Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V4 Chapter 10
Bab 10 - Iblis Musim Panas
Setelah membereskan sisa-sisa barbeque, masing-masing orang bebas melakukan kegiatannya sendiri.
Beberapa orang berkumpul di sekitar api unggun di luar, yang lain berendam di pemandian air panas, atau sekadar beristirahat di kamar mereka.
Aku dan Yoruka memutuskan untuk pergi ke toserba terdekat untuk membeli beberapa bahan tambahan.
Sepertinya yang lain sengaja memberi kami kesempatan agar bisa berjalan berdua.
Dengan hanya mengandalkan cahaya lampu jalan yang tersebar, kami menyusuri jalanan redup di sepanjang pantai.
Obrolan kami pun tak bisa lepas dari pembicaraan tentang Asaki-san tadi.
Seolah ingin mengusir rasa dingin yang dibawa angin laut, Yoruka tetap menggenggam tanganku erat.
"Aku sudah lelah bicara dengan anak itu."
Yoruka benar-benar merajuk.
"Siapa pun pasti merasa lelah kalau mendengar omongan seperti itu. Jangan terlalu dipikirkan."
Bahkan aku, yang hampir tak mendapat kesempatan bicara, merasa perutku mual hanya karena mendengarnya dari dekat.
Tentu saja, bukan karena kekenyangan setelah makan terlalu banyak daging.
"......Kupikir setelah barbeque, aku bisa bicara dengannya dengan lebih santai."
"Makanya kamu yang memulai percakapan tadi?"
"Sayu-chan sudah memutuskan untuk bergabung dengan klub upacara minum teh, kan? Melihatnya berusaha mengatasi masa lalunya seperti itu......rasanya keren sekali."
"Jangan terlalu banyak memuji dia. Nanti dia cepat besar kepala."
"Selalu memperlakukan Sayu-chan sebagai seniornya itu tidak baik, tahu?"
"Maaf, padahal aku sudah berusaha menghindarinya."
Hubungan senior-junior dari masa SMP tidak boleh terus dipertahankan. Itu pernah menimbulkan masalah. Lagipula, kami sekarang sudah SMA, dan kami masih akan terus berubah.
"Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan, ya?"
Yoruka mengangguk setuju dengan nada penuh perasaan.
"Aku juga ingin berkembang meski hanya sedikit."
"Ya, aku mendukungmu."
"Aku ingin tumbuh agar bisa sedikit mengurangi beban untukmu, Kisumi."
"Tak perlu memikirkan aku. Justru, aku senang jika orang yang kusukai mengandalkanku."
"Aku juga sadar kalau pertemuan Sena itu kelompok yang cukup unik. Aku ingin berusaha agar tidak merepotkan mereka, tapi pada akhirnya, aku justru selalu menjadi pihak yang merepotkan."
"Itu karena mereka semua menyayangimu, Yoruka. Kita harus berterima kasih karena punya teman yang begitu perhatian."
"Mereka baik sekali, ya?"
"Ya. Aku bangga punya teman seperti mereka."
Malam di perjalanan musim panas ini membuatku ingin mengungkapkan hal-hal seperti ini.
"Tapi tetap saja, aku tidak terima dipermainkan begitu saja oleh Hasekura Asaki!"
"Kalau semuanya harus hitam dan putih, ada hal yang justru bisa berakhir begitu saja, kan? Setidaknya, sekarang kita tahu kalau Asaki-san juga ingin mempertahankan grup ini. Itu sudah cukup bagus."
"Aku rasa, bahkan kalau bukan karena kamu, Kisumi, aku tetap tidak akan bisa akrab dengan Hasekura-san."
Yoruka terdengar lebih pesimis dari biasanya, tapi aku justru merasakan hal yang sebaliknya.
"Malah menurutku, kamu hebat karena berani mendekati Asaki-san lebih dulu. Aku ingin memujimu untuk itu."
"Benarkah?"
"Ya. Kamu sudah berkembang."
"Puji aku lebih banyak lagi."
Tiba-tiba, Yoruka merangkul lenganku erat.
Aku pun mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya. Dia menyipitkan mata dengan ekspresi puas.
"Tak perlu terburu-buru. Kemampuan berkomunikasi juga bisa diasah dengan pengalaman."
"Meskipun tadi aku justru dibuat tak berkutik begitu?"
"Komunikasi itu justru soal bagaimana menghadapi orang yang belum dekat, bukan? Kalau sekadar pura-pura akrab, itu bukan komunikasi yang sebenarnya."
"Bukan 'akrab,' tapi 'pura-pura akrab'?"
Yoruka menatapku lebar-lebar, terkejut.
"Bukan masalah besar kalau kamu membuat kesan pertama yang buruk atau melakukan kesalahan. Yang penting adalah menjaga hubungan tetap berlanjut. Mungkin butuh waktu, tapi selama kamu bisa meningkatkan kesan secara bertahap, itu sudah cukup. Kamu terlalu berusaha mendapatkan nilai sempurna sejak awal."
"T-Tapi, ada banyak orang yang langsung disukai sejak pertemuan pertama, kan?"
Aku langsung tahu siapa yang sedang Yoruka pikirkan.
"Aria-san itu pengecualian di antara pengecualian. Berusaha meniru seseorang seunik dia tidak akan ada gunanya."
Mendengar itu, Yoruka menelan ludah kecil.
Dia sendiri pasti yang paling memahami betapa sulitnya mencoba menyesuaikan diri dengan standar yang tak realistis.
Mencontoh sesuatu yang baik memang bukan hal buruk, tapi kehilangan jati diri malah akan membuat segalanya sia-sia.
"Lagipula, bukankah kesan pertamamu terhadapku juga sangat buruk? Waktu aku pertama kali masuk ruang persiapan seni, kata-kata pertama yang keluar dari mulutmu adalah 'ganggu, pulang sana, enyah.'"
Bahkan sekarang, mengingatnya saja sudah cukup membuatku tertawa.
Fakta bahwa aku bisa sampai berpacaran dengannya setelah interaksi awal seperti itu masih terasa seperti keajaiban.
Kalau aku bisa kembali ke satu tahun lalu dan memberi tahu diriku sendiri bahwa aku akan menjadi pacar Arisaka Yoruka, aku pasti tidak akan mempercayainya.
Mengingat bagaimana sikapnya yang dingin saat itu, sekarang justru terasa nostalgia dan ada pesona tersendiri.
"Kisumi! Kembali ke topik! Jangan bahas aku!"
Mata Yoruka sudah seperti memohon ampun, benar-benar putus asa.
"Intinya adalah, bagaimana cara membuat orang lain memahami sudut pandang kita. Asaki-san pasti punya pergulatannya sendiri soal grup ini. Tapi pada akhirnya, dia tetap ikut dalam perjalanan ini. Kamu paham maksudnya?"
"Ya," Yoruka mengangguk.
"Cara seseorang menerima suatu hal itu tidak selalu bisa kita lihat. Bahkan jika pertemuan Sena dibubarkan, kita tetap akan bertemu satu sama lain setiap hari sebagai teman sekelas. Ini bukan hanya soal cinta---hidup di sekolah memang sulit karena kita harus berbagi ruang dengan orang yang kita suka maupun tidak suka."
Yoruka terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kataku, lalu menatap wajahku dari samping.
"Ada sesuatu di sekitar mulutku?"
Memintanya mengambilnya dengan ciuman terdengar menggoda, tapi siapa tahu ada yang melihat, jadi lebih baik aku menahan diri.
"Perwakilan kelas memang banyak pertimbangan, ya. Sekarang aku paham kenapa Kanzaki-sensei menunjukmu."
"---Mungkin kita tidak bisa berteman baik dengan semua orang, tapi setidaknya, kita tetap bisa terhubung dengan cara yang sewajarnya."
Itu adalah harapan dan idealismeku sendiri.
Tanpa paksaan yang berlebihan, dengan tetap menjaga kebebasan masing-masing, namun tetap bisa saling membantu ketika dibutuhkan.
Jika ikatan seperti itu bisa terjalin, maka sebagai perwakilan kelas, aku sudah merasa cukup puas.
"Hei, Kisumi, dari dulu kamu memang selalu pandai bicara seperti ini?"
"Mana mungkin. Waktu masih bayi, satu-satunya hal yang bisa kukatakan cuma ‘babuu’."
"Aku serius bertanya."
"Kalau kupikir lagi, mungkin karena aku menerima tugas sebagai perwakilan kelas. Posisiku membuatku lebih sering berbicara dengan orang di luar lingkaran pertemananku, jadi aku merasa berkembang karena itu."
Sebagai perwakilan kelas, aku harus berbicara dengan banyak orang, termasuk mereka yang nyaris tak pernah berinteraksi denganku sebelumnya.
Tidak semua teman sekelas mau begitu saja mengikuti arahanku. Belum lagi, aku harus berurusan dengan siswa dari kelas lain, senior, junior, bahkan guru yang tidak pernah mengajarku.
Mau tak mau, aku harus melakukannya---dan seiring waktu, aku jadi terbiasa.
Sesederhana itu.
"Kisumi juga berkembang, ya. Hebat."
"Ya, kamu boleh lebih menghormatiku kalau mau."
"Kisumi memang luar biasa. Pantas saja banyak gadis yang menyukaimu~"
Dia tersenyum, tapi aku merasa ada sedikit nada menyindir di baliknya.
"Aku bisa mengakui perasaanku pada Yoruka yang dulu galak juga berkat pengalaman ini, tahu!"
"Aku tahu, aku tahu. Haaah, tetap saja, aku ingin seperti Onee-chan."
"Siapa tahu, Aria-san juga punya masalah yang tidak bisa dia ungkapkan."
Bagi orang biasa sepertiku, memahami isi hati Aria-san seperti mencoba menggenggam awan.
Namun, sejak malam aku menginap di rumah Kanzaki-sensei, ada sesuatu dalam kata-kata Arisaka Aria saat kami berbincang di kafe pagi itu---sesuatu yang hingga kini masih membekas dalam benakku.
◇◇◇
"Belum mau masuk ke dalam?"
"......Heh, aku tak menyangka kau yang akan mengajakku bicara duluan."
Di depan api unggun yang menerangi kegelapan, Arisaka Aria menyesap minumannya seorang diri.
Hasekura Asaki perlahan mendekatinya.
"Boleh aku duduk di sebelahmu?"
"Kalau memang ingin berbicara denganku, silakan."
Tanpa menjawab, Asaki berjongkok di sebelah kursi tempat Aria duduk.
Di tengah keheningan, mereka hanya duduk diam. Suara kayu yang berderak di dalam api unggun, nyanyian serangga, dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin mengisi kesunyian di antara mereka.
Jika mendongak, langit malam ini menampilkan lebih banyak bintang dibandingkan langit Tokyo.
"Pertengkaran tadi, lumayan menghibur, ya."
"Kamu pasti terus tertawa sepanjang waktu."
"Ya, soalnya kau masih punya tekad untuk bersaing dengan Yoru-chan."
"Jangan lupa, kamulah yang mengumbar perasaanku di hadapan semua orang di kantin waktu itu."
"Itu sudah sangat jelas. Cepat atau lambat, kau juga pasti kehabisan cara untuk menyembunyikannya."
"Saat itu aku tidak punya pilihan selain pasrah. Tapi tetap saja, aku tidak suka caraku ketahuan begitu saja tanpa kendali."
"Itulah kenapa kau memilih untuk mengatakannya langsung di depan mereka berdua, bukan?"
"Menurutmu tidak boleh?"
"Memangnya ada celah untuk menyusup di antara mereka berdua?"
Suara Aria terdengar sangat dingin.
"Kalau hanya saat Kisumi-kun sendirian, mungkin saja?"
"Naif sekali. Itu hanya perasaanmu karena ia laki-laki. Sumi-kun itu baik, ia selalu berusaha bersikap lembut agar tidak menyakiti orang lain. Tapi kalau benar-benar dipaksa memilih, ia adalah tipe yang bisa mengambil keputusan dengan tegas."
Aria menegaskan ucapannya, wajahnya diterangi oleh cahaya api unggun.
"Kamu benar-benar mengenal Kisumi-kun dengan baik, ya," ujar Asahi.
"Ya, tentu saja. Ia murid kesayanganku dulu."
"Bagaimana rasanya melihat mantan muridmu sekarang menjadi pacar adikmu?"
"Apa maksud dari pertanyaan itu? Kau selalu suka menantang orang lain, ya, Hasekura-san."
"Aku hanya penasaran. Aku anak tunggal, jadi aku tidak tahu rasanya punya saudara."
"Itu tergantung orangnya. Ada yang selalu akur, ada juga yang hampir tak pernah berbicara satu sama lain."
Nada suara Aria terdengar seakan tak mau membahas lebih lanjut.
"Lalu bagaimana dengan kalian, kakak beradik Arisaka?"
"......Kami ini kakak beradik yang serupa. Perbedaan terbesar hanyalah bahwa Yoru-chan memiliki seorang kakak seperti aku, sementara aku tidak punya siapa pun di atasku. Aku lahir lebih dulu sebagai kakak, dan Yoru-chan seangkatan dengan Sumi-kun. Hanya sebatas itu perbedaannya."
Seolah-olah perbedaan itu hanyalah hal kecil yang tidak berarti, Aria berkata dengan nada datar.
"Tapi, yang pertama kali bertemu dengannya adalah kamu, bukan?"
"Lalu kenapa?"
"Aku percaya bahwa cinta itu tentang kecocokan dan waktu. Jika pertemuanmu dengan Kisumi berbeda, mungkin masa depan yang lain bisa saja terjadi."
"Dengan nada bicaramu itu, seakan-akan kau berpikir aku dan Sumi-kun memiliki kecocokan yang baik, ya?"
"Setidaknya tidak kalah dari adikmu."
"......Sebaiknya kau berhati-hati dalam berbicara."
Aria menatap jari kelingkingnya sendiri, seolah-olah mengingat sesuatu.
"Aku sudah berjanji dengan Sumi-kun."
"Janji?"
"Ya, janji kelingking. Dia memintaku untuk tidak mengacaukan hubungan yang ada."
"Kalau dihancurkan, mungkin semuanya bisa berubah."
Dengan nada seperti bisikan iblis, Asaki berusaha menghasut.
"Bukan hal yang mustahil, karena Sumi-kun lah yang menjaga semuanya tetap terhubung. Ia sangat pandai menyatukan hal-hal yang tercerai-berai. Seriusan, Shizuru-chan memang memiliki mata yang tajam dalam menilai orang."
"Kamu jadi sangat pendiam, ya."
Sambil menatap api unggun, Asaki berkomentar seolah-olah merasa kecewa.
"Aku akan memberitahumu alasan kenapa kau merasa kesal padaku."
"Bukan alasan kenapa aku membencimu?"
Mengabaikan komentar Asaki, Aria mengucapkan kata-katanya dengan tenang.
"Hanya sekadar rasa benci terhadap sesama."
"Aku dan Ketua OSIS legendaris sepertimu tidak punya kesamaan, kok."
"Kau juga tipe yang pandai bertindak setelah menilai sifat seseorang. Karena selalu berpikir sebelum bertindak, kau jarang membuat kesalahan, tapi lemah terhadap hal-hal di luar dugaan. Dalam banyak arti."
"Aku sadar akan hal itu."
Nada bicara Aria seakan menunjukkan bahwa dia telah melihat langsung bagaimana Asaki mengungkapkan perasaannya pada Sena Kisumi, lalu disela oleh Arisaka Yoruka. Asaki tak bisa mengelak dari ketajaman pengamatan Aria.
"Tapi begini, pada akhirnya cinta itu bukan soal logika. Perasaan suka itu datang lebih dulu, baru alasan kenapa kita menyukainya menyusul belakangan. Tidak peduli seberapa keras kita mencoba melupakan, perasaan itu tidak bisa ditekan. Itu sebabnya, meski harus terluka, kau tetap memilih untuk berada di dekatnya."
Seberapa pun Asaki berusaha bersikap tenang di hadapan Yoruka, Aria telah melihat dengan jelas bahwa itu hanyalah bentuk pertahanan dirinya.
"Menjaga jarak tanpa benar-benar menjauh. Itu bukan pilihan yang buruk, kan? Sumi-kun cukup peka terhadap perasaanmu, dan dengan kepandaianmu, kau bisa menjaga jarak yang nyaman dengannya. Jika pada akhirnya kau bisa menyelesaikan perasaanmu seperti yang dilakukan orang lain, tidak ada masalah. Tapi kenyataannya, kau belum menyerah, bukan? Dan melihat mereka berdua seperti itu pasti sangat menyakitkan bagimu, bukan?"
"Aku tidak menyangka akan mendapat simpati bahkan dari kakak rivalku."
"Aku tidak bersimpati. Aku juga tidak tertarik sampai sejauh itu."
"Begitu ya."
Nada suaranya terdengar seolah sengaja ingin mengusik, mungkin karena itu memang tepat sasaran.
Jika cinta bisa diselesaikan dengan logika, maka mencari cinta yang baru akan jauh lebih efisien.
Membuat pasangan secara asal dan menghiasi masa muda dengan kenangan pun bukanlah pilihan yang buruk.
Semua itu, di dalam kepalanya, sudah dipahami dengan baik oleh Asaki.
"Yah, mau bagaimana lagi? Orang yang kusukai sudah punya pacar, dan alasan aku menyukainya justru karena kesetiaannya yang tidak akan goyah sedikit pun. Kalau begitu, aku hanya bisa melakukannya sampai aku benar-benar puas."
Kali ini, giliran Aria yang dibuat terkejut dengan sikap blak-blakan Asaki.
"Dari mana datangnya sikap optimis seperti itu?"
"Dalam cinta, tidak ada yang mutlak, juga tidak ada 'seandainya'."
Angin bertiup kencang, menerbangkan percikan api dari unggun yang menyala.
Asaki menatap percikan itu dan teringat akan kembang api terakhir yang mereka mainkan di festival musim panas.
Saat itu, orang terakhir yang bertahan hingga akhir adalah Arisaka Yoruka.
Bahkan dalam permainan sederhana, dirinya tetap kalah.
Asaki sempat mengutuk betapa sialnya dirinya.
Namun, kenyataan yang memisahkan kemenangan dan kekalahan hanya sebuah kebetulan belaka.
Asaki tidak ingin kalah hanya karena hal yang tidak pasti seperti itu.
Masih ada banyak hal yang bisa dilakukan.
"Apa kau pikir aku mempercayai hal bodoh seperti itu?"
Setelah beberapa detik keheningan, Asaki menatap Aria dengan mata yang dipantulkan oleh api yang menyala merah.
"Aku sangat terkesan dengan betapa realistisnya dirimu."
"Hubungan antara Arisaka-san dan Kisumi-kun mungkin berakhir bahagia, tapi hubunganku masih berjalan. Mungkin ada perkembangan besar yang akan terjadi setelah ini."
"Mereka sudah melihat ke depan, menuju akhir yang bahagia."
"Apakah mereka bisa mencapainya, itu masalah lain. Kami masih pelajar SMA."
Asaki memandang cinta dengan cara yang sangat realistis.
"Benar-benar keras kepala."
"Ini semua karena aku suka. Mungkin suatu saat nanti perasaan ini akan memudar, lebih besar kemungkinan itu terjadi. Tapi selama perasaan ini nyata, aku tidak akan menyerah pada cinta hanya karena keadaan orang lain."
"Tidak akan melepaskan cintamu, ya? Kata-kata yang bagus."
Api unggun berkelip-kelip, bergerak oleh angin, dan selalu berubah bentuk.
Namun, meskipun angin bertiup, api itu tidak akan padam dengan mudah.
"Aku mulai mengagumimu, Hasakura-san."
"Terima kasih."
Tiba-tiba dipanggil namanya, Asaki terkejut.
Arisaka Aria adalah sosok yang sulit untuk didekati, dan merupakan seseorang yang sangat jauh baginya. Karena itulah, dia merasa bahwa mengeluh atau mengoceh padanya tidak akan menimbulkan dampak apapun, jadi dia memutuskan untuk berbicara pada Aria yang sedang duduk di sekitar api unggun.
Asaki berniat berbicara hanya untuk dirinya sendiri, namun tanpa sadar dia sudah terlalu banyak berbicara.
"Benar-benar menjalani masa muda yang serius, melakukan segala sesuatu hanya untuk kepuasan diri sendiri."
"Apakah setelah melepas seragam, hal seperti itu tidak bisa dilakukan?"
"Ketika kita dewasa, ada lebih banyak hal yang tidak bisa dihancurkan."
"Tidak nyaman, ya."
"Benar sekali."
Aria meminum bir yang tersisa di kaleng itu dalam satu tegukan. Bir tersebut sudah agak hangat karena tidak diminum dengan segera.
"Minumlah secukupnya. Aku pergi dulu."
Langkah kaki Asaki yang menuju kembali ke vila terdengar lebih ringan dibandingkan saat kedatangannya.
"Itu tidak masuk akal. Aku tidak bisa bertahan hidup dalam perjalanan seperti ini tanpa minum."
Ucap Aria sambil kembali menatap jari kelingkingnya.
◇◇◇
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
Menjelang pagi, aku terbangun karena merasa gerah.
Tadi malam, setelah kembali dari membeli barang di toserba, kami semua bersenang-senang di ruang tamu dengan bermain kartu dan game.
Dua orang dewasa kembali ke kamar mereka lebih awal, tapi kami yang tersisa tetap bermain dan berisik hingga lewat pukul dua dini hari.
Tak lagi punya tenaga untuk kembali ke kamar, kami akhirnya tertidur begitu saja di tempat itu.
Aku terbangun karena sesuatu yang berat jatuh di perutku. Ketika membuka mata, aku mendapati itu adalah kaki Nanamura.
Perlahan aku menyingkirkan kakinya dan bangkit dengan hati-hati dari lantai. Yang lain masih tertidur.
Saat kulihat ponsel, ternyata baru pukul lima pagi.
Aku mempertimbangkan untuk tidur lagi, tapi karena sudah bangun, aku memutuskan untuk menikmati pemandian pagi.
Saat ini aku bisa menikmatinya sendirian.
"Ah, luar biasa. Berendam di pemandian terbuka sejak pagi benar-benar kemewahan."
Di tengah udara pagi yang segar, aku menikmati waktu surgawi dengan berendam sendirian di air panas.
"Kalau sekarang, tidak masalah."
Mumpung tak ada orang, aku dengan hati-hati berenang seperti anak kecil. Setelah mengelilingi bak mandi yang luas, aku meregangkan kaki di balik batu besar yang berada di luar jangkauan pintu masuk.
Rasanya begitu nyaman hingga rasa kantuk mulai menyerang, efek dari begadang dan tidur berdesakan semalam.
Sambil setengah sadar, aku memandangi uap air putih yang mengepul, dan kelopak mataku perlahan mulai terpejam.
Dunia terasa semakin jauh.
Sudah berapa lama aku seperti ini?
Saat aku hampir menyerah pada rasa berat di kelopak mataku—
"Kamu bakal masuk angin kalau tidur di pemandian."
Suara seorang wanita berbisik di telingaku. Apakah ini hanya halusinasi?
"Ya......"
Aku tahu aku harus bangun, tapi mataku tak mau terbuka.
"Halo? Hei, kamu tidur?"
Kesadaranku hampir larut dalam kehangatan air, membuatku sulit kembali ke dunia nyata.
"Kisumi-kun?"
Aku merasa ada seseorang memanggil namaku.
Kalau ini mimpi, tidak masalah kalau ini pemandian campuran. Lawan bicaraku pasti Yoruka. Sampai muncul di dalam mimpiku seperti ini---aku sendiri tak menyangka betapa aku menyukainya.
"Kamu santai sekali, ya."
Suara yang terdengar agak heran itu disertai dengan seseorang yang mendekat.
"......Eh?"
Air hangat bergelombang, dan sesuatu yang lembut menyentuh lenganku.
Tak lama kemudian, aku merasa ada seseorang bersandar padaku.
Meskipun ini mimpi, rasanya terlalu nyata---bahkan berat dan teksturnya bisa kurasakan.
"Masih belum bangun juga? Hebat sekali."
"Hm?"
Dengan kepala yang masih dikuasai kantuk, aku perlahan menoleh ke samping.
Di sana, sosok yang seharusnya adalah Yoruka---
"Asaki...-san?"
"Selamat pagi, tukang tidur."
Asaki-san tersenyum manis, rambutnya diikat ke atas agar tidak basah.
"Eh......Ehh!?"
Rasa kantukku langsung lenyap, dan aku buru-buru meloncat mundur.
"Hei, airnya menyiprat ke mana-mana. Wajahku jadi basah, tahu."
"K-K-Kenapaaa!?"
"Kalau kamu berdiri sekarang, semuanya bakal kelihatan, lho."
Berbeda dengan Asaki-san yang masuk ke dalam pemandian dengan handuk melilit tubuhnya, aku tentu saja sepenuhnya telanjang.
Baru saja hendak berdiri, aku buru-buru merendahkan tubuhku kembali ke dalam air, membelakanginya.
"Eh, kenapa kamu ada di sini!?"
"Aku kebangun, jadi kupikir sekalian saja berendam. Kalau sendirian, kan, bebas berenang sesuka hati. Terus, waktu aku ke balik batu ini, aku menemukanmu tertidur. Sayang sekali kalau dilewatkan, jadi kupikir kita bisa ngobrol berdua."
Jangan menjelaskan itu dengan begitu santainya.
"Kamu sadar tidak kalau masuk saat ada cowok di sini itu bahaya!? Lagian, kenapa kamu tetap masuk meskipun tahu aku ada!?"
Kalau normal, bukankah seharusnya dia langsung keluar?
"Eh? Ruang ganti tidak dikunci, jadi kupikir tidak ada orang di sini."
Sial. Aku lupa mengunci pintu karena masih setengah sadar. Ini murni kesalahanku.
"Tapi kalau kamu sudah tahu aku ada, harusnya langsung balik!"
"Ya, sekalian saja anggap ini pemandian campuran. Lagipula, aku pakai handuk, kan? Abaikan saja ketidaksopananku."
"Tidak, Ini bukan soal itu! Apa sih yang kamu pikirkan!"
"Hm~ Mungkin......hubungan telanjang satu sama lain?"
Asaki-san menyeringai jahil.
"Tidak tidak tidak!"
Berdua saja di pemandian, bersama seorang teman sekelas perempuan yang nyaris telanjang.
Apa-apaan situasi penuh kejutan yang membuat jantung mau meledak ini!?
Aku benar-benar panik.
Kalau ini mimpi, tolong bangunkan aku sekarang juga!
"Pokoknya, aku bakal keluar sekarang!"
Aku mencoba bergerak di dalam air tanpa sekalipun menoleh ke arah Asaki-san, berusaha mencapai ruang ganti.
"Padahal ini pemandian terbuka, lho. Santai saja, nikmati lebih lama."
Tapi tiba-tiba, sesuatu yang lembut menekan punggungku, membuatku terhenti seketika.
"---A-Asaki-san?"
Kedua bahuku kini digenggam oleh tangan yang terasa hangat, menahanku sepenuhnya di tempat.
"Bahumu lebar, lenganmu juga kokoh. Memang beneran cowok, ya. Rasanya beda banget sama perempuan."
"Tunggu, Asaki-san!?"
"Tolong. Beri aku sedikit waktu saja."
"Setidaknya, menjauhlah!"
"Kalau aku menjauh, kamu pasti langsung kabur, kan?"
"Sudah kubilang ini terlalu nekat!"
Ini sudah masuk level darurat. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
"Kalau tidak begini, kita tidak akan bisa bicara serius, kan."
"Kita bisa bicara kapan pun dengan pakai baju!"
"Ada hal-hal yang tidak bisa kukatakan di depan semua orang."
"Hal apa yang ingin kamu katakan, sih!?"
"Kisumi-kun, kamu keras, ya."
"Apanya!?"
"Suaramu."
Aku langsung menutup mulut.
"Kalau kamu berisik begitu, nanti yang lain bangun, lho."
Ah, ini gawat.
Punya pacar, tapi kedapatan berduaan dengan gadis lain di pemandian?
Hanya dengan terlihat seperti ini saja, aku sudah tamat.
Tak peduli bagaimana situasinya, sulit sekali untuk mencari alasan yang masuk akal.
"Perwakilan Kelas yang Tak Bermoral, Berendam Mesra di Pagi Hari dengan Gadis yang bukan Pacarnya" rumor seperti itu bisa saja menyebar.
Ini bukan sekadar insiden kecil dalam liburan musim panas anak SMA.
Ini luka fatal.
Bukan hanya liburan musim panas, tapi seluruh kehidupan SMA-ku bisa berakhir dalam segala aspek.
Aku harus menghindari akhir seperti itu dengan cara apa pun.
---Ternyata, iblis musim panas bernama Eros tidak hanya bersemayam dalam diriku sendiri.
Apa yang harus kulakukan? Bagaimana cara keluar dari situasi ini?
Aku mempertimbangkan berbagai pilihan yang muncul di kepalaku yang hampir meledak.
A: Membujuk Asaki-san untuk mundur---tidak mungkin, aku tidak bisa menang dalam adu argumen dengannya.
B: Memaksa melarikan diri dari tempat ini---jelek juga, karena aku terlalu bergantung pada bagaimana Asaki-san akan bereaksi nanti.
C: Menerima godaan iblis musim panas---ditolak mentah-mentah! Itu akan menjadi perselingkuhan yang sempurna.
D: Pasrah dan langsung menyerang---apa aku gila? Itu sudah jelas masuk kategori kriminal!
Akal sehatku hampir melewati batas. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi.
Sementara aku masih berusaha mencari jalan keluar, tubuh Asaki-san tetap melekat erat padaku. Aku bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun.
Terlalu lama berendam di air panas membuatku merasa akan pingsan kapan saja.
Jantungku berdetak begitu kencang, seakan-akan ingin meledakkan tulang rusukku.
"Bagaimanapun juga, ini tidak baik."
"Lalu, hal seperti apa yang menurutmu baik?"
"Ini bukan soal baik atau buruk. Ini, aneh."
Aku berkata dengan harapan dia bisa mengerti.
"Hei, Kisumi-kun, apa kamu membenciku?"
"Tentu saja tidak."
Aku langsung menjawab tanpa ragu.
"Waktu barbeku, aku bilang, 'Aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatku dibenci, tapi aku juga tidak akan berhenti menyukaimu.' Barusan, kamu bilang 'Tentu saja tidak', berarti ini masih dalam batas aman, kan?"
"......Itu permainan kata-kata yang licik."
Tekanan di punggungku semakin terasa. Asaki-san bahkan menyandarkan kepalanya padaku.
Keempukan tubuh seorang gadis yang terasa melalui balutan handuk ini benar-benar tak kenal ampun.
Kami bahkan tidak berpacaran, tapi bolehkah kami sedekat ini?
"Kalau begitu, apa kamu menyukaiku?"
"Itu bukan pertanyaan yang bisa kujawab dalam situasi seperti ini."
Hanya dengan permainan kata-kata, aku berhasil dikelabui. Aku dibuat sulit bergerak secara fisik, dan secara mental pun aku tak bisa benar-benar menolaknya. Aku tak punya jalan keluar.
"Aku, sebenarnya tidak pernah menganggap cinta sebagai prioritas. Tapi, ada seseorang yang kusukai sampai-sampai aku rela menaikkan prioritasnya dalam hidupku."
"Menurutmu, itu hal yang baik?"
"Ya. Memiliki seseorang yang kusukai membuat setiap hari terasa lebih menyenangkan."
"Meski tidak berpacaran?"
"......Apa aku terdengar seperti orang yang tidak bisa move on? Terlalu keras kepala?"
"Aku juga mengerti bagaimana rasanya tidak bisa menghentikan perasaan suka pada seseorang."
Terkadang, bahkan si pemilik perasaan itu sendiri tak bisa mengendalikan emosinya. Semakin berharga orang yang dituju, semakin sulit untuk mengabaikannya.
"Terima kasih. Mendengar itu darimu, rasanya sedikit lebih lega."
Napas Asaki-san terdengar semakin berat.
"Hanya sedikit, ya?"
"Aku kesal dengan ketidakadilan ini. Hanya karena orang yang kusukai punya pacar, apakah itu berarti kisah cintaku harus berakhir juga? Bukankah aneh jika perasaanku harus direnggut hanya karena keadaan yang tidak bisa kuatur?"
"Asaki-san, itu---"
"---Setidaknya, biarkan aku tetap menyimpan perasaan ini."
Kata-kata itu terdengar begitu memilukan, seolah menyelipkan kepedihan yang menyesakkan dada.
Menyukai seseorang dengan serius dan mempersempit jarak dengan orang yang disukai adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Tidak ada aturan tertulis yang menyatakan bahwa seseorang harus menjaga jarak yang sesuai dengan orang yang sudah memiliki pacar.
Namun, sebagai kesepakatan tak terucapkan, itu adalah sesuatu yang seharusnya dihormati.
Asaki-san berusaha sekuat tenaga untuk mematuhi hal itu.
Dan semakin dalam perasaan cinta, semakin besar pula rasa sakit yang menyertainya.
"Hei, Kiszumi-kun......"
Suara lemah itu disertai dengan lepasnya tangan Asaki-san dari bahuku.
"Saat kita bermain bersama anggota pertemuan Sena, aku selalu berpikir......Asaki-san itu cantik, populer, mudah diajak bicara, tapi tetap saja, bersamamu terasa nyaman dan menyenangkan. Tapi, Asaki-san, aku---"
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, tubuh Asaki-san yang menyentuh punggungku perlahan merosot ke bawah.
Menyadari bahwa dia akan jatuh, aku refleks berbalik dan menangkapnya.
Bersamaan dengan itu, handuk yang melilit tubuhnya terlepas.
"......Jadi kamu memakai baju renang."
Di balik handuknya, Asaki-san ternyata mengenakan baju renang bermotif garis merah dan putih. Karena talinya transparan, aku tidak bisa menyadarinya saat baru terbangun dari tidurku tadi.
Seluruh tubuh Asaki-san memerah. Jelas sekali dia kepanasan dan hampir pingsan.
Dia pernah mengatakan bahwa dirinya tidak tahan dengan suhu panas. Dia pasti telah memaksakan diri terlalu keras.
"Asaki-san! Sadarlah! Hei!"
"Uuh......"
Aku memanggilnya, tapi reaksinya lambat.
"Tunggu, ini gawat, kan!?"
Situasi ini benar-benar darurat---tapi dalam arti yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Tidak ada waktu untuk ragu.
Aku mengambil handuk yang tadi mengapung di air dan melilitkannya di pinggangku.
"Maaf, Asaki-san."
Aku segera mengangkat tubuhnya dan bergegas membawanya ke ruang ganti.
◇◇◇
"Di sinilah sifat Sena benar-benar bersinar. Sembarangan saja masuk ke dalam pemandian."
"Sepertinya Sumisumi ini benar-benar diberkahi dengan nasib, entah itu baik atau buruk. Sepertinya ia disayang masalah."
"Asa-senpai, yang biasanya tidak tahan panas, malah berenang di dalam pemandian dan pingsan. Itu cuma kebetulan, kan?"
"Setidaknya, aku senang karena Hasekura-san tampaknya sudah tenang. Tapi......"
Komentar tajam dari Nanamura, Miyachii, Sayu, dan Kanzaki-sensei menusuk telingaku.
Aku berpikir bagaimana seharusnya aku menjawab.
"Yah, yah, untungnya semuanya tidak berakhir dengan buruk. Ini keberuntungan di tengah kesialan. Tidak mengunci pintu, tidur di sudut batu yang tersembunyi dari pintu, Sumi-kun benar-benar ceroboh."
Aria-san menarik telingaku.
"Aku sangat malu. Jujur saja, kalau Aria-san tidak segera datang, siapa tahu apa yang akan terjadi?"
"Tapi, Hasekura-san yang berenang memakai bikini itu juga sudah mendapat karma sendiri. Anggap saja dia diselamatkan oleh serangkaian kebetulan."
Aku benar-benar merasa tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang ini. Lagi-lagi, aku dibantu oleh Aria-san.
Setelah Asaki-san pingsan di pemandian umum, aku berhasil mengangkatnya ke ruang ganti. Namun, saat aku bingung bagaimana memberi pertolongan pertama, Aria-san, yang kebetulan datang ke pemandian, muncul.
Asaki-san yang terbaring di lantai dengan pakaian renang dan aku yang kebingungan setengah telanjang.
Aria-san terkejut, tapi seperti biasa, dia tidak mengolok-olokku. Dengan sekali pandang, dia segera mengerti situasinya dan memberikan pertolongan yang tepat.
Sekarang, Asaki-san sudah tenang dan sedang beristirahat di kamar.
Seperti kejadian yang terasa seperti pengulangan dari gosip tentang pulang pagi dengan Yoruka, kali ini juga serupa.
Kali ini, Aria-san yang membantu.
Begitu mendengar bahwa Asaki-san terlibat dalam kejadian seperti itu sejak pagi-pagi sekali, anggota-anggota dari pertemuan Sena pun menjadi heboh.
Beruntung, karena Aria-san, yang merupakan kakak dari pacarku, memberikan kesaksian, aku dan Asaki-san yang bertemu di kamar mandi tidak terlalu dicurigai.
Namun, meskipun demikian, ada juga atmosfer yang sedikit sulit dipercaya.
Yang berhasil mengusir suasana itu adalah, tidak lain dan tidak bukan, Yoruka.
"Kisumi tidak akan berbohong padaku. Kalau ia ingin membuatnya lebih meyakinkan, ia akan membuatnya lebih samar atau menghilangkan detail. Meskipun tampak mencurigakan, pasti penjelasannya memang seperti itu."
"Aku lapar, ayo sarapan," kata Yoruka, dan akhirnya pembicaraan itu selesai.
Namun, meskipun sudah makan, Yoruka tetap diam sepanjang waktu.
Dia tidak mau menatapku, dan setelah makan, akhirnya dia berkata, "Ayo ikut aku sebentar."
Kami meninggalkan vila dan berjalan menuju pantai.
Masih pukul setengah delapan. Pantai masih sepi.
Kami berjalan menuruni pasir pantai dan memandang laut di pagi hari.
Setelah beberapa saat tanpa percakapan, Yoruka tiba-tiba duduk di tepi ombak.
"Yoruka, kamu akan basah kalau duduk di sana."
"Seandainya aku memakai baju renang, kamu tidak akan mengatakan hal seperti itu."
"......"
"Baju renang di kamar mandi itu maksudnya apa?"
Biasanya, rambut Yoruka yang terurai indah dengan kepangan rapi, kali ini tampak tidak tersusun.
Rambut panjang Yoruka bergoyang tertiup angin laut. Jika ombak tinggi datang, pakaian dan rambutnya pasti akan basah.
"Kamu tahu, soal tadi pagi..."
"Tidak ada apa-apa, kan?"
"Ya."
"Aku tidak mencurigaimu. Aku tahu kamu bukan orang yang mudah terpengaruh, dan pasti hanya mengangkat Hasakura-san untuk membantunya. Aku juga percaya kata-kata Onee-chan. Tapi---"
Yoruka yang berdiri dan menoleh, matanya terlihat berkaca-kaca.
"Tidak mungkin hati ini tidak terguncang, kan?!"
Dengan kata-kata yang seolah terpaksa keluar, dadaku rasanya hancur.
"Maaf."
"Kisumi tidak salah, jadi jangan minta maaf!"
Yoruka menangis dan marah.
Tanpa peduli apakah dirinya basah kuyup, Yoruka menendang ombak yang datang.
"Selama ada Kisumi, itu sudah cukup! Menambah teman dekat itu menyenangkan! Tapi, setiap kali bertambah teman, kekhawatiran juga ikut bertambah, dan itu yang menakutkan! Meskipun aku tahu semuanya akan baik-baik saja, tetap saja aku khawatir! Aku benci sisi diriku yang mudah curiga!"
Dengan terus menendang ombak, Yoruka sedang berjuang dengan perasaan cemburu dan ketidakamanan dalam dirinya.
Dia bisa saja memilih untuk memiliki hubungan yang tertutup, hanya berdua dengan pacarnya, dan itu sudah cukup membuatnya bahagia sampai kelulusan, hanya bertemu di ruang persiapan seni.
Namun, orang yang membawa Yoruka keluar dari dunia kecil itu adalah tidak lain dan tidak bukan, Sena Kisumi.
Dengan mengumumkan hubungan kami di depan teman-teman sekelas, aku menghubungkan Yoruka dengan dunia luar.
Meskipun aku menganggap diriku sebagai jembatan penghubung, aku tidak mampu melaksanakan peran itu dengan baik, bahkan dalam lingkaran kecil pertemuan Sena pun, aku membuat Yoruka merasa tidak aman.
"Aku benci diriku yang lemah, malu, marah, dan frustrasi."
Dengan tangan mengusap pipinya, Yoruka menatap langit.
Kakinya sudah sepenuhnya terendam laut, rok dan kaki Yoruka basah kuyup.
"Hei, Kisumi. Aku ingin tumbuh. Aku ingin menjadi cukup kuat untuk melindungi orang yang kucintai."
"Malahan, aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar bisa melindungi Yoruka?"
"Karena ada Kisumi, aku bisa menikmati musim panas ini!"
Yoruka tersenyum. Air mata tadi tampaknya adalah air mata penyesalan untuk dirinya sendiri.
"Terima kasih. Aku senang kamu bilang begitu."
"Ya. Suatu saat, aku ingin bisa melindungimu, Kisumi."
Tanpa berpikir panjang, aku segera melepas sandal dan berlari menuju Yoruka yang ada di laut.
"Kisumi, berhenti! Kamu mau apa?"
Aku terhenti seolah-olah ada yang menahan, membeku di tempat.
"Karena aku sangat terharu, aku ingin memelukmu sebagai tanda berdamai. Selama perjalanan ini, kita belum pernah pelukan biasa."
"Bukan hanya pelukan biasa. Hari ini, kamu harus menggendongku seperti seorang putri."
"......Aku tidak keberatan, tapi itu tiba-tiba banget."
Aku mulai menebak-nebak maksud di balik permintaan menggendong seperti putri itu.
"Karena tadi pagi kamu mengangkat Hasakura-san, kan? Itu seperti menggendong seorang putri. Aku belum pernah."
Pacarku sedikit cemberut.
Marah, menangis, tertawa, cemberut---ekspresi Yoruka berganti-ganti dengan cepat dan terlihat sibuk.
Hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh Yoruka, kini terasa sangat biasa.
Betapa menggemaskan dan berharganya hal itu.
"Apakah Anda puas, tuan putri?"
Dengan tekad yang kuat, aku menaklukkan ketidakstabilan kaki di dalam laut dan menggendong Yoruka seperti seorang putri, berusaha agar tidak melepaskannya.
"Tidak buruk, tapi rasanya masih sedikit kurang."
Yoruka berkata sambil berpura-pura kuat, meskipun tubuhnya menciut dalam pelukanku dan tampak agak malu.
"Harus bagaimana?"
"Kisumi, jangan bergerak," kata Yoruka dengan tatapan yang tampaknya sedang merencanakan sesuatu.
"Apa yang kamu rencanakan?"
"Hukuman!"
Tiba-tiba, Yoruka melompat dan memeluk leherku, sehingga aku kehilangan keseimbangan.
"Wah!? Tunggu, sebentar!!"
Aku berusaha menahan agar tidak jatuh, namun itu sia-sia.
Akhirnya, kami berdua jatuh ke laut.
Percikan air yang besar menyembur ke udara, dan ombak yang datang menutupi kami seperti menghempas.
Tentu saja, kami berdua basah kuyup.
Saat aku bangkit dari air, Yoruka tertawa terbahak-bahak. Melihatnya begitu ceria, aku kehilangan keinginan untuk marah.
"Kamu benar-benar sembrono. Apa tidak ada yang terluka?"
"Di saat seperti ini, kamu masih mengkhawatirkanku. Kisumi, kamu baik sekali."
"Tapi itu hukuman, bukan? Ah, sekarang bahkan celana dalamku juga basah."
"Setelah pulang, kita bisa berendam bersama di pemandian, itu bagus, kan."
"Itu tidak buruk. Tapi, kalau di kamar mandi, baju renang itu dilarang."
"Jangan macam-macam! Kisumi, mesum!"
Yoruka segera menyiramku dengan air. Kami pun terus bermain di laut sampai kami bosan.