Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 5.7

Bab 5 - Rasa Hujan dan Keringat




Bell berbunyi.


Perasaan lega dan terbebaskan segera mulai memenuhi ruang kelas saat orang di belakang ruangan mengumpulkan jawaban ujian, mengikuti instruksi guru.


Dengan ini, jadwal tes tiga hari telah berakhir. Aku menghela nafas lega dan dengan ringan memutar bahuku, yang telah menjadi kaku karena belajar dan ketegangan.


Kegiatan klub akan dilanjutkan pada hari ini. Di luar mendung, tapi tidak ada hujan yang turun. Kemarin juga tidak hujan, jadi lapangan seharusnya dalam kondisi bagus.


"Ayo pergi, Sakamoto."


Nagai yang membawa tas berenamel abu-abu yang disampirkan di bahunya datang ke mejaku. Aku mengangguk dan segera mengepak tasku.


Kami meninggalkan gedung sekolah setelah ujian dan keluar menuju area barang yang biasanya ditempati oleh tim sepak bola. Aku mengganti celana pendek sepak bolaku, melepas baju, dan mengganti pakaian training-ku. Lalu aku memakai sepatuku.


Anggota klub sudah berada di lapangan menendang bola. Tachibana juga ada disana, membawa setumpuk cone merah dari tempat peralatan. Yuriko masih belum terlihat.


"Izumi-san, apa dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana ujiannya?"


Nagai yang telah berganti seragam putih menanyakan itu padaku sambil mengeluarkan sepasang sepatu dari tasnya. Aku menoleh ke arah Nagai. Ia tampak sama seperti biasanya. Aku menduga bahwa ia mengangkatnya sebagai topik pembicaraan biasa.


"Ya. Dia bilang dia melakukannya dengan baik," jawabku.


"Begitu. Aku sedikit khawatir kalau-kalau aku mungkin mengganggu belajarnya."


Rasa cemburu yang sempat kurasakan tempo hari, meski tak bisa kuidentifikasi dengan jelas, mulai membara lagi di dadaku. Aku mencoba untuk menekannya dan berkata,


"Kurasa itu sama sekali tidak mengganggunya. Dia bilang itu menyenangkan."


"Baguslah kalau begitu," katanya, terdengar lega.


Ketika aku melihat ke lapangan, aku melihat bahwa Tachibana meletakkan cone di tanah, mungkin karena dia lelah. Siswa tahun pertama di sekitarnya begitu asyik memainkan permainan passing sampai-sampai mereka tidak memperhatikan Tachibana.


"Nagai, ayo bantu Tachibana dengan persiapannya."


Saat ia melihat ke arah Tachibana yang sedang membawa cone yang terlihat berat sendirian, ia mendongak dan berkata, "Ya," dan menganggukkan kepalanya. Setelah menunggu Nagai mengikat sepatunya, kami turun ke lapangan dan berlari ke Tachibana.


"Aku akan membantumu."


Nagai mengambil empat tumpukan cone dari Tachibana. Tachibana terlihat sangat senang dan berkata, "Oh, Nagai-senpai. Terima kasih banyak."


"Anak-anak tahun pertama tidak ada yang datang membantuku. Seperti yang diharapkan dari Nagai-senpai, kamu sangat baik."


"Tidak, Sakamoto adalah orang pertama yang menyarankannya."


Tachibana menatapku dengan tatapan ragu dan berkata, "Sakamoto-senpai?"


"Apa kamu makan sesuatu yang aneh, senpai? Mungkin kamu terlalu banyak belajar dan jadi gila?"


"Apa sangat aneh kalau aku jadi perhatian?"


"Soalnya, Sakamoto-senpai selalu mengeluarkan aura 'Aku tidak berniat berbicara dengan siapa pun'. Tempo hari, ketika kita berada di bus untuk tur, kamu mendengarkan musik dengan earphone-mu sementara semua orang yang lain sangat bersenang-senang."


"Aku tidak mengeluarkan aura semacam itu."


Nagai memberikan senyum masam kecil pada percakapan antara Tachibana dan aku.


"Tapi Sakamoto jadi lebih baik akhir-akhir ini."


"Contohnya seperti sekarang?" Tachibana berkata dengan keterkejutan yang berlebihan.


Karena aku berniat untuk membantu Tachibana, aku berkata, "Aku akan mengambil sisa cone dan spidol dari gudang peralatan," dan menuju ke gudang tempat tim sepak bola menyimpan bola dan cone.




Kami menjalani rutinitas latihan kami yang biasa, dan di sudut lapangan, Yuriko sedang menendang bola dengan Tachibana. Sementara Tachibana menendang bola dengan payah dan bersemangat, Yuriko lebih banyak diam.


Kira-kira satu jam kemudian, ketika semua orang berkeringat di tengah cuaca panas bulan Juli. Awan hujan hitam melayang masuk dengan angin lembab.


Segera hujan mulai turun tetes demi tetes. Itu adalah tetesan hujan besar yang sepertinya akan menjadi hujan lebat. Kami berada di tengah-tengah latihan menembak, jadi kami memutuskan untuk segera menghentikan aktivitas klub kami, menyimpan peralatan kami, dan kembali ke area barang yang beratap.


Aku mengumpulkan bola dengan beberapa anggota klub lain yang berada di dekatnya, meraihnya dengan kedua tangan, dan berlari ke gudang peralatan. Sementara itu, hujan semakin deras, dan guntur bergemuruh di kejauhan. "Ugyaa!", Tachibana yang membawa bib ketakutan, terlihat seperti dia baru saja menerbangkan sikap burikko biasanya, dan Yuriko mengambil bib-nya dan berkata, "Akari, kembali duluan saja,". "Maafkan aku!" Tachibana menjawab dan berlari menuju gedung sekolah.

Tln : burikko, wanita atau gadis yang bertingkah imut dengan pura-pura lugu dan tak berdaya


Beberapa anak laki-laki, termasuk aku, mengumpulkan dan menyimpan bola-bola yang tersebar di seluruh lapangan, dan Yuriko juga menyimpan bib dan spidol di rak. Setelah membereskannya, anggota klub meninggalkan gudang peralatan dan berlari dengan riang gembira di tengah hujan lebat yang mengaburkan pandangan mereka. Aku berdiri di pintu masuk dan menatap ke langit, berpikir akan lebih baik tetap di sini jika hujannya seperti ini.


Ditutupi oleh awan tebal, lapangan gelap seperti malam. Selain suara hujan yang menghantam tanah, sesekali terdengar gemuruh guntur yang menggetarkan perutku. Prakiraan cuaca tidak mengatakan akan turun hujan seperti ini. Ini mungkin bersifat sementara. Hujan ini pasti akan segera berhenti.


Dengan pemikiran itu, aku mengembalikan pandanganku dari langit ke tanah dan melihat Yuriko berdiri tepat di sampingku. Dia juga sedang menengadah ke langit. Rambut dan pakaiannya basah kuyup karena hujan. Kain putih pakaiannya menempel erat di pundaknya, memperlihatkan warna kulitnya. Selain itu, warna dalaman biru pucatnya juga terlihat jelas, bersamaan dengan tonjolan di dadanya, dan secara refleks aku memalingkan muka.


"Kalau begini, mungkin lebih baik kita tinggal di sini sebentar."


Saat aku mengatakan itu, Yuriko tidak menjawab, hanya menggerakkan matanya untuk menatapku. Kemudian dia melangkah satu langkah ke depan dan meraih pegangan pintu geser gudang.


Yuriko menggerakan pintu yang tidak pas itu berisik dan paksa, dan membantingnya hingga tertutup. Gudang yang tidak memiliki listrik ini menjadi gelap gulita. Aku hampir tidak bisa melihat Yuriko dengan hanya cahaya redup yang merembes melalui celah sempit antara atap dan dinding. Dia berbalik, menyilangkan lengannya, dan menatapku dari depan.


"Ada apa sih."


Tertekan oleh suasananya yang tidak biasa, aku bertanya padanya.


"......Kenichi, padahal kau sangat baik pada Izumi-san, tapi sangat kasar denganku. Kenapa?"


Aku sangat bingung ketika tiba-tiba nama Izumi muncul entah dari mana saat dia bertanya padaku. Aku mendengar suara keras seperti gemuruh, seolah petir menyambar di suatu tempat.


"Ha? Apa maksudmu, 'kasar'?"


Kataku dengan suara yang lebih keras, berusaha agar tidak tenggelam oleh suara hujan yang bergema di dalam gudang.


"Kau memanggilku 'kau'. Dan ketika aku makan daging, kau mengatakan hal-hal yang membuatku kesal, seperti jadi gemuk."

T/N : Kenichi memanggil Yuriko "omae" yang cukup kasar apalagi kalo ke perempuan, sementara dia memanggil Izumi dengan namanya

 

"Soalnya, itu......"


"Itu, apa? Kenapa kau selalu begitu baik pada gadis itu?"


"Tidak seperti itu."


Seakan mengabaikan kata-kataku, Yuriko maju selangkah. Kemudian, dia meletakkan kedua tangannya di dadaku. Dia tiba-tiba menyandarkan badannya padaku, dan aku hampir tersandung ke belakang.


"Hei, jangan mendorongku."


"Berisik, diam."


Yuriko semakin menyandar padaku. Saat aku hendak berteriak, "Sudah cukup," Yuriko menegakkan tubuhnya dan mengangkat wajahnya hingga sejajar dengan wajahku.



Momen itu, rasa hujan dan keringat menyebar di mulutku, disertai sensasi lembut.


Bibir kami yang basah bersentuhan, dan nafas Yuriko yang hangat memasuki mulutku yang setengah terbuka. Lidah kami saling bersentuhan sedikit. Sensasi lidah Yuriko sangat lembut di dalam mulutku.


Waktu berhenti. Hanya suara hujan yang menghantam atap gudang terus bergema di udara.


Entah sudah berapa lama kami tetap di posisi ini. Entah itu sesaat atau beberapa detik.


Kemudian, aku merasakan dorongan kuat di dadaku. Aku terhuyung-huyung, seluruh tubuhku lemas, dan punggungku terbanting keras ke rak di belakangku. Aku tersedak dan terbatuk beberapa kali, dan Yuriko menatapku dengan marah.


"Karena begitulah adanya."


Kemudian dia berbalik, melepaskan ikatan rambutnya yang diikat menjadi satu simpul. Dia membuka pintu dan berlari keluar di bawah langit hujan yang menjadi agak lebih ringan. Rambutnya yang basah berkibar-kibar, menjatuhkan tetesan air seperti tetesan hujan di lantai beton.

☆ ☆ ☆

Baca novel ini hanya di Gahara Novel




Badai petir berangsur-angsur mereda, namun kegiatan klub segera dibubarkan karena lapangan yang basah dan tidak rata karena hujan deras. Aku melepas bajuku yang basah kuyup, menyeka diriku dengan handuk, dan berganti ke seragamku. Kemudian aku menjauh dari anggota klub dan memegangi lututku sendirian, menatap hujan yang turun dengan ringan di tanah.


Sentuhan Yuriko masih membekas di bibir dan lidahku. Kelembutan tubuhnya yang menyentuhku kembali lagi dan lagi dengan sensasi segar, seolah-olah aku sedang mengalaminya sekarang. Sebaliknya, rasa realitasku sangat lemah. Bernapas pun jadi sulit, seakan udara menjadi lebih tipis. Sensasi saat ini dan waktu itu tercampur aduk sehingga aku merasa seperti kehilangan akalku.


"Hei Sakamoto, apa kau tidak enak badan?"


Aku tiba-tiba mendengar suara, dan, "Eh?" keluar dari mulutku saat Nagai, bersama dengan beberapa anggota klub lainnya, bertanya padaku dengan ekspresi khawatir di wajah mereka.


"......Tidak."


Ketika aku berkata demikian, "Begitu," mereka menjauh dariku, meskipun mereka tampaknya khawatir tentang hal itu.


Setelah beberapa saat, hujan berhenti dan langit jadi cerah dengan cepat. Langit setelah awan hitam menghilang terlihat berwarna merah menyala seperti langit musim panas. Genangan air di seluruh tanah memantulkan cahaya dengan tajam, dan pelangi tipis muncul di langit di atas.


Saat anggota klub mulai pergi, aku masih tidak bisa bergerak dan terus menatap langit musim panas itu.




Saat pelangi yang bersinar terang sambil menghamburkan cahaya matahari terbenam kuning di sekelilingku berangsur-angsur memudar, dan akhirnya benar-benar melebur ke langit malam, aku akhirnya bisa berdiri.


Sudah tidak ada seorang pun di sekitar lagi. Tidak hanya anggota klub sepak bola, tapi juga klub atletik, klub tenis, dan anggota klub lain yang bermain di lapangan mungkin sudah pulang semua.


Aku mengambil barang bawaanku dan berjalan ke tempat parkir sepeda. Aku melihat sekeliling, tapi tidak melihat sepeda Yuriko di antara jumlah sepeda yang jauh lebih sedikit daripada di pagi hari. Dengan perasaan berat, aku melepas kunci dan pulang sendirian dengan sepeda melewati kota pada malam hari.


Sesampainya di rumah, aku menemukan sepatu kulit Izumi tertata rapi dan berjejer di pintu masuk, seperti biasa. Ketika aku melihat mereka, entah kenapa, napas berat keluar dari mulutku.


Aku melepas sepatuku dan memalan di sandalku.


Ketika aku membuka pintu ruang keluarga, lampu tidak menyala dan tidak ada tanda-tanda siapa pun. Saat itu adalah akhir dari malam yang panjang di awal musim panas, dan ruang keluarga tampak tenggelam dalam kegelapan, setiap detiknya, dengan semua bayangan kabur.


Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang.


Izumi sedang duduk di sofa yang terletak di sebelah pintu. Namun, kepalanya tersandar ke belakang dan matanya tertutup. Dalam kesunyian malam itu, hanya suara napasnya yang teratur yang terdengar samar-samar.


---Dia tertidur.


Pada jam-jam ini, biasanya cahaya selalu bocor dari kamarnya sampai larut. Seingatku, ujiannya selesai hari ini. Mungkin dia merasa lega dan lelah.


Dia sedang tidur dengan seragam sekolahnya, jadi roknya sedikit digulung dan pahanya mengintip keluar. Izumi memang selalu penuh dengan celah, tapi yang barusan itu, demi Tuhan, pikirku dalam hati.


Aku membuka selimut yang terlipat di samping sofa dan menyelimutinya dengan pelan, agar tidak membangunkannya.


Aku perlahan menghembuskan nafas dalam-dalam. Melihat Izumi tidur dengan tenang, kejadian dengan Yuriko dalam kegelapan terasa seperti sebuah mimpi. Tapi pada saat yang sama, rasa keringatnya yang asam dan sensasi lembut lidahnya sangat nyata, bahkan sampai sekarang.


Aku meninggalkan ruang keluarga dan dengan diam menutup pintu.


Lalu aku pergi ke kamar mandi dan mandi dulu. Ketika aku memejamkan mata, bayangan dirinya yang basah kuyup di tengah hujan datang ke benakku, dan aku merasa tercekik.


Aku tahu dia lawan jenisku. Aku tahu itu. Tapi belum pernah sebelumnya aku merasa begitu kuat, secara fisik, bahwa dia adalah seorang gadis. Tetesan air menetes dari badanku, membentuk aliran berputar-putar dan tersedot ke saluran pembuangan.


Aku keluar dari kamar mandi, membersihkan diri, dan berganti pakaian santai. Dengan badanku yang rileks oleh shower, aku menaiki tangga, berusaha untuk tidak membangunkan Izumi dengan langkah kakiku.


Seperti biasa, matahari bulan Juli yang panjang belum terbenam. Cahaya oranye terang bersinar melalui jendela, memenuhi ruangan dan menimbulkan bayangan gelap pada banyak buku yang berjejer di rak buku.


Malam awal musim panas yang tenang seperti memperlambat aliran waktu, dan matahari terbenam seolah-olah akan berlangsung selamanya.


Aku membuka jendela dan melangkah ke balkon. Kota yang basah itu bersinar. Langit diwarnai dengan gradasi dari setiap warna malam, dan udaranya terasa gerah dan panas.


Di suatu tempat, jangkrik mulai berkicau.


Aku bisa merasakan, bahwa musim hujan sudah berakhir.




Selesai


Translator : MayLa

Editor : Sphagnum

Post a Comment for "Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 5.7"