situasi yang berbahaya. Jika ada orang jahat yang memperhatikannya, itu bisa berakibat buruk.
"Kalau kamu merasa terlalu berat, lebih baik pulang saja."
『Tapi tasku masih ada di dalam restoran.』
Nada suaranya terdengar begitu lelah dan rapuh.
Berbagai kemungkinan buruk langsung melintas di benakku.
"...Asaki-san. Kamu di mana sekarang?"
Aku tak bisa membiarkannya sendirian.
『Kamu akan datang...? Kisumi-kun, kamu benar-benar baik---』
Bahkan dalam keadaan seperti ini, dia tetap berusaha bersikap seperti biasanya---menjaga jarak, tidak membiarkan siapa pun melangkah lebih jauh ke dalam dirinya.
"Aku datang. Kamu meneleponku, kan? Itu berarti kamu menginginkannya."
Kalau begitu, aku juga akan bersikap seperti biasanya.
Ketika seorang teman dalam kesulitan, tentu saja aku akan menolongnya.
Kalau aku mengabaikannya, itu bukanlah diriku, Sena Kisumi.
Bahkan jika ternyata tak ada yang bisa kulakukan, lebih baik begitu daripada membiarkan sesuatu yang buruk terjadi.
Di seberang telepon, kudengar suara napasnya tercekat.
『......Kisumi-kun, tolong aku.』
"Serahkan padaku, rekan."
Lokasi tempatnya berada hanya berjarak beberapa stasiun dari sini.
Begitu aku menutup telepon dan berbalik untuk mengambil tasku, aku terhenti.
Yoruka berdiri di sana, memeluk ranselku erat.
"Kamu mau menemui Hasekura-san?"
"Asaki-san sedang dalam masalah."
"---Kalau aku bilang jangan pergi?"
"Aku tak bisa meninggalkan teman yang sedang kesulitan."
"Menurutmu ada orang yang dengan senang hati melepas pacarnya untuk menemui gadis lain secara terang-terangan?"
"Kalau seseorang dalam kesulitan, siapa pun itu, aku akan membantunya."
"Aku tahu, Kisumi itu orang yang sangat peduli pada orang lain. Tapi justru karena itu, kebaikanmu bisa menjadi sesuatu yang kejam bagi Hasekura-san saat ini. Kamu pasti akan membuatnya salah paham lagi. Dia akan semakin menyukaimu."
"Aku hanya mencintai satu orang, Yoruka, apa pun yang terjadi!"
"Aku juga tahu itu."
Ah, aku telah membuat Yoruka menangis lagi.
Saat liburan musim panas lalu, saat kami pergi berwisata bersama teman-teman dari pertemuan Sena, ada satu pagi di mana kami berdua pergi ke pantai. Di sana, sambil menangis, Yoruka berkata, "Aku ingin menjadi lebih kuat."
Demi itu, dia menerima ajakan Kanou untuk bergabung dengan R-inks dan bahkan mencalonkan diri sebagai perwakilan kelas untuk festival budaya.
Tapi, bukankah sebenarnya Yoruka tak perlu menjadi lebih kuat jika aku tidak membuatnya merasa cemas sejak awal?
Pikiran itu sekilas melintas di kepalaku.
Mungkin kami bisa tetap tinggal di dunia kecil yang hanya milik kami berdua, dan itu sudah cukup.
"Makanya, aku percaya padamu. Pergilah."
"Eh?"
"Aku tak akan mengulanginya dua kali."
Saat Yoruka berpaling dariku dengan kesal, aku bisa merasakan bahwa dia sedang berusaha menahan perasaannya.
"Terima kasih."
"Berisik. Jangan salahkan aku kalau semuanya jadi makin rumit nanti."
Dia mendorong ransel yang dibawanya ke dadaku dengan kasar.
"Aku benar-benar minta maaf."
"Sebenarnya, kurasa yang suka mempermainkan keadaan itu bukan aku, tapi kamu, Kisumi."
"Cinta itu merepotkan, ya."
"Ya, kenapa kebahagiaan dan kesedihan selalu datang sepaket?"
"Mungkin karena huruf-hurufnya mirip, jadi orang mudah keliru?"
Tln: (Bahagia, 幸せ) (辛さ, sedih/ sakit)
"Kalau kamu sampai membuat kesalahan lagi padaku, aku tidak akan memaafkanmu."
Aku menitipkan gitarku pada Hanabishi, lalu keluar lebih dulu dari rumah Kanou.
Aku menaiki kereta dan turun di stasiun tempat Asaki-san berada.
Begitu keluar dari peron, aku membuka aplikasi peta di ponsel dan mencari rute menuju restoran tempat dia makan malam bersama ibunya dan tunangannya. Jaraknya agak jauh dari stasiun, jadi aku mempercepat langkah di jalanan yang mulai gelap.
Tapi sebelum aku sampai, dari kejauhan aku melihat Asaki-san berjalan ke arahku.
Di sampingnya, ada seorang pria.
Saat aku hendak berlari untuk menyapanya, tiba-tiba pria itu memeluk Asaki-san.
Dari jarak sejauh ini pun, aku bisa melihat bahwa pria itu bertubuh besar. Posturnya menunjukkan bahwa dia mungkin terbiasa dengan olahraga bela diri.
Jika seseorang dengan tubuh sebesar itu menyerang seorang gadis, tidak mungkin dia bisa melawan.
"Lepaskan Asaki-san!!"
"Kisumi-kun!?"
"Eh?!! Tidak, ini cuma---!!"
Pria itu terdengar panik, tapi tetap tak melepaskan Asaki-san.
Saat aku mendekat, aku bisa melihatnya lebih jelas.
Penampilannya mencurigakan. Rambutnya panjang dan berantakan, janggutnya dibiarkan tumbuh tidak beraturan. Lingkar hitam di bawah matanya tampak jelas, dan sorot matanya tajam, hampir menyeramkan.
Kulitnya kasar, pucat, seolah kekurangan gizi, dan kemeja yang dikenakannya sudah kusut dan lusuh.
"Seorang pria dewasa memeluk seorang siswi SMA di tempat umum? Bagaimana kau mau menjelaskan itu!?"
Jarak fisik di antara kami begitu besar.
Menarik Asaki-san darinya dengan paksa akan sulit.
Aku harus segera mengambil keputusan.
Tanpa ragu, aku menggunakan momentum lari dan menabrakkan tubuhku ke pria itu dengan sekuat tenaga.