Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 3.5
Bab 3 - Pertemuan Mereka
Sebuah gol yang dicetak oleh seorang penyerang dalam alur permainan dan bola yang ditendang olehku langsung masuk, dan permainan berakhir dengan skor 2-0.
Meskipun cuaca mendung, namun saat itu akhir bulan Juni dan semua orang berkeringat setelah berlarian selama lebih dari satu jam. Para pemain dari kedua sekolah, keduanya bersimbah keringat dan debu, saling menyapa satu sama lain setelah pertandingan dan kembali ke bangku cadangan.
Yuriko telah kembali dari kursi penonton dan menyerahkan cangkir kertas berisi minuman pada para pemain saat mereka keluar dari lapangan, bersama dengan Tachibana dan siswa tahun pertama lainnya di bangku cadangan.
"Ini. Kerja bagus."
Yuriko berkata sambil menyerahkan cangkir kertas di tangannya padaku dan anggota klub di dekatnya. Aku masih terengah-engah segera setelah pertandingan, jadi aku meminum minuman olahraga hangat dalam cangkir kertas yang diberikan Yuriko dalam satu tegukan dan menghembuskan napas berat.
Aku duduk di bangku dan melemparkan cangkir kertas ke dalam kantong sampah terdekat. Kemudian aku menurunkan kaus kakiku, melepas pelindung kaki, dan meregangkan kakiku saat aku duduk. Mulai sekarang, kami akan istirahat satu jam. Setelah itu, kami akan memainkan satu pertandingan lagi, dan itu akan menjadi akhir dari jadwal latihan kami hari ini.
"Selamat telah mencetak gol."
Aku mendengar suara seperti bos memuji bawahannya. Aku melihat ke samping dan melihat Yuriko hendak duduk di sebelahku.
"Sudah lama sejak kau melakukan tendangan bebas. Kapan terakhir kali?"
"......Sekitar setengah tahun lalu."
"Itu tembakan yang bagus. Bahkan jika Neuer yang jadi kiper, kupikir bola itu masih akan masuk."
Yuriko berkata dengan bercanda. Aku terkekeh pahit dan menjawab, "Itu tidak mungkin."
Kami mengobrol dengan santai saat kami melihat lapangan yang kosong. Angin bertiup dan debu beterbangan di tengah lapangan. Ada angin musim hujan yang lembab bertiup, yang nyaman bagi badanku yang berkeringat. Yuriko duduk di sebelahku dan meneguk minuman olahraga dari cangkir kertas. Kemudian dia membuka mulutnya dan berkata, "Oh, itu benar,"
"Ngomong-ngomong, Izumi-san bilang dia akan pulang setelah pertandingan ini."
"Ah, begitu."
Aku melihat ke arah Izumi. Dia baru saja meninggalkan kursi pipanya dengan barang bawaannya. Mungkin merasakan tatapan kami, Izumi melihat ke arah kami, tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku mengangkat tanganku sebagai balasannya, dan di sampingku, Yuriko juga melambaikan tangannya dengan gerakan kecil. Entah kenapa, melihat ini, aku merasa Yuriko sudah dekat dengan Izumi. Izumi kemudian berjalan menuju gerbang sekolah.
"---Izumi-san, dia menikmati pertandingannya lho. Itu adalah pertama kalinya dia melihat pertandingan sepak bola secara langsung katanya."
"Hmm," aku menimpali. Lalu aku menanyakan sesuatu yang telah menggangguku sejak tadi.
"Apa yang kau dan Izumi bicarakan sebelumnya?"
Yuriko terus menatap punggung Izumi saat dia berjalan pergi dan tidak menjawab.
"Oi."
"......Rahasia."
Saat aku mendesaknya, Yuriko mengatakan itu.
"Ha?"
"Sudah kubilang rahasia. Tidak ada hubungannya dengan Kenichi."
"Apa-apaan itu?"
"Aku tidak menjelek-jelekkanmu atau membicarakan sesuatu yang memalukan kok."
Mengatakan itu, Yuriko berdiri dari bangku.
"Aku lapar. Aku akan makan bekalku."
Dia melangkah mantap menuju area barang.
"Apaan sih."
Aku bergumam pada diriku sendiri, merasa sedikit bingung dengan rahasianya, dan setelah melakukan peregangan, aku menuju area barang.
Klub sepak bola adalah klub besar dengan anggota lebih dari dua puluh orang, jadi ada beberapa kelompok, seperti dalam sebuah kelas.
Aku, bersama dengan Nagai, beberapa anggota klub lain yang sempat mengobrol denganku, dan Tachibana, yang mengincar Nagai, duduk di bawah naungan balkon gedung sekolah untuk makan bekal yang dibawa Izumi. Yuriko sedang menyantap makan siangnya dengan kelompok siswa tingkat tahun kedua tidak jauh dari kami.
Dalam perjalanan ke sana, Nagai berbicara padaku, "Hei."
"Gadis yang duduk di tenda, apa dia pacarmu?"
Anak laki-laki di sekitar dan Tachibana, yang berdiri di samping Nagai, bereaksi dengan kedutan saat mereka mendengarkan.
"----Bukan. Dia kerabatku."
Aku menjawab, berpikir bahwa kerabat adalah hubungan yang sangat nyaman dalam beberapa hal.
"Heh. Dia manis ya."
"Ya........."
Memang, rambut, pakaian, dan penampilan Izumi memberikan kesan manis, jadi kupikir bahkan dari kejauhan, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatnya menonjol dari keramaian.
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
"Muu," Tachibana yang menyukai Nagai mengernyit mendengar percakapan kami. Mungkin dia tidak menyukai kenyataan bahwa ia memuji gadis lain.
"Kenapa kerabat Sakamoto-senpai datang menonton pertandingan? Dia sepertinya juga mengobrol dengan Mori-senpai. Hubungan seperti apa yang kalian bertiga miliki?"
Tachibana bertanya padaku dengan nada cemberut.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, dia itu seorang kerabat. Dia baru pertama kali bertemu Yuriko. Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan denganku."
Tachibana menatapku.
"Senpai, kamu mungkin terlihat polos, tapi tanpa diduga kamu kelihatannya memiliki hubungan yang menarik dengan gadis. Aku mulai sedikit curiga tentang kamu dan Mori-senpai."
"Tidak mencurigakan. Tidak sama sekali."
"Apa kamu yakin?"
Tachibana terlihat tidak yakin dan menyipitkan matanya.
Aku mengabaikan kata-katanya dan memakan sisa makan siangku.
"Apa gadis itu tinggal di sekitar sini?"
Kata Nagai, dan nasi tersangkut di tenggorokanku.
Aku terbatuk, meminum air dari botol dengan tergesa-gesa, dan menyapu butiran beras di tenggorokan.
"Eh? Maksudmu Izumi?"
"Hmmm. Jadi namanya Izumi-san," kata Nagai.
Ya, aku menganggukkan kepalaku dan membiarkan percakapan berlalu, hanya mengatakan, "Dekat", soal tempat tinggal Izumi.
Kupikir akan merepotkan jika dia menanyakan informasi kontaknya atau semacamnya, tapi Nagai tidak bertindak sejauh itu. Kukira itu hanya percakapan biasa, seperti, "Aku melihat seorang gadis cantik di pinggir jalan."
Aku menyelesaikan makan siangku, membungkusnya dengan kain, dan memasukkannya ke dalam tas.
Tersisa satu pertandingan lagi. Aku tidak merasa begitu lelah. Mungkin aku bisa berlari sampai akhir. Aku merenggangkan tubuh dengan ringan dan membiarkan udara segar memenuhi paru-paruku.
Tiba-tiba, aku merasakan cahaya yang menyilaukan, dan ketika dengan santai melihat ke langit, aku menemukan celah di awan yang menutupi langit. Matahari bersinar melaluinya, dan di tanah, seberkas cahaya terbentuk.
☆ ☆ ☆
Pertandingan kedua hari itu berakhir sekitar pukul 15.00 saat matahari mulai terbenam.
Seperti yang diharapkan, setelah dua pertandingan berturut-turut, kedua tim bergerak lambat dan bermain bertahan satu sama lain, dan pertandingan berakhir imbang tanpa gol.
Aku bermain di pertandingan kedua juga, dan setelah pertandingan, kakiku terasa berat seperti timah, dan kakiku sakit karena terlalu lama memakai sepatu spike.
Aku memijat kakiku di dekat bangku setelah pertandingan, sambil berpikir, kalau seperti ini kakiku akan terasa berat sepanjang sisa malam itu.
Setelah itu, kami melakukan pendinginan dan membersihkan lapangan. Setelah kegiatan klub berakhir, aku berganti ke seragam sekolahku dan pulang dengan sepeda bersama Yuriko. Aku terlalu lelah untuk mengayuh sepeda, dan Yuriko menertawakanku, berkata, "Kenichi, kau sangat lambat."
"Aku bermain di dua pertandingan."
"Kau terlihat melemah ya."
Kata Yuriko dengan nada usil. Saat kami bersepeda perlahan berdampingan, sebuah mobil melewati kami, dan rok seragam sekolah Yuriko bergoyang tertiup angin.
Akhirnya aku berpisah dengan Yuriko dan pulang ke rumah pada sore hari.
"Selamat Datang."
Saat aku memasuki ruang keluarga, Izumi yang sedang duduk sendirian membaca buku paperback, mendongak.
"Aku pulang. Di mana Ibu?"
"Dia keluar minum teh dengan seorang teman dari perumahan."
Begitu, kataku, meletakkan tas enamel klubku, membuka kancing kedua kemejaku, dan duduk di kursi di seberang Izumi.
Setelah dua pertandingan, badanku masih sangat lelah. Sendiku sakit, kakiku pegal, dan aku merasa mengantuk, seakan kesadaranku kabur.
"Kenichi-kun, ingin mau sesuatu?"
"Ah, ya."
Izumi bangkit dari tempat duduknya, mengambil jus jeruk dari kulkas, mengisi gelas dengan es, dan memberikannya padaku.
Aku berterima kasih padanya, mengambil gelasnya, dan meminum jus dingin itu. Suara es yang membentur kaca bergema samar-samar di ruang keluarga yang mulai gelap di malam hari.
"Terima kasih sudah membawakan makan siangku hari ini."
Saat aku mengatakan itu, Izumi tersenyum dan dengan lembut menggelengkan kepalanya.
"Tidak masalah. Aku juga menikmati menonton pertandingannya. Kenichi-kun, kamu mencetak gol, bukan?"
"Ah. Itu tendangan bagus yang bisa kulakukan setelah sekian lama."
Setelah mengatakan itu, aku minum jus jeruk lagi. Rasa asam dari jus itu meresap ke dalam tubuhku yang lelah. Kemudian aku menghela napas dan bertanya pada Izumi tentang hal itu.
"Apa yang kamu dan Yuriko bicarakan hari ini saat pertandingan berlangsung?"
Kemudian Izumi menatapku dengan wajah rumit dan tertawa kecil.
"Rahasia."
Itu lagi, pikirku, dan aku mendesah.
"Yuriko juga mengatakan itu."
Saat aku memberitahunya, Izumi tersenyum usil dan berkata, "Gadis-gadis punya rahasianya sendiri."
Sementara kami berbicara, aku menghabiskan jus jerukku dan bangun untuk mandi. Izumi juga mengatakan bahwa dia akan belanja untuk makan malam dan kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Aku pergi ke kamar mandi dan mandi air dingin. Air dingin mengalir dari kepalaku ke kakiku, mendinginkan otot-ototku yang lelah dan panas.
---Tapi, apa sebenarnya yang mereka bicarakan pada waktu itu?
Aku masih penasaran. Mereka sepertinya berbicara lama selama pertandingan, tapi aku penasaran apa mereka memiliki semacam kecocokkan. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi karena aku adalah satu-satunya penghubung antara kedua gadis itu, mereka mungkin membicarakan sesuatu yang berhubungan denganku.
Saat aku mandi dengan air mengalir dari atas kepalaku dan memejamkan mata, bayangan mereka berdua di tenda berbicara tentang sesuatu muncul di benakku.
Keringat dan debu telah tersapu oleh air dingin, dan tubuhku terasa lebih segar, tapi perasaan samar dan tak terdefinisi sepertinya menumpuk di dadaku.
Bahkan setelah tinggal bersama, bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun bersama, itu wajar kalau aku hanya tahu sebagian dari apa yang dipikirkan gadis-gadis ini dan kepribadian seperti apa yang mereka miliki, baik tentang Izumi maupun Yuriko.
Pikiran itu membuatku merasa kesepian dan hampa. Saat aku mematikan air, samar-samar aku bisa mendengar suara kota bergema di kejauhan.
Akhir bab 3