Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V5 Chapter 11

 Bab 11 - ○




"Sumisumi, ia sedang menuju ke sini! Kakak perempuan Yoruyoru datang menjemputnya dengan mobil!"  


Setelah menutup telepon dari Nanamura-kun, Hinaka-chan menyampaikan berita itu dengan penuh semangat.  


Di belakang panggung, para anggota R-inks yang sedang menunggu giliran tampil menjadi heboh.  


"Onee-chan membawa Kisumi ke sini?"  


"Eh, bukannya itu permintaan dari Yoruyoru?"  


Mendengar reaksiku, Hinaka-chan malah terlihat bingung.  


"Ah, tapi meskipun Senakisu datang, sebentar lagi giliran kita akan tiba!"  


Band sebelumnya sudah memasuki lagu terakhir mereka.  


Aku dan tiga anggota lainnya sudah siap naik ke atas panggung kapan saja.  


Kalaupun yang terburuk terjadi dan kami hanya bisa tampil berempat, Kanou-san sudah menyiapkan rekaman suara gitar sebagai cadangan.  


Namun, tampaknya itu tidak akan diperlukan.  


Meskipun begitu, sekalipun kami memanfaatkan waktu pergantian panggung hingga batas maksimal, tetap saja sulit bagi R-inks untuk tampil berlima.  


Kami perlu memperpanjang waktu setidaknya satu lagu lagi sampai Kisumi tiba dan selesai bersiap.  


"Hasakura-san, kira-kira berapa lama waktu yang tersisa?"  


"Sejauh ini acaranya berjalan cukup lancar, jadi kita masih punya waktu sekitar sepuluh menit. Kalau pun bagian MC dipangkas, kita tetap bisa membawakan tiga lagu sesuai rencana. Tapi bagaimana kamu akan mengulur waktu sampai Kisumi datang?"  


"Kalau begitu, kami akan bermain musik untuk mengisi waktu."  


Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.  


"Yoruyoru, kamu serius?"  


Mata Hinaka-chan memancarkan kekhawatiran.  


Aku yang selama ini selalu gugup di bawah tatapan orang lain, tiba-tiba melontarkan ide nekat seperti ini.  


Belum lagi, selama ini aku hanya bisa bertahan dengan mengalihkan perhatianku pada Kisumi.  


Kini, tanpa Kisumi di sini, apakah aku benar-benar bisa melakukannya? Kanou-san dan Hanabishi-kun pun menunjukkan ekspresi serupa.  


"Kisumi akan datang. R-inks akan tampil berlima sesuai rencana. Jadi, bantu aku mengisi waktu."  


Aku menatap Kanou-san dan Hanabishi-kun.  


"Keyboard, bass, drum---tidak, kita bertiga pasti bisa melakukannya."  


"Menurutmu aku akan menolak?"  


"Aku malah makin bersemangat!"  


Keduanya langsung setuju.  


"Yoruyoru, aku juga mau ikut!"  


"Hinaka-chan, kau keluar bersama Kisumi nanti. Kita harus menyimpan vokalis R-inks sampai momen terakhir."  


"Baiklah. Ya, rasanya itu akan menjadi kejutan yang bagus juga."  


"Ah, tapi lagu apa yang akan kita mainkan? Kita hanya berlatih tiga lagu."  


Bahkan ketika perubahan mendadak ini terjadi tepat sebelum pertunjukan, Hanabishi-kun dan Kanou-san hanya tertawa.  


"Sama seperti saat Kanou-san memilihku."  


"---Jadi, kita akan melakukan jam session! Dengan formasi ini, lagu bernuansa jazz juga cocok."  


Kanou-san terlihat antusias, seolah tak sabar menampilkan improvisasi.  


"Wah, sepertinya aku yang akan paling kesulitan."  


"Kau kan ahli dalam menyenangkan gadis yang kamu tidak tertarik pada mereka, Hanabishi-kun."  


Hasakura-san melirik Ketua OSIS dengan tatapan menggoda.  


"Kalau Asaki yang meminta, mana mungkin aku menolak?"  


Hanabishi-kun tertawa lebar, terlihat benar-benar senang.  


"Jadi, rencana sudah matang?"  


Saat Hasakura-san memastikan, aku mengangguk.  


"Kami bertiga akan melakukan sesi musik untuk mengisi waktu. Kalau Kisumi sudah siap, beri kami isyarat. Kami akan langsung mengakhiri sesi itu dan memasukkan mereka berdua, lalu membawakan lagu yang sebenarnya."  


"Arisaka-san, bagaimana jika pada akhirnya Kisumi tetap tidak bisa tampil tepat waktu?"  


Sebagai penanggung jawab acara, Hasakura-san menegaskan kembali kemungkinan terburuk.  


""""Itu tidak akan terjadi!""""


Keempat anggota R-inks menjawab serempak, seolah sudah mengatur jawaban sebelumnya.  


"Aku juga berpikir begitu."  


Hasakura-san tidak berkata apa-apa lagi.


"Bagaimana? Kita bertiga masuk bersamaan?"  


Kanou-san memastikan rencana kami.  


"Karena ini kesempatan langka, bagaimana kalau kita membuat penonton semakin penasaran?" usul Hanabishi-kun.  


"Kita masuk satu per satu, memulai dengan solo, lalu secara bertahap menambahkan suara instrumen berikutnya. Aku di drum, Mimei di bass, dan Arisaka-san di keyboard. Lagu akan dimainkan secara improvisasi. Bagaimana?"  


Aku dan Kanou-san mengangguk setuju. Hanabishi-kun pun segera memberi tahu Hasakura-san tentang permintaan pencahayaan dan pengaturan lainnya.  


Hasakura-san langsung memberi instruksi melalui radio komunikasi.  


"Dengar, semuanya! Ada perubahan dalam pertunjukan panggung! Maaf, tapi kita akan langsung melakukan improvisasi. Jadi, bersiaplah! Ini adalah penampilan final, jangan sampai ada kesalahan kecil yang merusak semuanya. Fokus penuh, oke? Setelah ini---"  


Lagu terakhir dari band sebelumnya selesai dimainkan.  


Ketegangan kami sudah mencapai puncaknya.  


Meskipun saat ini benar-benar waktu pertunjukan, aku terkejut karena merasa jauh lebih tenang dari yang kuduga.  


Gitar yang sedang menunggu kepulangan pemiliknya diam berdiri di atas stand.  


"Baiklah, R-inks, ayo kita mulai," kata Kanou-san dengan semangat tinggi.  


Aku pun mengangkat wajah, menatap ke depan.  


"Aku serahkan semuanya pada kalian bertiga! Kami pasti akan menyusul!"  


Suara Hinaka-chan memberi kami dorongan semangat.  


Lampu panggung meredup, dan aula olahraga pun tenggelam dalam kegelapan.  


Penonton mulai berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi.  


Rasanya seperti sedang mendayung ke lautan yang gelap. Aku memang takut, tapi jantungku yang berdebar kencang ini justru terasa menyenangkan.  


"Kalau begitu, aku duluan."  


Hanabishi-kun menjadi yang pertama melangkah ke atas panggung.  


Di saat yang sama, sorot lampu menyoroti sosoknya.  


Teriakan heboh dari para gadis terdengar di seluruh ruangan. Dengan senyum di wajahnya, ia melambaikan tangan ke arah mereka sebelum duduk di belakang drum. Dan kemudian, suara drum yang kuat dan maskulin memecah keheningan. Sorakan takjub pun memenuhi ruangan.  


"Sekarang giliranku."  


Menyusul kemudian, Kanou-san melangkah ke atas panggung.  


Teriakan semangat dari anggota klub band serta para penggemar yang datang khusus untuk melihatnya menggema.  


Cahaya sorot kini tertuju padanya.  


Di belakangnya, suara drum mengetukkan ritme lembut, sementara bass Kanou-san mulai menggila.  


Dengan kecepatan jari yang luar biasa, dia menggetarkan nada-nada rendah yang bergema ke seluruh ruangan. Teknik luar biasanya membuat semua orang terdiam dalam kekaguman.  


Seolah saling memperebutkan kendali, bass dan drum semakin memperhebat permainan mereka.  


Suara yang berat, dalam, dan penuh intensitas saling beradu.  


Seperti dua petinju kelas berat yang bertarung sengit di atas ring.  


Semakin panas suasana di aula, semakin tinggi ekspektasi para penonton akan siapa yang akan muncul selanjutnya.  


"Arisaka-san, kenapa kau tidak menghubungi Kisumi-kun?"  


Hasakura-san tiba-tiba berdiri di sampingku.  


"Kalau aku menghubunginya, dia pasti akan datang, bahkan kalau itu benar-benar mustahil baginya."  


"Padahal itu lebih baik?"  


"Kalau memang tidak bisa, ya tidak apa-apa. Kalau ia merasa kesulitan, maka ia harus istirahat. Itu yang seharusnya terjadi. Aku ingin Kisumi yang membuat keputusan itu sendiri. Aku hanya perlu menunggunya di atas panggung. Karena itulah, aku tidak akan membiarkan panggung ini tidak tersedia untuknya."  


Yang harus kulakukan sekarang bukanlah menangis, merajuk, atau menutup diri.  


Sebagai balasan atas semua dukungan yang telah diberikan Kisumi, aku harus berdiri di atas panggung terlebih dahulu.  


Meski pada akhirnya ia tidak datang sekalipun.  


"---Benar-benar kebalikan dariku ya. Kalau kamu sampai berkata seperti itu, jelas aku bukan tandinganmu. Kita bukannya memiliki kecocokan yang buruk, tapi... ya, sepertinya ini semua soal timing."  


Suara Hasakura-san terdengar begitu ringan, seakan ada perasaan lega di dalamnya.  


"Apa maksudmu?" tanyaku, menoleh ke arahnya.  


"Aku jadi teringat bulan April lalu. Saat aku sedang menyatakan perasaanku pada Kisumi-kun, tiba-tiba kamu muncul dan merusak segalanya."  


Tanpa ragu sedikit pun, Hasakura-san mengungkapkan perasaannya secara blak-blakan.  


"Itu karena saat aku ingin berbaikan dengannya, kamu malah mencoba mendekatinya lebih dulu."  


"Ya. Dan pada akhirnya menjadi spesial itu memang seperti itu, kan? Kisumi-kun adalah anak laki-laki yang baik, ia pasti akan datang kalau dipanggil. Tapi, mungkin yang namanya cinta sejati adalah ketika ia datang bahkan tanpa harus dipanggil. Dan kamu mempercayainya sepenuh hati."  


"Kamu terlalu berkhayal."  


"Aku ini seorang gadis. Tidak salah kalau aku bermimpi tentang cinta, kan?"  


Dengan senyum tipis, Hasakura-san menggigit bibirnya, sementara matanya tampak sedikit berkaca-kaca.


Cahaya yang tumpah dari panggung membuat air matanya berkilau seperti permata.


Ah, siapa pun pasti akan jatuh cinta pada gadis yang begitu manis, cerdas, dan penuh perhatian seperti dia.


Pasti banyak orang yang bersikap baik padanya karena ingin disukai olehnya.


Sebaliknya, jika gadis semenarik ini mendekati seseorang, pasti mudah bagi mereka untuk jatuh hati padanya.


Jika Hasekura Asaki menyatakan perasaan pada seorang laki-laki, hampir semua dari mereka pasti akan menerimanya.


Tapi, pacarku menolaknya.


"Ya. Memang benar, aku bisa menjadi lebih kuat seperti terkena sihir karena cinta."


Segera setelah kamp pelatihan berakhir, Kisumi langsung bergegas pergi setelah menerima telepon dari Hasekura-san.


Sejujurnya, aku juga tidak bisa berkata bahwa aku merasa nyaman dengan itu.


Berpura-pura kuat dan benar-benar menjadi kuat adalah dua hal yang berbeda.


Setidaknya, pada saat itu, aku tidak bisa menerimanya begitu saja.


Kebaikan hati Kisumi adalah pesonanya. Tidak salah lagi, aku jatuh hati padanya karena itu.


Tapi justru karena aku ingin memiliki kebaikannya untuk diriku sendiri, rasanya begitu menyakitkan.


Karena begitulah aku jatuh cinta padanya.


Tak peduli seberapa dinginnya aku mengusirnya, ia tetap datang ke ruang persiapan seni yang hanya milikku, seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan saat lukisan jatuh dari rak akibat suasana hatiku yang buruk, ia melindungiku dengan tubuhnya. Aku begitu panik hingga mengucapkan banyak hal yang seharusnya bisa membuatnya membenciku, tapi Kisumi tetap datang dengan rapi dan telaten untuk membereskan lukisan yang berserakan.


Awalnya, aku berpikir itu hanya karena rasa tanggung jawabnya sebagai perwakilan kelas, atau mungkin ada niat tersembunyi. Tapi bagiku, itu tetap terasa menyebalkan.


Namun, perlahan aku menyadari bahwa tidak ada sedikit pun perhitungan dalam sikapnya. Meskipun aku sadar bahwa aku sulit diajak berkomunikasi, ia tetap sabar berbicara denganku.


Mungkin ia memang aneh.


Aku bahkan sempat curiga kalau ia ini orang yang benar-benar aneh karena tetap ingin berbicara denganku yang dingin, ketus, dan keras kepala setiap hari.


Tanpa kusadari, aku mulai menerima kehadirannya sebagai sesuatu yang wajar. Aku mulai menyajikan kopi dan camilan untuknya, lalu menikmati waktu berdua dengannya.


Saat festival budaya tahun lalu, ketika ia mulai sibuk dan berhenti datang ke ruang persiapan seni, aku baru menyadari betapa membosankan dan sepinya waktu yang kulewati sendirian.


Ketika ia akhirnya muncul kembali setelah sekian lama, aku merasa sangat bahagia sampai rasanya ingin melompat kegirangan.


Setelah menyadari perasaanku sendiri, aku tidak bisa lagi menghentikan diri.


Mengendalikan emosi jadi semakin sulit.


Aku tidak menyangka bahwa hanya dengan tidak bisa bertemu dengannya, libur musim dingin yang singkat bisa terasa begitu panjang.


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin cepat-cepat kembali ke sekolah.


Di Hari Valentine, aku bahkan memberinya cokelat, sesuatu yang bukan kebiasaanku.


Cookie yang ia berikan sebagai balasan di White Day terlalu berharga hingga aku tidak bisa langsung memakannya.


Saat tahun ajaran ketiga semakin dekat, aku mulai gelisah memikirkan kemungkinan bahwa kami tidak akan lagi sekelas dan kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya.


Setelah upacara penutupan, aku bahkan sampai berkata langsung pada Kanzaki-sensei, "Kalau aku tidak sekelas dengannya, aku akan keluar dari sekolah."


Singkatnya, Arisaka Yoruka juga benar-benar jatuh cinta pada Sena Kisumi.


Itulah sebabnya, ketika ia menyatakan perasaannya padaku di bawah pohon sakura, aku merasa seperti sedang bermimpi.


Aku selalu takut kalau ia, dengan kebaikan hatinya yang luar biasa, mungkin juga bisa jatuh cinta pada orang lain selain diriku.


Tapi pada akhirnya, itu hanyalah kesalahpahaman yang lahir dari keinginanku untuk memilikinya dan rasa cemburu yang tak beralasan.


Kebaikan hatinya adalah bakat yang tidak ada tandingannya dalam memahami perasaan orang lain.


Bahkan, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk menunjukkannya kepada siapa saja tanpa memikirkan untung atau rugi.


Namun, ada perbedaan antara kebaikan hatinya dan perasaannya yang sesungguhnya.


Perasaan Sena Kisumi selalu hanya tertuju pada Arisaka Yoruka.


Sejak awal, cinta itu hanya milikku.


Dan itu tidak akan pernah berubah.


Kini, aku bisa mempercayainya.


Seperti saat ia berlari untuk menemuiku agar kami bisa kembali bersama ketika aku hampir putus dengannya di bulan April, kali ini pun Kisumi datang kepadaku.


Panggung itu memanggilku.


"Aku sampai di sini saja. Selanjutnya, Arisaka-san, semangat ya."


Didorong oleh suara Hasekura-san, aku melangkah ke atas panggung lebih dulu.


Aku mendengar namaku dipanggil. Itu suara teman-teman sekelas dari 2-A. Setelah acara Yamcha Café hari ini berjalan lancar, mereka datang untuk menonton.


Dukungan tulus mereka membuatku sangat bahagia.


Sorotan lampu yang hanya tertuju padaku terasa begitu menyilaukan.


Di luar cahaya, semuanya tampak gelap dan sulit terlihat, tapi aku bisa merasakan banyak tatapan yang tertuju padaku.


Dulu, semua itu terasa menakutkan dan tidak menyenangkan.


Tidak, sebenarnya perasaan itu masih ada.


Hanya saja, sekarang aku bisa mengabaikannya sampai terasa seolah tidak penting lagi.


Cukup memikirkan Kisumi saja, dan semuanya akan baik-baik saja.


Aku hanya perlu bermain untuknya.  


Selama aku hanya memikirkan dirinya, keberanian akan muncul dengan sendirinya.  


Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan atau katakan, selama aku dicintainya, aku bisa tetap menjadi diriku sendiri.  


Bahkan jika dia tidak ada di sini, aku tetap bisa memikirkannya di mana pun.  


Mengisi seluruh pikiranku dengan Sena Kisumi, cara penyelesaian yang terlalu dipenuhi oleh cinta.  


Bahkan aku sendiri merasa terlalu terbawa suasana.  


Namun, bagiku itu tidak masalah. Justru itulah yang kuinginkan.  


---Seorang wanita yang sedang jatuh cinta itu tak terkalahkan!


Sambil berteriak dalam hati, aku menekan tuts keyboard.  


Jari-jariku meluncur di atas tuts seperti telah terbebaskan. Aku sendiri terkejut betapa aku menikmati ini. Tanpa sadar, temponya semakin cepat, dan nada-nadanya terdengar melompat-lompat.  


Seperti bernyanyi, seperti menari, aku mengikuti hatiku.  


Saat solo keyboard berakhir, tepuk tangan yang tidak terduga pun menggema dari kursi penonton.  


Seakan mengikuti kehendakku yang penuh percaya diri bak seorang ratu, bagian ritme tetap setia mengiringi permainanku.  


Mereka berdua terkejut, tapi tetap menyesuaikan permainan mereka dengan baik.  


Berkat banyaknya latihan, kami mulai memahami kebiasaan dan preferensi satu sama lain, membuat permainan kami semakin menyatu dengan nyaman.  


Trio kami terus menguat, seolah memanggil dua orang lainnya untuk bergabung.

◇◇◇




"Oke! Sang gitaris akhirnya tiba!" "Maaf membuat kalian menunggu!"


Kami bertiga menerobos masuk ke balik panggung, di mana Asaki-san dan Miyachii sudah menunggu.  


"Siap?"


Begitu melihat wajahku, Asaki-san langsung bertanya tanpa basa-basi.  


"Tentu saja. Aku ke sini demi itu."


"Tenang saja. Sekarang kita bisa memainkan semua lagu tanpa MC. Sesuai dengan jadwal yang sudah Kisumi-kun siapkan, tentunya."


"Sampai akhir, kita akan berlari tanpa henti. Ini akan jadi pertunjukan yang mengguncang!"


Aku melontarkan candaan ringan, mencoba mengusir rasa gentar dalam diriku.  


Asaki-san kemudian berbicara melalui radio komunikasi, memberikan instruksi pada siswa di bawah panggung, mengatakan "Beri isyarat, dalam satu menit, vokalis dan gitaris akan masuk."


"Terima kasih, Asaki-san."


"Kali ini, aku yang lebih banyak terbantu olehmu, Kisumi-kun. Setidaknya biarkan aku ikut berkontribusi juga."


"Rasanya luar biasa bisa punya rekan setangguh ini di sisiku."


Asaki-san tersenyum kikuk.  


Aku menatap ke panggung.  


Suara musik yang menggema dari sana memberiku keberanian.  


Di bawah sorotan cahaya itu, Yoruka, Kanou, dan Hanabishi sedang menunggu.  


Aku ingin segera berdiri di sana bersama mereka.  


Ketegangan yang biasanya mencengkeram tubuhku kini lenyap, seakan tak ada lagi ruang untuk merasa tegang. Itu justru membuatku merasa lebih lega.  


"Sumisumi, ini gitarmu."


Miyachii menyerahkan gitarku, dan aku menerimanya dengan kedua tangan.  


Begitu kutaruh strap di bahu, aku bisa merasakan beban gitar ini lebih berat dari biasanya.  


"Nanamura, Sayu. Terima kasih sudah sejauh ini membantuku."


"Hantam saja sekuatnya. Kalau kau jatuh, aku akan memungut sisa-sisanya."


"Sekarang, yang tersisa hanya membuat pertunjukan ini semakin meriah!"


Mendengar kata-kata mereka, senyum tanpa sadar mengembang di wajahku.  


"Miyachii, aku membuatmu khawatir sampai akhir, ya."


Miyachii menggeleng pelan.  


"Sumisumi, jangan membahas itu lagi. Yang penting, R-inks sekarang sudah berkumpul lengkap. Selama kita bisa menikmati ini sampai akhir, itu sudah cukup. Jadi, ayo kita ke panggung juga!"


Di atas panggung, sesi permainan bertiga akhirnya selesai.  


Bahkan dengan improvisasi sekalipun, mereka mampu memberikan penampilan yang luar biasa.  


Di tengah riuh tepuk tangan yang masih menggema, Miyachi dan aku pun melangkah naik ke atas panggung.  


"Maaf, membuat kalian menunggu."


Sesaat, tatapan kami bertemu satu sama lain.  


Miyachii berjalan ke tengah panggung, berdiri di depan mikrofon yang telah disiapkan.  


Aku pun bergegas menuju posisiku dan bersiap dengan gitarku.  


Saat itulah, Yoruka meninggalkan posisinya di depan keyboard dan menghampiriku.  


"Aku mendengar semuanya dari balik panggung. Kamu sama sekali tidak gugup, ya. Kamu sudah jadi lebih kuat, Yoruka."


"Sedangkan kamu terlihat cukup kelelahan, Kisumi."


Sambil berkata begitu, Yoruka tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah leherku.  


"Apa kamu mau menciumku?"


"Dasimu tidak diikat. Sudah kubilang aku tidak suka orang yang berantakan."


Dengan luwes, Yoruka mulai merapikan dasiku yang masih menggantung longgar di leher.  


Tapi dibandingkan biasanya, simpulnya kali ini lebih longgar, sengaja dibuat agar tidak terasa sesak. Dia menyesuaikannya dengan kondisiku sekarang.  


"Terima kasih, Yoruka."


Kebaikan kecil seperti ini benar-benar menyentuh hatiku.  


Ini adalah hal-hal kecil yang membuatku merasa bahwa inilah Yoruka yang kukenal.  


"Aku bisa memperbaikinya kapan saja untukmu. Karena aku ini pacarmu......"


Kata-katanya membawaku kembali ke hari pertama di tahun kedua SMA, saat dia menerima perasaanku.  


"Kisumi, aku senang kamu bisa dat---"  


"Aku baru datang. Aku akan mendengarkan setelah semua ini selesai."  


Dengan sengaja, aku menarik sudut bibirku ke atas, menampilkan senyum selebar mungkin untuknya.  


"Baik. Aku mengerti."  


Yoruka kembali ke keyboardnya, sementara aku memberinya isyarat bahwa aku sudah siap.  


Akhirnya, kelima anggota R-inks berkumpul.  


Miyachii menggenggam mikrofon.  


"Festival budaya SMA Eisei tahun ini akhirnya mencapai puncaknya! Semua masih semangat?!"  


Sorakan dari penonton memenuhi aula, bergemuruh seperti ombak yang menyapu pantai.  


"Terima kasih sudah menunggu! Kami adalah R-inks! Mari kita menghubungkan perasaan kita dan menjadikan momen terakhir ini kenangan terbaik!"  


Bersamaan dengan hitungan dari drum, musik pun dimulai.  

◇◇◇  




Begitu Sena Kisumi muncul di atas panggung, Kanzaki Shizuru langsung berubah wajah.  


Bahkan dari kejauhan, dia bisa melihat jelas bahwa pemuda itu belum benar-benar pulih.  


"Anak bodoh itu!"  


Berdiri di sudut aula olahraga, Shizuru langsung berbalik, hendak menuju ke balik panggung.  


"Berhenti di situ, Shizuru-chan. Jangan mengganggu pertunjukan."  


"Aria! Dan bahkan adik perempuan Sena-san juga! Kalian yang membawanya ke sini, bukan?!"  


"Maaf, Shizuru-chan. Tapi, bagaimana pun juga, aku tidak bisa menolak permintaan murid kesayanganku."  


"Jangan bertindak semaumu! Ia baru saja pingsan!"  


Karena keberadaan Ei dan situasi di mana sebuah pertunjukan sedang berlangsung, Shizuru tidak bisa langsung meluapkan amarahnya.  


Di tengah dentuman musik, Ei tampaknya benar-benar terhanyut dalam pertunjukan, sama sekali tidak menyadari ketegangan di antara keduanya.  


"Aku mungkin tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, tapi aku bisa mempercayainya."  


"Aria."  


Untuk pertama kalinya, ekspresi marah muncul di wajah Shizuru. Dia menatap Aria dengan tajam.  


Dalam suara yang lebih rendah, perdebatan sengit pun berlanjut.  


"Kamu terlalu protektif, Shizuru-chan."  


"Sebagai guru, sudah sewajarnya aku menghentikan kebodohan muridku."  


"Tapi ini bukan hanya tentang kamu sebagai guru, kan?"  


"Aku tidak punya waktu untuk ini. Menyingkirlah."


"Jangan khawatir, mereka pasti akan berhasil."  


Aria meraih tangan Shizuru yang hendak pergi.  


"Jangan selalu berpikir kalau segalanya akan berjalan sesuai dengan keinginanmu."  


"Hey, Shizuru-chan. Kita pertama kali bertemu sebagai guru dan murid, tapi sekarang kita teman, kan?"  


"......Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?"  


"Jawab saja."  


"Aku menyukaimu sebagai pribadi, dan setelah lulus, aku menganggap kita berada dalam hubungan yang setara. Meskipun sekarang aku sedang sangat kesal."  


"Kalau begitu, aku akan mengambil keunggulan duluan. Aku yang lebih dulu mengajar Sumi-kun dibanding dirimu."  


"Apa?"  


"Sumi-kun itu anak yang lembut, kurang suka persaingan, dan tidak terlalu luwes, tapi ia bisa melakukan sesuatu dengan baik jika diberi kesempatan. Sekarang saatnya ia percaya diri. Sudah waktunya kamu berhenti menganggapnya biasa-biasa saja dan membiarkan ia berkembang. Jadi, Shizuru-chan, mari kita hanya melihatnya tanpa ikut campur, menyaksikan saat ia mulai terbang dengan sayapnya sendiri."  


"Kenapa kamu selalu begitu memanjakannya?"  


"Mungkin alasannya sama denganmu."  


"Aku tidak mengerti maksudmu."  


"Oh, ya? Kalau seseorang yang kau sukai sedang berusaha sekuat tenaga, bukankah kau ingin mendukungnya?"  


"......Aria."  


Shizuru terdiam. Dia melepaskan genggaman Aria, tapi kakinya tetap tertahan di tempat.  


Di atas panggung, pemuda itu memainkan gitarnya dengan begitu luar biasa.  


"Sumi-kun---tidak, Kisumi. Lakukan yang terbaik."  


Aria menatap panggung dengan mata berkaca-kaca.  

◇◇◇  




Ah, rasanya aku benar-benar akan mati.  


Gravitasi terasa menyebalkan. Hanya berdiri saja sudah menyakitkan.  


---Tapi aku ingin menyelesaikan ini sampai akhir.  


Gitarku terasa lebih berat dari biasanya. Aku ingin segera melemparkannya dan merebahkan diri.  


---Namun, inilah penampilan terbaik yang pernah kulakukan.  


Sorotan lampu begitu menyilaukan. Aku ingin memejamkan mata.  


---Tapi aku ingin melihat suasana panggung ini, ingin melihat R-inks yang sedang tampil bersama.  


Suara musik menggema begitu keras. Bahkan mendengarnya saja membuatku lelah.  


---Tapi aku ingin tenggelam dalam suara ini, merasakan momen yang hanya bisa kualami sekarang.  


Aku sendiri terkejut dengan betapa kerasnya aku berusaha.  


Tubuhku sudah menyerah sejak tadi, tapi entah kenapa, jiwaku terasa lebih ringan dibanding sebelum naik ke panggung.  


Aku seharusnya sudah mencapai batas. Namun, rasa letih yang selama ini menyiksaku kini lenyap begitu saja.  


Jika melihat dari sudut pandang logika dan akal sehat, aku mungkin seharusnya menghentikan ini sekarang juga.  


Tapi siapa peduli?  


Saat ini, aku hanya ingin membiarkan perasaanku mengalir melalui suara musik.  


Meski mungkin terdengar kacau bagi orang lain, bagiku ini adalah pertunjukan terbaik yang pernah kulakukan.  


Aku benar-benar tenggelam dalam euforia ini.  


Mungkin bagi sebagian penonton, ini terdengar seperti suara bising yang tidak jelas.  


Tapi saat ini, aku merasa begitu bebas.  


Sepertinya inilah yang dimaksud Kanou dengan 'mengalirkan emosi langsung ke dalam musik'.  


Aku terhanyut dalam dunia musik, seakan hanya ada aku dan suara ini.  


Namun, suara yang kugemakan berpadu dengan suara teman-temanku, bercampur dengan atmosfer panggung, dan perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih besar.  


Nada dari setiap instrumen saling menyatu, berbaur, dan melebur menjadi satu harmoni.  


Suara yang kami ciptakan berinteraksi dengan alami, membentuk dinamika yang luar biasa.  


Di sini, ada sesuatu yang melampaui teknik atau logika, ritme yang murni, menciptakan harmoni yang baru.  


Betapa indahnya perasaan ini.  


Kami, R-inks, benar-benar terhubung melalui musik.  


Aku ingin terus tenggelam dalam aliran magis ini.


Meskipun hanya ilusi sesaat, aku sudah merasa puas hanya dengan momen ini.  


Perasaan nyaman yang luar biasa.


Kenikmatan menciptakan musik secara langsung.  


Euforia saat menjadi pusat perhatian.  


Yang paling menyenangkan adalah mendengar suara asli mereka dari jarak lebih dekat dibanding siapa pun di barisan penonton.  


Hatiku bergetar karena kegembiraan bisa menyaksikan kelahiran momen istimewa ini.  


Ah, gawat.  


Rasanya seperti ada semacam zat adiktif mengalir di dalam otakku.  


Aku benar-benar hampir kehilangan akal.  


Semakin lama, tubuhku semakin mati rasa.  


Sakit, tapi menyenangkan.  


Dentingan suara yang menggelegar ini terasa nyaman. Panasnya ruangan ini terasa berharga. Sorakan penonton membuatku ketagihan.  


Ayo, buat lebih ramai lagi.  


Ayo, naikkan lagi tensinya.  


Ayo, nikmati ini sepenuhnya.  


Akhirnya, lagu terakhir.  


Tanpa intermezzo, tanpa MC, kami hanya terus bermain, seakan-akan menolak kenyataan bahwa waktu hampir habis.  


Siapa yang bisa membuat pertunjukan ini lebih menyenangkan, dialah yang menang.  


Gitar yang kumainkan semakin tajam dan bertenaga.  


Bass Kanou berloncatan liar dengan bebas.  


Drum Hanabishi mengguncang seluruh ruangan dengan dentumannya.  


Keyboard Yoruka menyusun nada-nada magis dengan warna yang berkilauan.  


Lalu, suara Miyachi menyanyikan lirik dengan penuh emosi.  


Lagu ini semakin mendekati akhir.  


Tolong, jangan berakhir seperti ini.  


Tolong, biarkan momen ini bertahan selamanya.  


Ini adalah puncak dari hidupku.  


Tak perlu memikirkan hal lain.  



Inilah momen di mana aku benar-benar tenggelam dalam alunan musik.  


Kesadaranku terselimuti oleh kegelapan yang putih.  


Dunia terasa menjauh.  


Sementara hanya perasaanku yang berlari melesat ke tempat yang jauh.  


Semuanya......terima kasih telah menungguku.  


Hanabishi, terima kasih karena sudah bangkit kembali.  


Kanou, terima kasih karena telah mengenalkanku pada musik.  


Miyachi, terima kasih atas suara nyanyianmu yang luar biasa.  


Yoruka, terima kasih karena telah selalu mendukungku.  


Dengan seluruh perasaan yang kumiliki, aku menurunkan pick-ku ke atas senar gitar.  


Lalu, satu nada terakhir dilepaskan.  


Pada saat yang sama, seolah telah terbakar habis, aku hanya bisa berdiri diam di tempat.  


Sesaat, keheningan menyelimuti.  


Bahkan gema terakhir pun menghilang, larut bersama udara.  


Hening.  


Dan kemudian, seperti longsoran salju, gelombang sorakan yang membara menyerbu dari seluruh penjuru ruangan, menghantam tubuhku.  


Saat itulah aku menyadari bahwa pertunjukan ini telah berakhir.  


Entah sejak kapan, pick yang kugenggam telah jatuh dari tanganku.  


Dunia masih terasa jauh, tubuhku masih terbungkus dalam sisa panas yang mendidih.  


Seakan sihirnya telah menghilang, perasaan menyatu yang begitu kuat barusan kini sirna begitu saja.  


Tapi, aku tahu pasti, sorakan ini adalah sesuatu yang hangat.  


Sena Kisumi adalah pria biasa yang sama sekali tidak memiliki pesona seorang bintang.  


Ia bukan orang yang bisa dengan mudah menarik perhatian orang lain.  


Ia tidak punya senjata spesial yang membuatnya unik.  


Seandainya saja ia bisa puas hanya dengan menjadi orang biasa. Seandainya ia bisa hidup tanpa iri terhadap orang lain, menjalani hidup dengan tenang, tanpa ambisi berlebihan. Mungkin segalanya akan terasa lebih mudah.  


Jika aku bisa hidup dengan efisien, tanpa paksaan, dan tidak terlalu menatap ke atas, mungkin aku tidak akan terseret ke dalam kegelapan yang tak perlu.  


Tapi aku memilih untuk berusaha, mencari, dan terus berjuang.  


Bukan jalan pintas. Aku pasti sudah banyak membuang waktu dengan jalan memutar yang tak perlu.  


Namun, justru perjalanan penuh rintangan itulah yang menguatkanku.  


Setidaknya, itu adalah satu hal yang bisa kubanggakan.  


Di tengah riuhnya euforia yang belum mereda di dalam venue, kesadaranku yang tadi menyala-nyala kini perlahan mendingin.  


Sensasi dunia nyata kembali, dan aku mulai melihat diriku dari sudut pandang yang lebih dingin dan objektif.  


Ini hanya satu dari sepuluh kali kesempatan. Kebetulan saja, keberhasilan itu datang di awal.  


Beginner’s luck, kalau bisa dibilang.  


Setidaknya aku bersyukur bisa menampilkan yang terbaik dalam kesempatan ini.  


Karena aku bukan tipe yang bisa berleha-leha, kerja kerasku selama tiga bulan terakhir akhirnya tidak mengkhianatiku. Teknik yang telah kutempa dengan latihan mati-matian akhirnya bisa kukeluarkan dengan baik di atas panggung.  


Aku tidak salah langkah.  


Usaha Sena Kisumi akhirnya membuahkan hasil.  


Aku benar-benar bisa merasakannya.  


"Haha."  


Tawa kecil lolos dari bibirku.  


Aku tak bisa menahan gejolak emosi yang memenuhi dadaku.  


Aku, kami semua, berhasil menyelesaikan pertunjukan ini hingga akhir. Dan sebagai gantinya, rasa lelah yang menyenangkan mulai menyelimuti tubuhku. Seluruh badanku basah oleh keringat, tapi aku tidak keberatan.  


Gema tepuk tangan yang membahana mengguncang venue.  


Aku menoleh ke sekeliling, menatap wajah anggota bandku.  


Mereka semua menunjukkan ekspresi yang sama.  


Meski sudah musim gugur, panasnya ruangan ini masih terasa membakar tubuhku, bercampur dengan sisa semangat yang masih menyala.  


Di sisi panggung, Sayu dan Nanamura mengacungkan jempol sambil tersenyum.  


Di bangku penonton, aku melihat Ei melompat-lompat kegirangan.  


Di belakangnya, Kenzaki-sensei dan Aria-san ikut bertepuk tangan.  


"Sumisumi, katakan sesuatu."


Miyachii menyerahkan mikrofon kepadaku.  


Aku menunjuk diri sendiri, bertanya, "Aku?"  


Semua orang mengangguk serempak.  


Saat menoleh ke arah Asaki-san, dia menghela napas kecil, lalu memberi isyarat "OK" dengan jarinya.  


"Umm......sejujurnya, kemarin aku pingsan. Sampai sejam sebelum pertunjukan dimulai, aku masih tidur. Jadi, ini permainan dalam keadaan baru bangun tidur."  


Aku bercanda, dan tawa pun meledak di seluruh ruangan.  


"Berkat kalian yang menikmati ini sepenuh hati, aku juga bisa menyelesaikan pertunjukan sampai akhir. Terima kasih banyak. Ini akan menjadi kenangan terbaik dalam masa SMA-ku."  


Dari berbagai penjuru venue, suara-suara yang mengapresiasi mulai berdatangan.  


"Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang di sini, tapi kalau kulakukan, nanti kita tidak akan sempat membereskan panggung. Lagipula, aku ini panitia festival budaya, dan ketua OSIS juga ada di belakang."  


Aku menoleh ke belakang, dan Hanabishi membalas dengan membunyikan simbalnya.  


"Sepertinya tidak boleh. Jadi, aku akan mengucapkan terima kasih hanya pada satu orang saja, seseorang yang paling penting bagiku---Yoruka."  


Saat aku berbalik menatap keyboard, sorotan lampu panggung langsung menyempit, hanya menyinari aku dan Yoruka.  


"Bukan bermaksud pamer, tapi dia adalah pacarku. Cantik dan luar biasa baik."  


Yoruka tidak lagi terlihat panik. Mungkin karena dia masih terbawa panasnya pertunjukan tadi, hingga tak ada lagi celah untuk merasakan gugup.  


Dia hanya diam, menatapku.  


"Aku bisa bertahan sampai akhir karena ada Yoruka di sisiku. Seperti yang pernah kamu katakan, kamu ingin menjadi lebih kuat, kan? Aku juga sama. Aku ingin menjadi pria yang pantas untukmu."  


Gadis yang paling dekat denganku. Sosok yang begitu berharga. Seseorang yang sangat kucintai. Orang yang paling ingin kuakui.  


Dia berusaha dengan segenap tenaga, dan itu membuatku tak ingin kalah.  


Kami berdiri sejajar. Kami saling menghormati.  


Namun bagaimana dari sudut pandang objektif?


Sejak awal, jawabannya sudah jelas.  


Sena Kisumi hanyalah pria biasa, sementara Arisaka Yoruka adalah bunga yang berada di puncak tertinggi.  


Siapa pun bisa melihat bahwa kami adalah pasangan yang tidak seimbang.  


Namun, perasaanku terhadapnya tidak pernah goyah, begitu juga dengan cinta yang dia berikan padaku.  


Jika aku terus memikirkan perbedaan di antara kami, itu bukan karena aku meragukan cintanya, melainkan karena aku tidak memiliki cukup kepercayaan diri.  


Karena mencintai orang lain dan memiliki keyakinan pada diri sendiri adalah dua hal yang berbeda.  


Aku tidak punya satu pun keluhan tentang hubungan kami saat ini.  


Tapi, mempertahankan keadaan seperti ini hanya mungkin selama masa SMA.  


Dalam hidup, perubahan akan datang tanpa ampun.  


Perubahan lingkungan adalah sesuatu yang tak terhindarkan, dan cepat atau lambat, itu akan mendorong perubahan dalam perasaan juga.  


Segala sesuatu berubah dengan kejamnya waktu.  


Keyakinan di usia tujuh belas tahun terlalu rapuh, terlalu mudah goyah.  


Ketika aku membayangkan dunia tanpa Yoruka, rasa takut tiba-tiba merayap dalam diriku.  


Aku bisa saja mengabaikan ketakutan itu, membenamkan diri dalam kesenangan yang ada di hadapan mata, dan melarikan diri dari kenyataan.  


Tapi, itu tidak cukup.  


Aku ingin menjadi lebih kuat, agar aku bisa melindungi Yoruka.  


Aku tidak ingin cinta ini berakhir sebagai sekadar kenangan masa remaja.  


Aku ingin menjalani seluruh hidupku bersamanya, hingga akhir.  


Itulah kenapa kata-kata yang paling ingin kusampaikan mengalir begitu saja.  




"Yoruka! Aku mencintaimu! Aku benar-benar mencintaimu! Menikahlah denganku------!!"


  


Sebelum kusadari, aku sudah berteriak melamar Yoruka dengan suara lantang.  


Satu venue penuh siswa yang menjadi saksi serempak meledak dalam sorakan heboh.  


Ini pasti menjadi momen di mana Yoruka menerima perhatian paling besar dalam hidupnya.  


Jauh lebih besar dibandingkan pengumuman hubungan kami di kelas saat bulan April lalu.  


Sungguh sebuah tantangan mental yang luar biasa. Hampir bisa disebut penyiksaan.  


Semua mata di tempat ini terpaku pada Yoruka, menunggu jawabannya dengan napas tertahan.  


Sebuah momen menegangkan di mana keheningan dan hawa panas bercampur menjadi satu.  


Aku merasa waktu bergerak lebih lambat dari sebelumnya.  


Tapi aku tidak akan panik lagi.  




Dengan tangan yang gemetar, Yoruka mengangkat kedua lengannya, lalu membentuk lingkaran kecil di depan dadanya, seolah sedang memegang donat.  



Jawaban itu disambut dengan teriakan sorak yang mengguncang seluruh venue.  


Tepuk tangan dan suara kegembiraan berpadu menjadi irama yang semakin membesar.  


Tak lama kemudian, teriakan "encore" membanjiri ruangan.  


Suara yang meminta kami untuk terus bermain terus bergema, berulang-ulang.  


"Sena-chan, ini momenmu untuk bersinar."


"Sumisumi, ayo, satu lagu lagi!"


"Senakisu, kau masih sanggup, kan?"


"Kisumi! Bertanggung jawablah sampai akhir!"


Di sisi lain, wajah Yoruka kini merah padam, lebih daripada yang pernah kulihat sebelumnya.  


Dihadapkan pada tatapan keempat orang itu, aku meraih pick cadangan.  


"Kalian terlalu meremehkanku. Mau berapa lagu pun, aku akan mainkan semuanya!"


Aku kembali memetik senar gitar, membiarkan suara itu memenuhi venue sekali lagi.  


Dan begitulah, Festival Budaya ditutup dengan sebuah legenda baru yang tercatat dalam sejarah SMA Eisei.