Tsumetai Kokou no Tenkousei wa Houkago, Aikagi Mawashite Amadereru [LN] J1 Bab 2.5
Bab 2
"Hmmm......"
Dengan mengerang pelan, Kuuya membuka pintu kedai.
Yang ia khawatirkan adalah Fatima pulang lebih awal sebelum tengah hari.
Ia telah menerima pesan singkat yang mengatakan untuk tidak khawatir, tapi bukan berarti ia tidak boleh khawatir.
Lagipula, ada begitu banyak alasan untuk jatuh sakit jadi ia bisa langsung memikirkan beberapa di antaranya.
Perubahan musim, perubahan gaya hidup, beban stres yang tinggi, dll.......
Hanya itu yang bisa ia pikirkan, dan satu malam sudah cukup untuk membuat kondisi tubuh seseorang memburuk, jadi dia yang terlihat baik-baik saja kemarin mungkin hanya untuk ketenangan pikiran sementara.
Dia tidak terlihat tidak sehat dalam perjalanan pulang, tapi kau tidak bisa mengandalkan hal itu.
(Bagaimanapun, Fatima tidak ingin terlihat lemah.)
Hanya sebuah tebakan.
Tapi itu adalah tebakan penuh keyakinan.
Dia punya kepribadian yang tidak suka ditanyai ini dan itu oleh orang lain, jadi jelas bahwa dia tidak akan menunjukkan apa pun yang bisa dimanfaatkan oleh mereka.
"Kalau aku akan menjenguknya......aku ingin membawakan sesuatu, tapi sekarang aku tidak tahu apa yang harus disiapkan......."
Standarnya adalah buah-buahan, tapi jika dia tidak terlalu sakit, akan lebih bijaksana jika memberinya buku untuk membantunya melewati kebosanan.
"Selamat datang di rumah, tuan."
"Ah, aku pulang."
Dengan pakaian yang sama seperti kemarin, Fatima menyambutnya dengan mengangkat ujung hakama-nya seperti memberi hormat, yang dibalas Kuuya dengan acuh.
Kemudian, sambil meletakkan tas siswanya di atas meja, ia bertanya.
"Hei, Fatima. Aku berpikir untuk menjenguk Fatima, menurutmu apa yang harus kubawa?"
"Bagaimana dengan buah persik kalengan? Aku sarankan yang berwarna putih, bukan yang kuning.
"Begitu ya.......itu ide cemerlang yang ramah untuk dompet. Kalau begitu, meski baru pulang, aku akan keluar dulu. Tolong jaga kedainya, Fatima."
"Ya, semoga perjalananmu aman---tidak mungkin aku akan mengatakan itu. Sampai kapan kamu akan terus melanjutkan boke?"
Kuuya memeriksa saku bagian dalam blazernya untuk mencari dompetnya dan hendak membalikkan tumitnya ketika ia terhenti di tengah jalan.
Ia perlahan berbalik dan bergumam.
"......Gejala penolakan ya. Aku mengalami halusinasi tentang Fatima. Aku juga mengalami halusinasi pendengaran......."
"Aku menolak untuk men-tsukkomi---dasar, aku sudah mengirim pesan agar tidak perlu khawatir kan. Kamu belum melihatnya?"
"Misalnya, kalau aku pulang lebih awal dan mengirim pesan padamu untuk tidak khawatir, apa kau tidak akan khawatir?"
Fatima, ketika ditanyai, langsung menjawab.
"Bagaimana mungkin aku tidak khawatir."
Itu adalah penyangkalan yang begitu cepat dan tidak perlu mengganggu Kuuya sejenak pun.
"......Maaf, itu adalah kurangnya imajinasiku. Aku akan merenungkannya."
Selain itu, dia cepat sekali introspeksi diri.
Bahu Fatima merosot, sampai-sampai menyedihkan untuk dilihat.
"Tidak perlu sampai segitunya. Aku juga agak terlalu khawatir."
Sambil panik dengan keadaan Fatima yang tiba-tiba tertekan, Kuuya mengutuk dirinya sendiri karena cara bicaranya yang buruk.
Ia merasa ingin memegangi kepalanya, dan bertanya apa ia tidak bisa mengatakannya dengan cara yang lebih lembut.
"Tidak, aku senang kamu khawatir. Aku sangat senang, terima kasih."
Namun, Fatima rupanya tidak menerima hal itu dengan buruk.
Dia mengoreksi kata-kata Kuuya, mengibaskan kedua tangannya yang terangkat ringan dengan ekspresi terkejut.
"Karena itu......maaf. Jangan khawatir, aku cukup sehat kok."
Wajahnya terlihat malu-malu saat dia meminta maaf, seolah-olah dia benar-benar senang karena dikhawatirkan.
"Tidak, yah......baguslah kalau begitu."
Seharusnya ia tidak boleh bicara seperti itu, tapi itu satu-satunya kata yang bisa ia keluarkan, jadi Kuuya tetap mengatakannya.
Kemudian, anehnya membenci keheningan yang memalukan, ia mengeluarkan suara yang terdengar seperti tidak memiliki arti.
"......Ah......"
"Umm......"
Fatima juga demikian, atau mungkin dia mengucapkan kata-kata untuk mengulur waktu dengan tepat.
Bagaimanapun, dia telah menemukan topik pembicaraan, yang tidak sepenuhnya sama dengan Kuuya.
"Benar juga, maid ingin minum kopi, Tuan."
Namun, hal itu malah cukup membingungkan.
"Seorang maid meminta tuannya menyeduh kopi untuknya......itu benar-benar kacau."
Tapi dalam kasus ini, ia bersukur.
Kuuya dengan cepat menunjukkan bahwa ia akan pergi ke konter.
"Aah! Jangan sekarang, aku menariknya lagi, Karasu-kun!"
Ia menghentikan kakinya saat Fatima bilang untuk berhenti.
"Silakan duduk di tempat dudukmu! Aku akan membawakan perkolatornya!"
"Jadi kau tidak menarik bagian di mana aku yang menyeduh kopinya ya......"
Fatima terlihat putus asa dan Kuuya memberinya senyuman kecut saat ia berbalik menuju kursi pelanggan dan melanjutkan.
"Perkolatornya ada di wastafel. Berhati-hatilah dengan itu, oke? Aku tidak keberatan kalau kau menjatuhkannya dan memecahkannya, tapi aku tidak ingin kau terluka dan akan sangat merepotkan untuk membersihkannya."
"Tidak pernah terpikirkan bahwa akan tiba saatnya aku akan berterima kasih atas ucapan darimu, Karasu-kun......."
Kata-kata tambahannya, yang biasanya hanya akan merepotkan Fatima, membuatnya bisa mendapatkan kembali ketenangnannya, dan Fatima, dengan senyum rumit di wajahnya, menuju ke belakang konter menggantikannya.
"Biji kopi ada di dalam toples kaca di lemari es."
"Toples kaca katamu......itu canister lho......."
"Begitu ya......itu disebut canister ya."
Sepertinya ia mengatakan toples kaca bukan karena khawatir akan sulit dimengerti.
Kuuya mengangguk-angguk kagum.
"Kau tahu banyak hal ya, Fatima."
"Uhh......Padahal kamu memujiku dengan jujur, tapi aku sama sekali tidak senang......"
Fatima, sambil tersenyum ramah, mengambil sebuah tabung kecil yang bisa dia pegang dengan satu tangan, yang dia temukan segera setelah dia membuka kulkas.
Di dalamnya, dia dapat melihat bahwa tabung itu berisi setengah cangkir biji kopi yang ditumbuk kasar, mungkin sudah digiling.
Dia kemudian kembali ke kursi pelanggan dengan membawa sebotol plastik air yang dia temukan.
"Kudengar yang begini itu tidak bagus. Dan jika membiarkannya digiling, biji kopi cenderung teroksidasi."
Fatima membagikan pengetahuannya, sambil memegang canister tersebut di telapak tangannya untuk ditunjukkan.
Tapi itu adalah sesuatu yang baru dia pelajari dan ketahui tadi malam.
"Sepertinya begitu, tapi aku membelinya yang sudah digiling. Menggiling untuk perkolator itu melelahkan, dan gilingan kopi itu sendiri melelahkan karena kau harus berhati-hati dalam memutarnya."
Meskipun ia tidak tahu tentang canister, ia tahu tentang yang satu itu.
Kuuya mengangkat bahunya dan terlihat sedikit malu ketika dia mengatakan sesuatu yang tidak terdengar seperti pengguna perkolator.
"Dan pertama kali aku membuatnya, aku membuatnya terlalu halus, dan kopinya penuh dengan serutan biji kopi."
"? Kamu tidak meletakkan kertas saring?"
"Itulah keindahan perkolator, tidak ada yang merepotkan seperti itu."
"Kalau begitu gunakan kopi instan saja......."
Fatima mendengus pada Kuuya, yang rupanya benar-benar hanya menyukai cara sirkulasi isi di dalam perkolator.
Perkolator kelihatannya akan bekerja dengan baik dengan bubuk kopi instan, dan ia tidak perlu merebusnya dan gagal seperti yang ia lakukan kemarin.
Namun, ia sepertinya memiliki obsesi tersendiri, dan Kuuya menggelengkan kepalanya dengan santai.
"Kalau begitu membosankan, warnanya sama dari awal. Aku lebih suka itu berputar-putar dan berganti warna."
"Bagaimana aku harus mengatakannya......Karasu-kun itu merepotkan ya......."
Sambil mengumpat tanpa ada yang disembunyikan, Fatima meletakkan canister dan air di atas meja.
"Meski, kupikir jarang sekali ada orang yang mudah dimengerti sepertiku......."
"Itu lebih seperti mudah dimengerti sekaligus merepotkan, Karasu-kun."
Fatima yang mengatakannya dengan acuh sekarang kembali ke konter untuk mengambil perkolator tanpa duduk lebih dulu.
"Hmm......"
Kuuya mengeluarkan suara yang tidak jelas sambil melihat ke punggungnya.
(Apa mudah dimengerti dan merepotkan ya, aku ini......yah, Fatima sepertinya tidak membencinya, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan?)
Mencapai kesimpulan dalam sekejap, Kuuya membuka mulutnya seolah mengingat sesuatu.
"Fatima, ada baki yang tergantung di samping kulkas kan."
"Sebut itu nampan, ini kedai kopi---ah, tapi ini memang baki ya."
Fatima, yang menemukan barang yang diinginkan di tengah-tengah kalimatnya, setuju dengannya.
Benda itu bukanlah piringan terbuat dari logam, melainkan sebuah papan kayu berbentuk persegi panjang yang besar.
Apa pun itu, tidak salah menyebutnya nampan, tapi, ini memang yang seharusnya kita sebut sebagai baki.
Tln : Aku gatau bedanya nampan ama baki itu apa, tapi buat bedain, aku pake kata itu aja
"Kalau saja aku mengingatnya lebih cepat, aku jarang menggunakannya jadi aku lupa. Maaf."
"Tidak apa-apa, lagipula aku harus balik ke sini, jadi kebetulan sekali."
Fatima membalas permintaan maaf Kuuya dan meletakkan perkolator di atas baki.
Tidak melupakan lampu alkohol, penyangga berkaki tiga dan dua cangkir yang ada di dekatnya.
Dan terakhir, setelah meletakkan kue-kue di atas piring, alasan yang membuatnya melarang Kuuya masuk ke dalam konter, Fatima berbalik ke tempat duduk.
"Kebetulan sekali?"
"Ya, kebetulan sekali."
Fatima tiba di depan Kuuya yang memiringkan kepalanya dalam kebingungan, dan dengan lembut meletakkan baki di atas meja.
"Sebenarnya, aku pulang lebih awal untuk ini. Ini---"
"Luar biasa......apa kau yang memanggangnya sendiri, kue pot ini?"
Kuuya mengerang ketika melihat salah satu sajian di atas baki, sebuah roti bundar dengan bagian atasnya dipotong, bagian dalamnya dilubangi dan diisi dengan krim almond, dengan bagian yang terpotong digunakan sebagai penutup.
"I-ni-Sem-la. Apa-apaan kue pot itu kenapa di waktu seperti ini selain itu sudah waktunya makan kan bukan waktunya minum kopi lagi."
"M-Maaf......b-begitu ya, Semla ya."
Kuuya kewalahan menghadapi Fatima yang meletakkan tangannya di pinggulnya dan menjelaskan panjang lebar dalam satu tarikan napas.
Melihat Kuuya yang begitu, Fatima terlihat seolah berkata, "Oh tidak,"
Dia tidak mengharapkan alur seperti ini, jadi dia hanya sekuat tenaga men-tsukkomi Kuuya.
"......Yah, tidak apa-apa. Lagipula aku membuatnya terlalu banyak, jadi aku hanya berbagi denganmu."
"Kalau kau ingin bertingkah seperti seorang tsundere, kupikir kau perlu memasukkan lebih banyak tsun ke dalamnya...... tidak dengan cara yang kelelahan seperti itu."
"Sampai kapan kamu bisa terus-terusan salah paham begitu......"
Dengan tawa pelan dan menakutkan, Fatima meletakkan barang-barang di atas baki ke atas meja.
Dia membuatnya untuk Kuuya, jadi bohong jika dia mengatakan dia hanya berbagi dengannya, tapi tidak bohong juga jika dikatakan bahwa dia membuat terlalu banyak.
Mungkin saat makan malam disajikan hari ini, Kuuya akan tahu.
Bahwa ketika dia menyajikannya di setiap coffee time dan semua makanan penutup di setiap makan adalah semla, ada stok yang tersisa di rumah Koyori yang akan memakan waktu beberapa hari untuk dihabiskan.
Dan meskipun Kuuya tidak akan terlalu peduli dengan hal ini...... berapa banyak lagi jika dikonversi ke dalam kalori?
Dia bahkan tidak ingin memikirkan angka-angka spesifiknya, apalagi jumlah olahraga yang diperlukan setelah memakannya.
Tapi untuk saat ini, dia berdeham, memutuskan untuk melupakan kengerian yang pada akhirnya harus dia hadapi.
"Sekarang, untuk kembali ke jalur yang benar, saya ingin Anda membuatkan saya secangkir kopi, tuan."
"Kalau kau seorang maid, aku ingin mengatakan buat kopimu sendiri. Aku sangat ingin mengatakannya."
Fatima tersenyum pada Kuuya yang berkata dengan mata setengah terpejam.
"Bukanlah hal yang baik seorang pelayan untuk menghalangi tuannya menikmati kesenangannya."
"Akan menyenangkan jika kau membuatkannya untukku, tapi......yah, itu bertentangan dengan prinsipku untuk diperlakukan seperti itu."
Kuuya menarik napas panjang saat diberitahu kembali dengan nada yang sangat dibuat-buat.
Kesampingkan tentang jika dia benar-benar seorang maid, tapi ini adalah permainan berpura-pura, bukan sesuatu yang harus dipusingkan.
Dan karena hal ini cukup menyenangkan, maka akan sangat disayangkan untuk tidak menanggapi permintaan Fatima.
"Jadi, seberapa pekat aku harus menyeduhnya agar sesuai dengan semla atau apapun itu?"
Kuuya bertanya sambil membuka tutup perkolator, mengeluarkan keranjang di dalamnya dan mengisinya dengan air.
Dari aromanya, menunjukkan bahwa semla itu manis, tapi Kuuya tidak tahu berapa banyak kopi pahit yang cocok dipadukan dengannya.
"Jika kamu memanggangnya seperti biasa, kurasa tidak akan terlalu buruk. Jika sepekat kemarin, rasa manis dan pahitnya akan menyatu dan akan terasa manis pahit."
"Kemarin adalah sebuah kegagalan, lupakan saja."
Kuuya menyalakan lampu alkohol dengan wajah cemberut dan meletakkannya di bawah perkolator.
"......Gelapkan saja, mungkin akan jadi sedikit romantis......."
"Sebagai gantinya, kopinya nanti terlihat seperti yaminabe, dibuat tanpa bisa melihat caranya dan tanpa mengetahui warnanya."
Dengan romantisme yang dihancurkan oleh kenyataan, Kuuya meletakkan biji kopi ke dalam keranjang yang telah disiapkannya.
Mengeluarkannya dari canister dengan sendok dan menuangnya dengan hati-hati dan merata, sehingga mendarat di dasar keranjang.
"Yaminabe ya yaminabe, dan kupikir ada romantisme di dalamnya......tapi, apa ada orang yang pernah melakukan itu?"
"Entahlah......bahkan jika aku membuat angket, aku tidak kenal banyak orang, jadi aku tidak tahu."
Kuuya menjawab, menatap Fatima, yang meletakkan tangannya di atas meja dengan sikap yang tidak sopan dan dagunya bertumpu di atasnya.
---Percakapan berhenti.
Tak satu pun dari mereka berbicara.
Namun, tidak ada ketidaksabaran untuk mengatakan sesuatu.
Waktu berlalu begitu saja dengan damai, sambil mengamati air yang dipanaskan oleh lampu alkohol.
(Seperti ini ya......sisi bagus dari Karasu-kun......)
Fatima bergumam pada dirinya sendiri saat dia menyaksikan air yang dipanaskan naik dan menggantikan air yang tidak dipanaskan, berkelap-kelip seperti kilauan yang berkilauan di dalam perkolator kaca.
Keheningan Kuuya tidak menakutkan.
Dia tidak perlu mencemaskan, bahwa pada saat keheningan itu berakhir, Kuuya akan datang untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.
Dia bisa berserah diri pada keheningan tanpa takut apa pun.
"Bosan?"
"Apa aku terlihat begitu?"
Fatima tersenyum pada Kuuya, yang bertanya saat airnya agak mendidih.
"Kau terlihat seperti kucing yang mengantuk. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Kuuya memiringkan kepalanya sambil memasukkan kembali keranjang itu ke dalam perkolator.
"Aku tidak mengerti analogi itu."
Tidak yakin wajah seperti apa yang ia maksud saat menjelaskannya, Fatima tertawa kecil dan akhirnya sadar.
Mereka melanjutkan obrolan ringan mereka seperti biasa.
Dia secara alami menerima yang ia katakan dan merespons dengan cara yang sangat normal.
"Kalau dikatakan bosan memang bosan......tapi, bagaimana aku harus mengatakannya ya, suasana ini. Pokoknya buakan suasana yang buruk kok."
Rasanya nyaman seperti dalam lamunan.
Tidak ada yang membuat hatinya menari, tapi rasanya nyaman. Tidak, dari awal, suasana hati seperti itu disebut melamun.
"Hmm......ekspresi yang paling dekat adalah mengantuk, ya?"
"Bukankah itu yang disebut dengan bosan?"
"Karasu-kun sangat naif, bukan begitu......"
Fatima bangkit sambil tertawa kecil saat mereka bercanda dan cekikikan satu sama lain.
"Ini pertama kalinya aku minum kopi yang dibuat olehmu, jadi aku sangat menantikannya."
"Kalau begitu, aku akan membuatkannya dengan serius."
Dia sengaja menggunakan kata 'Pertama kalinya', Kuuya tersenyum tegas, mengartikannya sebagai ejekan atas kegagalan kemarin.
"Membuatkannya katamu......ini bukan teh......"
Tln : meng-hadeh, ngeluh dikit, kenapa banyak banget si kata kerjanya, kaya semua hal ada kata kerjanya sendiri, jadi Kuuya pake 点てる/tateru yang dipake untuk bikin teh, kalo kopi biasanya pake 煎れる/ireru
"Bukan berarti itu paten untuk teh saja. Baik itu kopi atau teh, keduanya adalah seni. Kalau tidak, tidak akan ada yang namanya kedai kopi."
Mengatakan hal yang masuk akal, Kuuya menatap isi perkolator dengan seksama.
"Kalau itu memang benar, tapi......pertanyaan mendasarnya adalah, Karasu-kun, apa kamu memiliki seni sebanyak itu?"
"Terkadang ada waktu aku ingin secangkir kopi yang enak, dan pada salah satu 'terkadang' itu yang memotivasiku untuk berlatih. Ditambah lagi, aku memiliki energi untuk melakukannya. Kau mengerti tanpa perlu kukatakan bahwa aku punya banyak waktu, bukan?"
"Aku bisa membayangkan bahwa Karasu-kun pasti punya banyak waktu, karena aku juga demikian, tapi......"
Karena pertemanannya hampir tidak ada, kehidupan pribadinya hanya menyisakan waktu untuk dirinya sendiri.
Dalam hal ini, Fatima dan Kuuya mungkin sama.
Itulah kenapa Fatima mengawali dengan kalimat seperti itu dan menghela nafas kecil.
"Dengan kata lain, secara tidak langsung kamu mengatakan kamu tidak memiliki seni seperti itu, bukan?"
"Oke......sisanya tinggal melihat sentuhan akhir."
Kuuya, yang mengatakan itu dengan nada suara yang dibuat-buat, menutup mulutnya lagi dan kembali menatap ke arah perkolator.
"Kalau begitu, mari kita menantikannya dengan tenang."
Dengan siku bertumpu di atas meja dan dagu bertumpu pada jari-jarinya yang disilangkan, Fatima mencuri pandang pada wajah Kuuya yang serius, berpura-pura memperhatikan warna kopi bersamanya.
(Wajah serius Karasu-kun seperti ini juga, mungkin baru bagiku......)
Merenungkan apa yang mungkin menjadi pertama kalinya, Fatima ingat bahwa dia pernah melihatnya sekali sebelumnya.
---Saat Pengakuan.
Seketika, wajahnya menjadi panas......dia tidak akan mengatakan begitu, dan ekspresi Fatima hancur.
Dia merasa hatinya agak ringan ketika menerima pengakuannya, tapi dia benar-benar ingin memuji dirinya sendiri karena telah membuat keputusan yang tepat.
Bagaimanapun, mereka lebih cocok daripada yang dia kira.
Dia merasa nyaman saat dia berada di samping Kuuya, dan itulah alasan dia menerima pengakuannya.......tapi bukan hanya itu, tapi juga karena menyenangkan.
Mengatakannya dengan cara yang klise, setiap hari sejak dia mulai bertemu dengannya adalah hari yang luar biasa.
"Ah, ngomong-ngomong......"
Fatima membuka mulutnya.
"Aku tidak pernah mengatakannya padamu, kan?"
"Mengatakan apa?"
"---Aku menyukaimu, Karasu-kun."
"......Apa itu rencana untuk membuatku melakukan kesalahan......?"
Kuuya berbicara dengan cara yang berbelit-belit, tapi Fatima bisa melihat bahwa itu adalah kedok untuk menutupi rasa malunya.
"Nah, entahlah."
Fatima tersenyum nakal, berpura-pura tidak melihat warna merah terang yang memercik di pipi Kuuya.
"Kau tadi bilang untuk menunggu dengan tenang, dan sekarang kau melakukan ini......dasar......"
"Tidak apa-apa kan. Aku hanya merasa ingin mengatakannya."
Nada bicaranya tetap menggoda, tapi itu bukan kebohongan.
Begitu dia menyadari bahwa dia tidak pernah mengatakan hal itu kepadanya, dia ingin mengatakannya. Sampai titik dia tidak tahan lagi.
"Ya, ya, aku akan menerimanya dengan penuh syukur."
Sambil menganggapnya sebagai komentar yang ringan, Kuuya dalam hati berjuang untuk tetap tenang.
Ia mengerti bahwa dia bukan tipe orang yang akan atau bisa mengatakan hal seperti itu sambil bercanda.
Tidak, bahkan jika ia tidak mengerti, ia akan tahu bahwa itu adalah pernyataan yang benar dan dia tulus.
(......Dengan senyuman seperti itu, saat dia mengatakannya,)
Itu adalah senyuman bahagia.
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
Karena itu, ia tahu bahwa itu adalah pernyataan yang tulus dari hatinya.
Tapi pada saat yang sama, ia juga tahu bahwa kalau ia langsung menerima kata-kata itu di sini, dia akan memerah dan meringkuk.
(Aku ingin sekali melihatnya, karena aku yakin dia yang seperti itu juga manis.......)
Tapi ia tidak akan menukarnya dengan merusak suasana ini.
Sekarang adalah waktu yang nyaman. Terlalu bagus untuk hilang.
"Yah......kira-kira begini ya."
Kuuya begitu melamun sampai-sampai ia hampir melewatkan momen yang tepat untuk kopinya dan buru-buru menjauhkan lampu alkohol dari perkolator.
"Oh, apa sudah selesai?"
Fatima mendengar perkataannya dan, tanpa diperintahkan, dia menata cangkir-cangkir itu dalam posisi yang memudahkannya untuk dituang.
"Mm, sepertinya."
Kuuya menuangkan kopi ke dalamnya.
Cairan itu masih hitam, meski tidak sehitam kemarin sehingga bisa disangka lubang dimensi.
"......Aku tidak terlalu ingin mengatakannya, tapi......itu sangat hitam ya......hitam pekat, hitam legam......"
"Akan lebih konyol jika warnanya biru atau merah kan."
Sebagai respon cepat terhadap kata-kata Fatima yang ragu-ragu, Kuuya dengan cepat meletakkan cangkir berisi kopi di depannya.
"Ada spesies persik yang beracun......dan dulu ada hukuman yang memanfaatkan hal itu, memaksa orang untuk makan spesies persik itu. Orang-orang yang tidak bersalah akan memakannya sekaligus tanpa rasa takut, sehingga mereka akan merasa mual dan memuntahkannya jadi mereka selamat, tapi orang-orang yang berbohong kalau mereka tidak bersalah akan sangat takut sehingga mereka mengunyahnya dalam jumlah kecil, sedikit demi sedikit sampai melebihi dosis mematikan dengan tingkat mual yang dapat ditoleransi, yang menyebabkan kematian mereka."
"Kenapa kamu membuka pengetahuan seperti itu di sini......"
Dia mengerti, Kuuya menyuruhnya untuk meminumnya sekaligus.
Fatima mendengus dengan mata setengah terpejam, dan dengan lembut mengangkat cangkirnya dengan kedua tangannya.
"Dasar......padahal sekarang ini coffe time, dan kamu ingin aku meminumnya sekaligus?"
Dia tersenyum sambil meniup cangkirnya dan membiarkan uapnya menghilang.
"Aku hanya ingin mengatakan tidak perlu takut, aku tidak punya maksud lain. Aku dengar kalau satu biji saja tidak mematikan."
"Secangkir kopi tidak akan membunuhmu, begitu maksudmu? Kalau seperti itu melegakan."
Fatima menyeruput kopinya yang sudah agak dingin dan memejamkan mata.
"......Nikmat......"
Dia tahu bahwa kopi kemarin gagal, jadi dia tidak berpikir bahwa kopi hari ini, yang dipanggang dengan serius, akan tidak enak.
Meskipun begitu, ia tampaknya tidak terlalu peduli dengan rasa, jadi ia tidak berpikir ini akan enak.
Tapi ini......
"Tidak, ini bukan nikmat......bukan tidak nikmat......juga bukan biasa saja......ini rasa yang aneh......"
Rasanya sendiri adalah kopi biasa. Ini adalah kopi hitam yang sangat biasa, tanpa gula atau susu.
Namun, rasa di mulutnya sangat berbeda.
---Ini lembut.
Tidak terlalu menonjol. Rasanya lembut dan tenang.
Dan dalam.
Rasanya begitu kaya sehingga bahkan kesadarannya pun seakan tenggelam ke dalamnya.
"Kalau aku harus mengatakannya, ya......ini seperti rawa tak berdasar."
Fatima mengungkapkan pendapatnya, berpikir bahwa sayang sekali, meskipun rasanya seperti itu, rasa itu sendiri tidak lebih dari sekadar kopi.
"Aku ingin tahu apa kau bisa mengatakannya dengan cara yang berbeda."
Fatima menanggapi Kuuya, yang sedikit tersenyum pahit, dengan keusilan kekanak-kanakan dan menjulurkan lidahnya.
"Untuk seseorang yang menganggap mata seseorang itu seperti teh jelai, hanya itu yang bisa kukatakan."
"Meskipun aku tidak bermaksud buruk tentangmu......yah, kuakui kalau itu kurang elegan."
Memang tidak ada yang salah dengan teh jelai, tapi seorang gadis yang senang disamakan dengan teh jelai jarang sekali ada.
Namun, bagi Kuuya, ini bukan masalah seberapa banyak atau sedikitnya ada, tapi apakah Fatima juga demikian.
"Namun, pikirkanlah sejenak. Aku memujimu dengan istilah-istilah yang aneh---"
Seperti yang diberitahukan padanya, Fatima pasti sudah membayangkannya.
Meskipun sudah setengah jalan, Kuuya memotong kata-katanya, melihat dia menjadi pucat.
Kemudian, seolah meremas suaranya, dia berbicara.
"Karasu-kun, tolong tetaplah menjadi dirimu yang sekarng. Kumohon......"
"......Mari kita berhenti membicarakan hal ini. Tidak ada yang akan senang."
Kuuya tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu, dan dengan raut wajah yang agak terluka, ia meraih semla tersebut.
Ia mengangkatnya, begitu penuh dengan krim hingga tutupnya terlepas, dan bertanya.
"Ngomong-ngomong, Fatima, bagaimana baiknya aku makan ini? Bukannya aku membanggakannya, tapi kue krim dan taiyaki bukanlah makanan kesukaanku. Isiannya selalu tumpah di tempat-tempat yang aneh dan aku selalu merasa kesulitan."
"Kutarik kembali apa yang kukatakan sebelumnya. Tolong ubah bagian itu. Tolong sedikit lebih cekatan lagi."
Fatima, dengan senyum licik pada perubahan topik pembicaraan yang paling mencolok, juga meraih semla.
Namun, alih-alih mengambil semla itu sendiri, dia mengambil tutupnya dan mengangkatnya seolah ingin menunjukkannya kepada Kuuya.
"Kamu menyendok krim dengan tutupnya. Kemudian memadukannya dengan sisa rasa kopi."
---Nah, dalam hal ini, seperti itulah, tapi semla sendiri tidak masalah.
Fatima, yang menambahkan beberapa kata, menyesap kopi seolah memberi contoh, dan kemudian memasukkan krim ke dalam mulutnya yang pahit.
(......Ini kalah dengan kopi Karasu-kun ya......)
Fatima bergumam dalam hati sambil menikmati sensasi rasa yang bercampur dan berpindah secara perlahan.
Selain rasanya, krim yang dia buat terlalu ringan untuk menandingi kepekatan kopi yang disangrai.
Sebagai paduannya, itu tidak proporsional.
Ini---
"Sangat disayangkan, sungguh. Aku salah pilih kopi."
"......Eh?"
Wajah Fatima berubah menjadi bingung ketika dia diberitahu kebalikan dari apa yang dia pikirkan.
"Hmm? Soalnya, memang begitu kan."
Sambil menatap wajah Fatima dengan penuh keheranan, Kuuya melanjutkan.
"Murni seperti bidadari, manis seperti cinta---oh, beneran lezat kok, kue yang kau buat. Aku sangat malu karena harus mencocokkannya dengan kopiku."
"...────"
Fatima tidak bisa berkata-kata saat dipuji dengan kalimat yang sangat romantis itu, dan mulutnya membuka dan menutup tanpa arti.
(T-Tidak seperti yang kupikirkan......!)
Beberapa saat yang lalu dia membayangkan Kuuya akan mengatakan sesuatu yang tidak enak didengar.
Tapi ternyata tidak seperti ini.
Dalam bayangannya, dia berpikir hal yang dangkal dan tipis.
Tidak setulus dan sejujur ini.
"Y-Y-Yah, semla itu makanan musiman, jadi itu hampir-hampir tidak pas lagi sekarang."
Dalam kepanikan, Fatima berada di titik di mana jantungnya berdegup kencang, bahkan kata-kata yang kasar sekalipun, akan lebih cocok untuknya jika berasal dari hati, dan dia memaparkan pengetahuan yang telah dia susun kalau-kalau ia bertanya.
"Begitukah? Namun, dengan adanya mochi yang dijual sepanjang tahun saat ini, siapa yang peduli?"
"Kalau kamu makan osechi di tengah musim panas, semua orang pasti akan menganggapnya aneh."
"Bukan berarti sudah lewat musim sampai segitunya, kita sedang bicara tentang hampir-hampir tidak pas lagi, bukan?"
Kuuta menepis dengan pelan jawaban Fatima dan memiringkan kepalanya, masih memegang kopi di tangan kirinya dan roti dengan krim di tangan kanannya.
"Mungkin kita harus mengganti topik pembicaraan? Kau sepertinya sudah tidak fokus."
"......Tolong. Bukannya aku merasa buruk saat dipuji, tapi aku merasa seperti melayang-layang, dan tidak bisa tenang......"
Fatima menjawab dengan suara yang menyedihkan, merasa tidak nyaman.
Ini adalah harga yang harus dia bayar untuk menjaga jarak dari orang lain, dia tidak kebal terhadap pujian.
Meskipun sangat disayangkan......tapi dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, dan mungkin akan mengatakan sesuatu yang aneh kalau tetap seperti itu.
"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu. Sejujurnya, aku merasa aku tidak memberikan pujian yang cukup untukmu, tapi......aku sendiri akan merasa malu kalau menempatkan diriku di posisimu."
"Kalau kamu mengerti, jangan lakukan itu! Kenapa kamu terkadang begitu usil, Karasu-kun......!"
Fatima memelototinya dengan tatapan kesal, tapi Kuuya menanggapinya dengan senyum lembut.
"Benar juga ya, aku juga ingin tahu kenapa."
"Ugh......!"
Jika Kuuya membantah, dia bisa melakukan sesuatu.
Tapi kalau ia mengambil sikap santai dan menerimanya, tidak ada bisa dia lakukan.
Fatima mendengus pelan dan menyeruput kopinya lagi.
"---Apa kau menyukai pakaian itu?"
"Eh? Ah, pakaian ini?"
Kuuya sudah meminta persetujuan sebelumnya, tapi meskipun demikian ada sedikit jeda, dan perubahan topik pembicaraan sangat mendadak sehingga Fatima tampak seperti merpati yang tertembak oleh penembak jitu sebelum mengangguk.
"Benar juga ya......ini nyaman dipakai dan aku cukup menyukainya."
Sebagian karena dia tidak punya pakaian kasual untuk ditunjukkan pada Kuuya, tapi dia juga tidak berbohong tentang menyukainya.
"Begitu. Kupikir itu terlihat bagus untukmu, jadi syukurlah kau tidak enggan memakainya atau apa pun."
"......'Syukurlah'?"
Itu bukan kata yang biasanya akan menarik perhatian.
Namun, Fatima merasakan tarikan dalam ekspresi kelegaan Kuuya dan bertanya balik.
Sambil mengangguk, Kuuya melanjutkan kata-katanya dengan santai.
"Ya......ada sedikit yang sedang kupikirkan. Aku akan senang kalau kau ikut."
◆◇◆◇◆◇◆