Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V5 Chapter 1
Bab 1 - Alasanku Berusaha Sebaik Mungkin
"Tidak kuat lagi! Aku tidak bisa tampil di depan orang banyak!"
Begitu kembali ke ruang persiapan seni, pacarku, Arisaka Yoruka, langsung mengeluh dengan nada penuh kepasrahan.
"Jangan terlalu pesimis. Jujur aja, permainanmu tadi jauh lebih bagus daripadaku."
Aku mencoba menenangkan Yoruka yang masih meratapi kejadian barusan dengan mengusap kepalanya. Dia menerima perlakuanku tanpa protes, namun tetap meminta pendapat yang objektif.
"Jadi......menurutmu suara keyboardku tadi lebih indah dibandingkan yang kumainkan di rumah waktu liburan?"
Dengan mata berkaca-kaca, Yoruka menatapku.
Baru saja, band kami---R-inks---untuk pertama kalinya tampil di depan orang banyak.
Kami ikut serta dalam audisi internal klub musik ringan untuk menentukan band yang akan tampil di panggung utama festival budaya.
Dan kini, Yoruka begitu terpuruk dengan hasil penampilannya.
"Aku pribadi suka dengan permainanmu tadi. Itu punya daya tarik tersendiri."
"Tapi aku tidak bisa membiarkan orang lain mendengar permainan seburuk itu!"
Sebagai pemain keyboard, Yoruka terlalu gugup hingga melakukan kesalahan sejak nada pertama. Dia makin panik setiap kali melakukan kesalahan, yang justru membuatnya semakin sering melakukan miss-touch. Dia terjebak dalam lingkaran setan.
"Tidak apa-apa. Kamu itu pemain keyboard yang hebat. Kalau sudah terbiasa, kamu pasti bisa bermain seperti biasanya."
Aku teringat saat menginap di rumah keluarga Arisaka saat liburan musim panas.
Karena permintaan kakaknya, Aria-san, Yoruka pernah memperlihatkan permainan pianonya padaku.
Gerakan jarinya di atas tuts begitu luwes, setiap melodi yang dia mainkan mengalir dengan keindahan yang memikat, dan permainannya yang anggun mampu menembus hati para pendengarnya. Aku benar-benar terkesan saat itu.
Dibandingkan permainan yang sempurna kala itu, kali ini memang terasa kurang dari segi ketepatan dan kelembutan nada.
Namun, tidak separah yang dia pikirkan.
Memang, dia membuat sedikit lebih banyak kesalahan dari biasanya, tapi dia tetap bisa mendengar suara instrumen lain dengan baik. Meski ada satu nada yang meleset, dia mampu segera memperbaiki ritme dan melodi berikutnya.
Ini bukan tipe permainan yang berantakan total.
"Tapi, kalau dilihat sebanyak itu orang, aku tidak bisa bermain seperti biasanya!"
Melihatnya terpuruk sejauh ini memang cukup langka.
Dia benar-benar terperangkap dalam pola pikir negatif.
"Hei, ini hanya festival budaya sekolah, bukan kontes piano. Yang penting kita menikmatinya! Dan lagi, R-inks berhasil lolos, kan?"
Sengaja aku berkata dengan nada ringan, agar pikirannya tidak terlalu terbebani.
Audisi tadi diikuti oleh seluruh band yang ingin tampil, dan tiga band yang mendapat suara terbanyak dari anggota klub dinyatakan lolos.
"R-inks bisa lolos juga karena Kanou-san. Aku sendiri jelas gagal total."
Ternyata, Yoruka cukup keras terhadap dirinya sendiri.
Mungkin karena ini adalah keahliannya, dia jadi semakin frustrasi saat permainannya tidak sesuai ekspektasi.
Di bawah cahaya senja di bulan September yang masih terasa panas, Yoruka bersandar lemas di sandaran kursi.
Leher putihnya yang sedikit terlihat mengingatkanku pada sosoknya saat mengenakan yukata di festival musim panas.
Pakaian tradisional Jepang benar-benar cocok untuknya.
Tapi sebenarnya, dia cantik dalam pakaian apa pun.
Rambut panjang yang indah, kulit seputih salju, mata besar dengan bulu mata tebal seperti permata, hidung yang mancung, serta bibir tipis berwarna merah muda yang berkilau. Posturnya pun memancarkan keanggunan yang jauh berbeda dari gadis seusianya---dengan tubuh yang penuh lekuk feminin, dada yang berisi, pinggang ramping, pinggul besar, serta kaki panjang yang jenjang.
Dia bisa disandingkan dengan patung dewi marmer di ruang seni ini.
Rasanya sedikit sedih mengingat musim panas akan segera berakhir, dan seragam musim panasnya akan segera berganti.
"......Hei, aku sedang galau seperti ini, tapi kamu malah kepikiran hal lain, ya?"
Kemampuan Yoruka yang sangat peka terhadap pandangan orang lain memang kelemahannya, tapi juga menjadi senjata.
Di satu sisi, dia mudah gugup saat tampil di depan banyak orang, tapi di sisi lain, dia bisa langsung menyadari posisi mataku.
Dengan alis sedikit berkerut, dia menatapku tajam dari bawah.
"Tidak, aku hanya terpesona melihat betapa cantiknya dirimu."
"Kita sudah pacaran setengah tahun, kan? Harusnya kamu sudah terbiasa melihatku."
"Tidak mungkin. Kurasa aku tidak akan pernah bosan."
"Eh? ‘Tidak akan’ itu kedengarannya agak lama, ya?"
Yoruka perlahan mengangkat tubuhnya.
"Aku serius. Sampai sekarang, aku masih merasa seperti bermimpi bisa jadi pacarmu."
"Kalau begitu, bagaimana cara memastikan kalau ini bukan mimpi?"
"Umm......mungkin dengan menatapmu dalam-dalam dan larut dalam perasaan ini?"
"Jadi, cukup dengan menatap? Itu cara yang cukup simpel untuk memastikan cinta. Semua orang juga bisa melakukannya."
"---Kalau begitu, boleh aku melakukan sesuatu yang hanya bisa kulakukan?"
"Sekarang kita hanya berduaan."
Yoruka menatapku dengan ekspresi menggoda.
Aku perlahan duduk di kursi di sebelahnya.
"Mau dipijat karena lelah bermain keyboard?"
"Itu juga bagus, tapi salah tebak."
"Kalau begitu, mau makan sesuatu yang manis?"
"Kalau camilan manis, kita harus membelinya dulu. Saat ini tidak ada di sini."
"Sulit menebaknya. Sebenarnya apa yang diinginkan pacarku ini?"
"Sampai di bagian menggunakan mulut, kamu benar."
Lutut kami saling bersentuhan.
"Bersenandung?"
"Aku sudah cukup mendengar musik tadi."
"Ah, aku mengerti. Kamu pasti haus."
"......Ya, mungkin aku memang haus. Jadi, beri aku minum."
"Eh!?"
Aku terkejut setelah menyadari maksud Yoruka. Seriusan?
"Ada botol air di sana. Beri aku minum. ---Tapi, jangan gunakan tanganmu."
"Syarat terakhir itu perlu?"
"Aku ingin kamu menghiburku."
"Baiklah."
Aku meneguk sedikit air dingin, lalu menempelkan bibirku ke bibir Yoruka.
Bibir kami saling bersatu dengan sempurna. Setelah beberapa saat merasakan kelembutan bibirnya, aku perlahan membuka mulut sedikit. Yoruka dengan terampil menerima air yang mengalir dari celah kecil itu. Dia meneguknya, menelan setiap tetes yang ada dalam mulutku.
Tanpa sadar, jari-jari kami saling bertaut di atas pangkuan.
Meskipun air sudah habis, kami tetap tak berpisah.
Kami terus merasakan kehadiran satu sama lain, tetap melekat tanpa ingin menjauh.
Saat akhirnya wajah kami terpisah, Yoruka menatapku dengan mata setengah terpejam.
Setetes air jatuh dari sudut bibirnya dan mengalir di sepanjang dagunya.
Aku mengusap bibirnya yang basah dengan jari.
Dia menerima perlakuanku tanpa protes.
"Padahal hanya minum air, tapi rasanya sangat erotis."
"Ya, sangat menggoda."
"Airnya jadi hangat."
"Mungkin karena suhu tubuhku."
"Aku jadi merasa hangat juga."
"Wajahmu merah sampai ke telinga."
"Kamu juga, Kisumi."
"Apa boleh buat. Ini pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini."
"Aku berhasil mendapatkan satu lagi 'pertama kali'-nya Kisumi."
Yoruka tersenyum polos.
Senyuman tak berdaya itu benar-benar memiliki daya rusak yang luar biasa.
Jika ini terjadi di bawah terik matahari musim panas, akal sehatku pasti sudah menguap sejak tadi.
Seiring berjalannya musim panas ini, Yoruka mulai semakin berani dalam mengungkapkan keinginannya.
Akhir-akhir ini, permintaan nakalnya seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi.
Karena latihan band dan persiapan festival budaya, aku tidak bisa berkencan dengannya saat akhir pekan. Waktu kami berdua semakin berkurang, mungkin itulah salah satu penyebabnya.
Karena waktu yang bisa kami habiskan bersama terbatas, interaksi kami sebagai sepasang kekasih semakin meningkat, seolah-olah sekadar bercanda saja tidak lagi cukup.
Aku pun merasa seperti disiksa secara perlahan. Jika ini berlanjut, aku mungkin akan kehilangan kendali.
"Kisumi, ini mengeras."
Yoruka menurunkan pandangannya dan menyadari perubahan tertentu pada diriku.
Aku tak bisa menatap wajah kekasihku secara langsung, jadi aku mengalihkan pandangan ke dinding.
Jari-jari Yoruka membelai tanganku, seolah sedang memijatnya. Sentuhan lembut yang menggoda itu membuat detak jantungku semakin cepat.
"Di nana?"
Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Tenggorokanku yang baru saja dibasahi terasa kering lagi, bukan hanya perasaanku saja. Pendingin ruangan seharusnya bekerja, tapi suhu tubuhku justru semakin meningkat. Keringat mulai muncul di kulitku.
Sudah cukup, biarkan diriku terbawa oleh arus ini.
Jangan takut, Sena Kisumi. Jangan sampai membuat gadis ini merasa malu.
Sekalian saja, lanjutkan sejauh mungkin!
"Ujung jarimu, jauh lebih keras daripada sebelumnya."
"Eh, jari?"
Aku menundukkan pandangan.
Yang diperhatikan Yoruka adalah tangan kiriku yang tergeletak di atas pahaku. Dia memeriksa ujung jariku dengan seksama.
"Kamu banyak berlatih gitar, jadi wajar saja. Kamu sudah jauh lebih mahir dibandingkan saat pertama kali belajar."
Yoruka tersenyum senang seolah keberhasilanku adalah miliknya juga.
Sudah hampir satu bulan sejak aku yang masih pemula mulai serius berlatih gitar.
Setiap hari aku menyentuh gitar tanpa absen. Ujung jariku yang dulunya lembut dan langsung terasa sakit saat menekan senar kini sudah jauh lebih kuat.
"Kamu benar-benar memperhatikannya, ya, Yoruka."
"Tentu saja. Aku harus menjadi orang yang paling peka terhadap perubahan pada dirimu."
"Pacarku memang bisa diandalkan."
"Aku iri melihat hasil kerja kerasmu."
"Aku ini pemula, jadi masih punya banyak ruang untuk berkembang. Berbeda denganmu yang sejak awal sudah bisa bermain piano."
"Tapi aku tetap banyak melakukan kesalahan, bahkan di depan anggota klub musik. Aku harus segera memperbaikinya."
Band kami, R-inks, dibentuk khusus untuk festival budaya, semacam band sementara.
Selain pemimpin kami, Kanou Mimei, empat anggota lainnya---termasuk aku dan Yoruka---bukan bagian dari klub musik.
Meski begitu, anggota klub musik yang mengetahui bagaimana kami terbentuk bersikap ramah dan bahkan memberi kami kesempatan untuk tampil di panggung utama festival.
Demi membalas kepercayaan mereka, kami semua memiliki tekad yang sama untuk sukses di hari pertunjukan nanti.
"Jangan khawatir, yang paling berpotensi mengacaukan segalanya adalah aku. Kamu hanya perlu percaya diri dan bermain sebaik mungkin."
"......Andai kepercayaan diri itu bisa diberikan oleh orang lain dengan mudah."
Sambil menghela napas, Yoruka bersandar ke dadaku.
Aroma manisnya menggelitik hidungku.
Kenapa seorang gadis yang cantik harus memiliki wangi seindah ini?
Tubuhnya yang begitu dekat membuat panas yang mulai reda dalam diriku kembali menyala.
Tanpa henti, jari-jarinya terus meraba tanganku seakan mencari hiburan sendiri.
Maaf, tapi ini benar-benar siksaan bagiku.
"Yoruka, bagaimana kalau kita pindah tempat? Aku mulai lapar."
"Setuju. Aku juga ingin makan sesuatu yang manis."
"Apa saja, terserah Yoruka."
Karena pikiranku melayang entah ke mana, aku menjawab seadanya.
"Hei, apa aku membuatmu kesulitan?"
Yoruka langsung menangkap perubahan sikapku.
"Tentu saja tidak."
"Tapi tadi kamu seperti tidak fokus."
"Haruskah aku mengatakannya?"
"Aku ingin tahu segalanya tentangmu, Kisumi."
Aku menjawab dengan jujur.
"Yoruka terlalu manis, dan akhir-akhir ini kamu makin sering melakukan sentuhan fisik. Itu......membuatku bersemangat. Kita hanya berdua di ruangan ini, aku bisa saja kehilangan kendali."
"~~~~ッ"
Yoruka terperanjat dan akhirnya menyadari betapa eratnya dia menempel padaku.
Sepertinya dia tidak sadar telah melakukan itu.
"Apa tubuhku dipasangi magnet? Kapan aku mulai sedekat ini?"
"Itu magnet bernama cinta, mungkin?"
Aku mencoba bercanda, tapi senyumku sulit ditahan.
"Sejak masuk semester dua, kita belum bisa berkencan di akhir pekan. Aku kekurangan sentuhan!"
"Benar juga. Aku juga ingin segera pergi berkencan hanya berdua denganmu, Yoruka."
Aku benar-benar merasa seperti itu dari lubuk hatiku.
"Kisumi, kalau bicara soal makanan manis, kue memang enak, tapi sesekali aku ingin makan donat! Ayo pergi ke Mister Donut di depan stasiun!"
Meski wajahnya masih merah, Yoruka mengusulkan ide itu seolah tidak terjadi apa-apa.
Tentu saja, tidak mungkin aku menolak ajakan Yoruka.
Saat kami turun ke pintu masuk sekolah, kebetulan kami bertemu dengan Asaki-san di depan rak sepatu.
"Ugh!?"
Begitu menyadari keberadaan Hasakura Asaki, Yoruka langsung menunjukkan ekspresi masam secara terang-terangan.
"Kalian baru pulang? Sudah bekerja keras sampai sore, ya. Bagaimana latihan band-nya?"
Asaki-san mengabaikan wajah cemberut Yoruka dan menyapa dengan ramah.
Rambut cokelat terang yang tergerai hingga bahunya, wajahnya yang memesona membuatnya seakan bisa langsung terjun ke dunia hiburan. Dengan sentuhan riasan yang ringan dan gaya modis yang tidak berlebihan, dia adalah sosok populer di angkatan kami.
Dengan kepribadian yang ceria, dia mudah bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan. Tak heran jika dia memiliki banyak teman.
Aku dan dia sama-sama bertugas sebagai perwakilan kelas di Kelas 2-A.
"Perjalananku masih panjang. Kamu baru selesai dari klub upacara minum teh?"
"Ya. Setelah latihan, aku sempat mengobrol dengan Kanzaki-sensei soal festival budaya, jadi agak lama."
"Calon ketua klub memang berat, ya."
"Kisumi-kun juga, tetap seperti biasa......masih ditempeli oleh Arisaka-san, ya?"
Sambil melirik Yoruka yang diam tanpa bicara, Asaki-san mengatakannya dengan nada menggoda.
"Tentu saja, karena kami berpacaran!"
"Aku hanya mengutarakan apa yang kulihat."
"Tapi terdengar seperti keluhan."
"Bukankah itu karena ada sesuatu yang perlu kamu khawatirkan, Arisaka-san?"
"Sumber kekhawatiran terbesarku itu kau sendiri."
"Aku hanya sekadar menyimpan perasaan sepihak pada Kisumi-kun."
Yoruka yang hampir meledak emosinya, sementara Asaki-san membalas kata-katanya dengan tenang.
"Aku tidak suka kau dengan santainya mengakui perasaan sepihakmu di depan pacarku!"
Saat liburan musim panas, kami pergi berlibur ke pantai bersama teman-teman dekat.
Di sana, di hadapanku dan Yoruka, Asaki-san dengan terang-terangan menyatakan bahwa dia masih akan terus menyukai Sena Kisumi.
Tentu saja, dia tahu bahwa aku dan Yoruka berpacaran.
Namun, dia berkata, "Izinkan aku tetap menyukainya sampai perasaanku mereda."
"Aku hanya berbicara tentang perasaanku sendiri. Kalau aku memang berniat merebutnya, aku pasti sudah memanfaatkan pertemuan ini untuk mengajaknya pergi berdua."
"Aku tidak akan pernah mengizinkan itu!"
"Kalau begitu, marahlah kalau aku benar-benar mengajaknya nanti."
"Ughh~~"
Yoruka menggeram kesal, tampak seperti kucing yang sedang mengancam lawannya.
Di sisi lain, Asaki-san tetap tenang, dengan santainya menghindari amarah Yoruka.
"Kalau begitu, aku pulang dulu. Sampai jumpa lagi."
Asaki-san melambaikan tangan dan pergi tanpa banyak basa-basi.
"Yoruka, dia tetap teman sekelas kita. Mungkin kamu bisa bersikap sedikit lebih santai terhadapnya? Terlalu bereaksi berlebihan juga melelahkan, bukan?"
Aku mencoba menasihatinya dengan lembut, sudah siap menerima bantahan darinya. Jika Yoruka terlalu memusuhi Asaki-san, suasana kelas bisa jadi canggung.
Namun, reaksi Yoruka justru di luar dugaan.
"......Tidak ada perlawanan. Ada yang aneh."
Yoruka terlihat bingung, seolah ada yang mengganjal di pikirannya.
"Aneh bagaimana?"
"Tidak ada semangat juang."
"Padahal kalian tadi bertengkar cukup sengit?"
Saat mendengar pertukaran kata-kata tajam di antara mereka, aku cukup waspada kalau-kalau pertikaian makin memanas.
"Tapi kata-katanya tidak sekeras biasanya."
"Kamu bisa menyadari hal seperti itu, ya?"
Jika dipikir-pikir, akhir-akhir ini Asaki-san memang terlihat sering tenggelam dalam pikirannya.
Setiap kali diajak bicara, dia tetap membalas dengan suara ceria dan penuh semangat seperti biasanya. Namun, dalam beberapa momen, seperti saat rapat, ada saat-saat di mana dia tampak seperti sedang melamun, seolah pikirannya berada di tempat lain.
"Justru karena dia adalah lawan yang paling harus diwaspadai, aku bisa menyadari perbedaan sekecil apa pun."
Yoruka tidak menurunkan kewaspadaannya sedikit pun.
Baik suka maupun benci, pada akhirnya, itu berarti seseorang tetap memikirkan orang lain.
Perhatian dalam bentuk permusuhan tetaplah perhatian.
"Kenapa kamu tidak bisa menggunakan kepekaan itu untuk lebih mendekatinya?"
"Kalau aku bisa mengendalikan perasaanku dengan bebas, aku pasti sudah bisa bermain tanpa kesalahan saat audisi."
Ya, itu memang benar.
Aku sendiri belum pernah berhasil memainkan gitarku tanpa kesalahan. Apakah aku bisa melakukannya sebelum hari pertunjukan tiba?
"Aku ingin memastikan pertunjukan kita sukses."
"Ya. Karena itu, kita akan mulai rapat strategi dari sekarang!"
◇◇◇
Setelah meninggalkan sekolah, kami pergi ke Mister Donut di depan stasiun.
Setelah meletakkan tas dan gitar kami di kursi untuk menandai tempat duduk, kami berdua mengantre di kasir.
Kami memilih donat yang ingin kami makan, lalu memesan kopi untuk minuman, dan menuju meja kasir untuk membayar.
Sambil duduk berhadapan di meja untuk empat orang, kami mulai makan donat dan mendiskusikan pertunjukan band untuk festival budaya.
"Tantangan terbesar bagimu adalah bagaimana agar kamu bisa tampil tanpa merasa gugup meskipun ditonton banyak orang."
Berbeda dariku, memainkan musik sesuai dengan partitur bukanlah masalah bagi Yoruka.
Dia memang jarang mendengarkan musik rock, tapi setelah beberapa kali latihan, dia cepat memahami tekniknya.
"Kisumi, ada ide?"
"Hmm......Pada akhirnya, jawabannya cuma satu, terbiasa."
"Kalau itu bisa dilakukan, aku pasti sudah siap tampil besok."
Yoruka memasukkan sisa donat Pon de Ring ke dalam mulutnya sekaligus.
Seolah berkata, "Jangan minta hal yang mustahil," dengan cara makan berlebihan.
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
"Hei, kalau besok pertunjukan, aku juga tidak akan sanggup."
"Bagiku, itu sama sulitnya seperti yang kamu katakan tadi."
Setiap orang punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
"Mungkin bisa dengan meningkatkan frekuensi latihan di depan orang lain?"
"Itu memang benar, sih......tapi tetap saja~~"
Aku mengerti kenapa Yoruka tidak terlalu antusias.
Melakukan sesuatu yang tidak kita sukai selalu membutuhkan energi berkali-kali lipat, dan tentu saja, kalau bisa lebih mudah, itu akan lebih baik.
"Tapi Yoruka, kamu sudah beberapa kali berhasil mengatasi rasa gugupmu, bukan?"
"Contohnya?"
"Turnamen olahraga di awal musim semi. Kamu mendukung tim dengan suara lantang, dan saat aku terkilir, kamu tidak ragu membantuku ke ruang kesehatan meskipun diperhatikan banyak orang."
"Itu karena aku mengkhawatirkanmu."
"Lalu saat kita pertama kali ke karaoke. Atau saat bertengkar dengan Aria-san. Juga saat kita pergi menginap bersama saat liburan musim panas. Sebelum kita berpacaran, kamu pasti tidak akan melakukan hal-hal seperti itu, bukan?"
"......Kamu sengaja tidak menyebut saat Hasakura-san menyatakan perasaannya, ya?"
Tatapan Yoruka menjadi tajam.
"Kalau kusebutkan, itu hanya akan membuatmu marah, kan?"
"Sudah terlambat."
Antara merasa senang karena dia cemburu, atau takut karena dia benar-benar marah, aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Aku meneguk kopi dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ayo coba pikirkan secara konkret. Kenapa kamu merasa gugup? Kamu tidak bisa fokus karena merasa diperhatikan banyak orang, kan? Akibatnya, kamu jadi melakukan kesalahan."
"Ya."
"Sebaliknya, saat kamu tidak merasa gugup, bagaimana rasanya?"
"Saat turnamen olahraga, aku terlalu khawatir padamu."
"Aku senang mendengarnya. Kalau di karaoke?"
"Awalnya aku waspada karena ada Hasakura-san, tapi setelah mulai bernyanyi dan mengobrol, aku mulai menikmati suasananya."
"Bagaimana saat bertengkar dengan Aria-san? Aku tidak melihatnya langsung, jadi penasaran."
"......Jika aku lari saat itu, pasti akan menyesal seumur hidup. Itu karena aku memiliki tekad yang kuat."
Yoruka tampaknya mengingat kejadian tersebut dan entah kenapa tersenyum pahit.
"Dari sudut pandangku, berbicara menentang Aria-san pasti lebih menegangkan daripada tampil di panggung."
"Ada hal-hal yang tidak bisa kami kompromikan justru karena kami adalah saudara. Kamu mungkin tidak menyadarinya, Kisumi."
Nada suara Yoruka saat mengatakan itu terdengar sedikit tajam.
"Tidak menyadari apa?"
"Itu rahasia di antara saudara. Aku tidak akan pernah mengatakannya."
Sepertinya menggali lebih dalam hanya akan membawa masalah. Bijak untuk tidak bertanya lebih jauh.
"Begitu ya. Lalu, bagaimana dengan perjalanan musim panas?"
"Tentu saja menyenangkan. Kecuali bagian saat aku kesal karena kamu mandi bersama Hasakura-san."
"Itu murni kecelakaan! Dan sepenuhnya tindakan penyelamatan yang tulus!"
Secara refleks, aku membenturkan dahiku ke meja.
"Jangan menundukkan kepala seperti itu. Orang-orang di sekitar melihat kita."
"Berpisah dengan Yoruka sama saja dengan akhir dunia! Aku harus meminta maaf dengan sepenuh hati!"
"Aku sudah memaafkanmu, kok! Bagaimanapun juga, aku tidak ingin dunia ini berakhir, jadi tolong jangan selingkuh lagi."
"Demi Tuhan, Buddha, dan Yoruka-sama, aku bersumpah!"
"Wah, aku jadi dewa sekarang?"
Sambil kembali tersenyum, pacarku menatapku, meminta agar aku melanjutkan pembicaraan.
"Yoruka hanya tidak gugup ketika emosinya---baik itu senang, marah, sedih, atau bahagia---menjadi prioritas utama."
"Ah, itu mungkin benar!"
Yoruka mengangguk seolah baru menyadari sesuatu.
"Saat seperti itu, kamu tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain, hanya fokus pada diri sendiri, dan akhirnya masuk ke dalam konsentrasi yang dalam."
"Konsentrasi yang dalam......"
Aku mengambil donat cokelat dan menggigitnya.
"Singkatnya, kamu harus menjadi sedikit egois."
Aku mengungkapkan pendapatku tentang tantangan yang dihadapi Yoruka saat ini.
"Jadi maksudnya aku harus jadi ratu yang egois?"
Karena dia bertanya dengan wajah serius, aku langsung membayangkan Yoruka mengenakan yukata dengan aura seorang ratu.
Ratu Yoruka, dengan sifat dominan tingkat maksimal, memerintah sesuka hati.
Dan anehnya, aku tetap merasa dia menggemaskan dalam skenario itu.
"Kisumi, jangan tenggelam dalam dunia imajinasimu~"
"Maaf, aku hanya sedang menegaskan kembali rasa cintaku pada pacarku."
"Kamu tidak perlu melakukannya dalam imajinasi, lakukan saja di dunia nyata."
"Di depan umum juga?"
"Itu tidak boleh. Malu."
Dengan kecantikan seperti Yoruka, wajar saja jika dia menarik perhatian ke mana pun dia pergi.
"Kamu bisa belajar dari Aria-san tentang cara menghadapi tatapan orang. Aku belum pernah melihat seseorang yang berperilaku seanggun dirinya."
Perbedaan antara Arisaka bersaudara jauh lebih kecil daripada yang mereka kira.
"Kisumi, bagaimanapun juga, kamu benar-benar sangat mengandalkan kakakku, ya."
"Tanpa Aria-san, aku tidak akan bisa lulus ujian masuk Eisei, dan aku mungkin juga tidak akan bisa berpacaran denganmu. Dia adalah penyelamatku, dan aku jujur mengagumi kecerdasannya."
"Pengaruh kakakku terhadap pacarku terlalu besar!"
"Jangan khawatir, satu-satunya yang kucintai adalah Yoruka."
Saat aku menjawab dengan santai, dia tiba-tiba mengulurkan tangan ke mulutku.
"Cokelatnya menempel di bibirmu."
Yoruka menghapus noda cokelat dengan ujung jarinya, lalu menjilatnya.
"Aku hanya melakukan ini pada Kisumi. Karena kamu spesial."
Gerakan kecilnya itu terlihat sangat menggoda hingga membuatku gugup.
Aku ingin sekali berteriak "Pacarku imut sekali!!", tapi aku menahan diri dengan menyeruput kopi dari cangkirku, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa kuhindari.
Begitulah, sambil membicarakan cara Yoruka menghadapi tatapan orang, waktu pun berlalu dengan tenang.
"Tidak ada ide lagi?"
"Tidak, masih ada satu lagi yang terakhir."
"Kalau ada, coba katakan."
Meskipun aku yakin ini adalah saran yang pasti tidak akan disukai oleh Yoruka, aku tetap memutuskan untuk mengatakannya.
"Di festival budaya, kelas kita juga mengadakan pertunjukan, kan? Bagaimana kalau kamu mencalonkan diri sebagai perwakilan kelas?"
"Eh, itu tidak mungkin!"
Seperti yang sudah kuduga, reaksinya sesuai ekspektasi.
"Kalau dicoba, siapa tahu ternyata malah menyenangkan."
"Tapi harus mengatur kelas dan memberikan instruksi, kan? Itu bukan keahlianku."
"Anggap saja sebagai latihan menjadi seorang ratu. Seperti ‘Perintahku adalah mutlak!’ atau semacamnya."
"Memanfaatkan orang dengan sikap egois dan memimpin orang sebagai seorang pemimpin itu berbeda."
Yoruka menanggapinya dengan tenang.
"Aku juga awalnya hanya ditunjuk menjadi perwakilan kelas, tapi tanpa sadar aku juga diminta menjadi panitia festival budaya. Itu bukan kemauanku sendiri."
"Tapi meskipun begitu, menurutku kamu tetap melakukannya dengan baik, kok."
"Itu hanya karena aku tipe orang yang tidak bisa membolos kalau tahu bakal dimarahi nanti. Dalam hal itu, aku sebenarnya pengecut."
"Tidak mungkin. Kamu justru cukup berjiwa besar, loh. Begitu sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, kamu selalu berusaha menjalankan peranmu dengan baik. Tidak pernah setengah-setengah, dan menurutku itu luar biasa."
"---"
Kata-kata sederhana dari orang yang kucintai itu memberi semangat luar biasa bagiku.
Kejutan karena dia melihat sisi diriku yang tidak kusadari, serta betapa perhatiannya dia kepadaku, membuat hatiku penuh kebahagiaan.
"P-Pokoknya, pengalaman yang awalnya terasa tidak menyenangkan bisa saja ternyata berguna di kemudian hari. Kalau kamu tidak mau melakukannya sendirian, aku bisa membantumu. Bagaimanapun juga, aku pasti tetap membantu kelas kita."
Bagaimana seseorang menjalani masa sekolahnya adalah kebebasan pribadi.
Ada yang menikmati acara sekolah dengan penuh semangat, ada juga yang memilih menjalani semuanya dengan santai sesuai ritme mereka sendiri.
Aku sendiri juga bukan tipe yang punya impian besar untuk menjalani kehidupan sekolah yang ‘sempurna’ seperti di film-film remaja.
Kalau bukan karena Yoruka ikut bergabung dengan band, aku mungkin tidak akan pernah terpikir untuk tampil di atas panggung sambil memainkan gitar.
---Semua hanya tentang memilih apakah akan mengambil kesempatan atau tidak.
Dalam kasusku, aku hanya berpikir untuk mencoba saja dulu. Keberanianku mungkin hanya sebatas itu.
Saat ini, Yoruka sedang berada dalam tantangan terbesar dalam hidupnya.
Untuk memastikan kesuksesannya, kami harus melakukan semua yang bisa kami lakukan.
"Itu tidak boleh!"
Yoruka dengan keras menolak.
"Kamu sudah menjadi panitia festival budaya, kan?! Ditambah lagi dengan latihan band. Kalau masih harus jadi ketua untuk pertunjukan kelas juga, kamu terlalu ceroboh mengambil terlalu banyak tugas! Itu akan menghabiskan seluruh energimu!"
Di sekolah kami yang menghargai inisiatif siswa, peran mereka dalam acara sekolah sangatlah besar. Untuk melatih kemampuan manajerial, siswa yang menjadi perwakilan kelas secara otomatis juga dimasukkan ke dalam panitia festival budaya. Oleh karena itu, biasanya kelas menunjuk perwakilan lain untuk mengatur pertunjukan mereka.
"Kalau begitu, aku akan membelah diri saja."
"Coba lakukan kalau bisa."
"Dengan kekuatan cinta, mungkin saja keajaiban bisa terjadi."
"Hmph, kalau memang ada sihir seperti itu, aku ingin melihatnya sendiri."
Mata besar Yoruka dengan jelas menunjukkan ekspresi ‘Itu mustahil’.
"Yang ingin kukatakan adalah, aku selalu ingin menjadi seseorang yang bisa membantumu."
"Aku percaya itu. Tapi kamu terlalu protektif. Tolong jangan menambah bebanmu sendiri lagi."
Sejujurnya, sudah jelas bahwa aku memang mulai kewalahan.
Ketika membayangkan jadwal yang harus kujalani hingga festival budaya, rasanya cukup menyesakkan.
Namun, jika demi Yoruka, aku tidak merasa keberatan.
Jika ini bisa membantunya mengatasi rasa gugupnya, aku akan dengan senang hati bekerja lebih keras.
"Sebagai langkah berikutnya untuk menjadi lebih kuat, ini adalah pilihan yang baik."
Setelah mendengar pernyataan cinta Asaki pagi itu, Yoruka berdoa di tepi laut, berharap agar dirinya bisa menjadi lebih kuat.
Keputusannya untuk bergabung dalam band adalah langkah pertama menuju perubahan dirinya.
Untuk tampil dengan sukses di hari H, dia harus terbiasa dengan tatapan orang lain.
Jika orang-orang yang melihatnya adalah teman sekelas yang sudah setiap hari bersama, mungkin bebannya akan sedikit lebih ringan.
"......Kalau aku mencalonkan diri dan terpilih, itu berarti waktuku bertemu denganmu akan semakin berkurang, kan?"
Dengan wajah sedikit ragu, Yoruka bergumam pelan.
"Kita masih bisa bertemu saat latihan band, dan bahkan saat persiapan pun, selama aku bersama Yoruka, semuanya tetap menyenangkan."
Memiliki seseorang yang kau cintai di kelas berarti seperti ini.
Kita bisa menghabiskan waktu bersama di kelas yang sama, baik saat pelajaran maupun di waktu istirahat.
"---Kata-kata seperti itu curang."
Yoruka mengintip ke arahku melalui lubang donat yang dipegangnya.
Meskipun wajahnya hampir tertutupi, mata indahnya tetap terlihat jelas.
"Setelah semuanya selesai, kita bisa berkencan sebanyak yang kita mau."
"Ya."
Yoruka menundukkan pandangannya, menatap cangkir di tangannya.
"Soal perwakilan kelas, aku akan coba memikirkannya."
Dan seperti itu, dengan memandang ke arah masa depan, semester dua tahun kedua kami pun dimulai.
Musim perlahan berganti dari musim panas ke musim gugur.
◇◇◇
Saat akhirnya kami berhasil menghilangkan rasa malas setelah libur musim panas, bulan September telah berlalu, dan tibalah festival olahraga.
Sorotan utama tentu saja adalah lomba lari estafet campuran antar kelas.
Setiap kelas memilih tiga laki-laki dan tiga perempuan, dan perlombaan ini ditentukan oleh enam putaran, masing-masing pelari menempuh satu putaran lintasan.
Di kelas 2-A, seperti biasa, para peserta dipilih berdasarkan catatan waktu lari 50 meter yang dikumpulkan oleh Asaki-san. Di antara para atlet perempuan, Yoruka juga terpilih.
Awalnya, seperti biasa, dia berusaha menolak. Namun, bujukan teman-teman dan ucapanku, "Ini bisa jadi latihan untuk festival budaya juga, kan?" akhirnya membuatnya menerima.
Saat perlombaan berlangsung, ketika giliran Yoruka menerima tongkat estafet, posisi kelas kami berada di peringkat bawah.
Namun, dengan kecepatan luar biasa, dia mulai mengejar, menyalip satu per satu lawan di depannya.
Adegan dramatis seorang gadis cantik bernama Arisaka Yoruka, dengan rambut kuncir kudanya berkibar seperti ekor kuda pacu, melewati para pelari lain dari belakang, langsung membakar semangat seluruh penonton di lapangan.
Berkat aksinya, posisi kelas kami langsung melonjak ke atas, dan akhirnya, pelari terakhir, Nanamura, berhasil menyentuh garis finis di peringkat pertama.
Para teman sekelas dengan penuh semangat memuji Yoruka, yang menjadi pahlawan utama dari kemenangan dramatis ini.
Namun, berada di tengah keramaian bukanlah sesuatu yang nyaman bagi Yoruka.
Dia tak bisa mengabaikan kegembiraan teman-temannya, tapi dengan ekspresi bingung, dia menatapku meminta bantuan.
Melihat itu, aku mencari celah yang tepat dan membawanya keluar dari kerumunan.
Saat kami berdua sudah sendirian, aku bertanya mengapa kali ini dia berlari dengan penuh semangat.
Jawabannya, seperti yang kuduga, sangat khas Yoruka.
"Aku hanya ingin mengakhiri momen di mana semua orang menatapku secepat mungkin, jadi aku berlari sekencang mungkin."
Jadi bukan karena ingin menang, tapi karena ingin segera lepas dari tatapan orang-orang, dia berlari sekuat tenaga.
Mendengarnya, aku tertawa terbahak-bahak, tapi pada saat yang sama, aku sangat kagum karena dia tetap memberikan hasil yang luar biasa.
Yah, Yoruka memang luar biasa.
Setelah festival olahraga berakhir, udara mulai terasa lebih sejuk, seragam pun berganti ke pakaian musim dingin.
Tersisa sekitar satu bulan hingga festival budaya pada bulan November.
Pada hari itu, di jam perwalian, kelas 2-A mulai menentukan pertunjukan yang akan mereka tampilkan di festival budaya.
Pertama-tama, kami harus memilih dua perwakilan kelas, satu laki-laki dan satu perempuan.
Seperti biasa, aku dan Asaki-san sebagai perwakilan kelas memimpin jalannya diskusi.
Karena sejak sebelum liburan musim panas kami sudah disibukkan dengan peran sebagai panitia festival budaya, tanggung jawab untuk mengatur pertunjukan kelas diserahkan kepada perwakilan lain.
"Baiklah, bagi yang ingin menjadi perwakilan kelas, silakan angkat tangan."
Dengan suara tegas, Asaki-san berbicara dari depan kelas.
Kemudian, satu orang gadis tanpa berkata apa-apa mengangkat tangannya.
Seluruh kelas menatapnya dengan ekspresi terkejut yang sama.
Tentu saja, akulah yang telah mendorongnya untuk melangkah sejauh ini.
Namun, aku benar-benar tidak menyangka dia akan benar-benar mengangkat tangan.
Yang sedang mengacungkan tangannya adalah pacarku, Arisaka Yoruka.