Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 1.2

Bab 1 - Hari Kepindahan




"Di sini."


Kataku singkat, dan berhenti di depan sebuah rumah biasa berlantai dua yang desainnya hampir sama dengan rumah-rumah di sekitarnya, aku pindah kesini saat masih SD.


Izumi yang ada di sebelahku melihat ke rumahku di mana dia akan tinggal mulai dari sekarang.


Aku membuka gerbang luar setinggi dada dan memberi isyarat agar Izumi masuk. Dia mengangguk kecil dan melangkah ke tanah rumahku.


Di taman sempit antara gerbang luar dan pintu depan ada hortensia dan mawar yang sedang mekar yang ditanam ibuku. Bunga-bunga itu dan daun hijaunya basah karena tetesan air hujan.


Aku mengeluarkan kunci dari sakuku dan membuka kunci pintu. Di tengah suara hujan deras, suara kunci terbuka dengan dentang bergema dengan berat yang aneh.


Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Mungkin karena aku berjalan di udara musim hujan yang amis, aku merasakan bau rumah, yang jarang kurasakan dalam kehidupan sehari-hari. Aku melepas sepatuku, menekan saklar di Agari kamachi dan menyalakan lampu pintu depan.

Tln : Agari kamachi adalah semacam anak tangga untuk memasuki rumah dari pintu masuk di rumah-rumah Jepang.


"M-Maaf mengganggu......"


Izumi berkata begitu dan mengikutiku masuk pintu depan. Kemudian, "Ah," dia sedikit membuka mulutnya.


"Maaf, aku punya barang sebanyak ini......"


Di depan tatapan Izumi, ada beberapa kotak kardus yang ditumpuk di pintu depan. Itu adalah paket Izumi yang tiba melalui kurir kemarin. Meski aku berpikir, "Kamu tidak perlu meminta maaf untuk itu," tapi aku menjawab dengan, "Tidak, tidak apa-apa."


Kemudian dia melepas sepatunya dan menatanya dengan rapi.


Aku berkata, "Tunggu sebentar," dan menuju kamar mandi di dekat pintu depan untuk mengambil handuk besar dan kain lap.


"Ini, gunakan ini."


"Ah, ya. Terima kasih."


Izumi menerimanya, dengan ringan menyeka tangannya yang memegang payung dan rambutnya, dan kemudian menggunakan kain lap untuk mengelap bagian bawah kopernya.


"Kamar Izumi ada di lantai dua."


Aku memasukkan handuk yang sudah dipakai ke keranjang cucian dan berjalan menaiki tangga menghadap pintu depan. Izumi mengikutiku dengan barang bawaannya. Ketika kami sampai di lantai dua, terdapat lorong pendek dengan tiga pintu berjejer.


Paling kanan adalah kamarku, dan di sebelahnya adalah kamar kakak laki-lakiku, yang sudah meninggalkan rumah. Yang di sebelah kiri adalah ruang kosong yang akan digunakan Izumi mulai sekarang.


Ketika aku membuka pintu, dia menatap ke dalam dengan gugup.


Setelah membersihkan kamar dan mengosongkannya, untuk saat ini aku hanya menyiapkan meja tua dan lemari pakaian yang digunakan kakakku di masa lalu, kamar yang suram.


"Kamu bisa mengaturnya sesukamu."


Ucapku, menyampaikan apa yang dikatakan ibuku. Izumi masuk ke dalam, berputar dan melihat sekeliling kamar. Lantai kayu, lampu elektronik dengan penutup plastik semi transparan, tirai merah yang dipasang di jendela.....


"Ayo bawa barang bawaanmu di pintu depan ke kamar."


Aku memanggil punggung Izumi saat dia melihat sekeliling kamar. Untuk sekarang, tugas yang diberikan padaku hari ini akan selesai jika aku membawa delapan kotak kardus yang menumpuk di pintu depan itu.


Dia menjawab "Ya," pada suaraku, meletakkan ransel dan kopernya di dekat dinding, dan mengikutiku.


Kami turun ke lantai satu dan bersama-sama membawa kardus-kardus itu satu per satu ke kamar Izumi. Setiap kardus diberi label 『Buku』atau『Pakaian』dengan spidol permanen, dan ada salah satu yang anehnya ringan dan diberi label『Pakaian dalam』. Ketika aku menyadari labelnya, jantungku berdetak kencang.


Aku tanpa sadar melihat ke atas dan melihat Izumi memegang sisi lainnya. Dia menurunkan matanya sedikit. Keringat mulai bercucuran di dahiku karena situasi yang canggung, tapi kupikir itu akan terlihat disengaja untuk menarik tanganku sekarang, jadi aku pura-pura tidak menyadari apapun. Aku berjalan menaiki tangga, menghadap Izumi, dan meletakkannya di kamarnya seolah-olah tidak ada yang terjadi.


Setelah sekitar sepuluh menit membawa semua kardus, kami berdua menghela nafas panjang. 


Aku bertanya pada Izumi, "Dengan ini sudah semua, kan?"


"Ya terima kasih."


Sambil menyingkirkan poni yang menghalangi matanya ke samping, Izumi sedikit menundukkan kepalanya.


Dengan ini, proses pemindahan selesai untuk saat ini. Mulai sekarang, dia akan tinggal di ruangan ini selama enam bulan ke depan. Memikirkan hal ini, aku merasa seolah-olah aku tidak punya tempat meskipun ini adalah rumahku.


".......Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku......"


"Ah, ya......"


Saat aku hendak berbalik, aku mendengar pintu depan terbuka, diikuti oleh gemerisik kantong plastik.


"Kenichi? Kau sudah pulang?" suara ibuku bergema dari bawah.


Aku menatap Izumi dan berkata, "Kurasa orang tuaku sudah pulang,". Dia menganggukkan kepalanya. 


Dari arusnya, kupikir aku harus membawa Izumi ke bawah bersamaku, jadi kami menuruni tangga bersama.


Aku membuka pintu ruang keluarga dan dapur. Disana, ada sofa cokelat untuk tiga orang, meja roset kayu, dan TV LCD, serta ruang makan dan dapur yang jadi satu. Di depan dapur ada meja untuk empat orang, dan ibuku yang mengenakan kardigan berwarna krem ​​berdiri di sampingnya.


"Aku sudah pergi menjemputnya," kataku ke punggung ibuku.


Ibuku balas menatapku dan menjawab, "Terima kasih."


Sebenarnya, ibuku yang seharusnya menjemput Izumi dengan mobil, tapi tadi malam, seorang tetangga tiba-tiba meminta ibuku untuk menggantikannya di pertemuan asosiasi lingkungan, jadi aku pergi ke stasiun untuk menjemputnya sebagai gantinya. Dilihat dari tas belanjaan yang ada di meja, dia mungkin pergi berbelanja setelah dia menyelesaikan tugasnya.


"Halo, Oba-san. Aku akan dalam perawatanmu mulai sekarang."


Izumi keluar dari belakangku dan membungkuk dengan sopan.


"Selamat datang, Rina-chan. Seharian hujan turun, kamu pasti lelah setelah perjalanan panjangmu, kan."


"Tidak, aku baik-baik saja."


Izumi menggelengkan kepalanya dan tersenyum ramah.


"Maaf ya, aku punya janji mendadak dan tidak bisa menjemputmu.---Anak ini, ia tidak terlalu bersahabat, kan."


Ibuku, sambil mengeluarkan sekotak susu dari tas belanja dan memasukkannya ke dalam kulkas, menatapku dan berkata dengan senyum masam. Sepertinya ibuku sudah pernah bertemu Izumi beberapa kali.


"Tidak. Ia membawakan barang bawaanku. Itu sangat membantu."


"Begitukah? Baguslah kalau begitu.---Kenichi mungkin tidak bersahabat, tapi bukan berarti ia marah. Ia hanya tidak pandai bicara. Jadi, tidak perlu dipedulikan jika tingkahnya sedikit buruk, ya."


Izumi tersenyum dan mendengarkan cerita ibuku. Ibuku memiliki kepribadian yang ramah, dan Izumi tampaknya jauh lebih terbuka padanya dibandingkan padaku.


"Um, aku akan kembali ke kamarku."


Aku berkata begitu dan menuju ke kamarku. Kupikir karena mereka berdua sama-sama perempuan, Izumi akan lebih nyaman berbicara dengan ibuku sendirian.


"Oh, ya. Kerja bagus."


Tepat sebelum meninggalkan ruang keluarga, ibuku berkata begitu padaku, dan Izumi sedikit membungkuk.


Rumah dipenuhi dengan suara hujan yang menghantam atap dan percakapan meriah antara Izumi dan ibuku. Aku menaiki tangga, berjalan menyusuri koridor pendek di lantai dua---dan melihat kamar Izumi dengan pintu yang ditinggalkan terbuka.


Di lantai kayu berwarna cokelat tua, kardus-kardus yang baru saja kami bawa berjajar, dan di sudutnya tergeletak ransel cokelat dan koper merah yang dibawanya.

☆ ☆ ☆

Baca novel ini hanya di Gahara Novel



Aku berbaring di tempat tidurku dan membaca buku di tengah hari hujan yang remang. Pada musim ini, di luar masih cerah bahkan ketika hampir pukul 6 sore. Bahkan di hari seperti hari ini, ketika langit diselimuti awan kelabu, jika tirai dibuka, ada kecerahan yang samar-samar.


Sekitar 30 menit setelah kembali ke kamarku, ada ketukan ringan di pintu.


Aku bangkit, menyelipkan pembatas buku ke dalam bukuku. Ibuku selalu berteriak memanggilku tanpa pernah mengetuk ketika dia membutuhkan sesuatu, jadi suara ketukan agak baru bagiku.


"Apa?"


Kataku berbalik ke arah pintu dan mendengar suara Izumi berkata, "Sudah waktunya makan malam, turunlah kata Oba-san."


"Mengerti. Aku turun sekarang."


Aku bangun dan membuka pintu. Lalu menuruni tangga bersama Izumi yang datang memanggilku dan memasuki ruang keluarga. Di atas meja sudah disiapkan makanan yang sepertinya dibeli ibuku. Menunya lebih mewah dari biasanya. Ibuku suka membuat segalanya menjadi hidup, jadi dia mungkin jadi bersemangat dengan kedatangan Izumi.


Izumi dan ibuku duduk saling berhadapan di meja untuk empat orang, dan aku duduk di samping ibuku. TV sedang menayangkan berita malam. Seorang penyiar berita pria berwajah segar dengan rambut yang memakai wax atau semacamnya sedang membaca berita, tapi aku hampir tidak bisa mendengar suaranya karena tenggelam oleh percakapan antara ibuku dan Izumi.


"Tomoko juga, benar-benar mendadak, ya. Aku tidak percaya dia pergi ke Brasil. Orang itu, dia selalu seperti itu. Bahkan ketika kami masih seorang mahasiswa, semua teman kami selalu terombang-ambing olehnya, itu sangat merepotkan."


"Ibuku orang yang suka berkerja."


"Meski begitu, aku bertanya-tanya apa meninggalkan anaknya yang masih SMA dan pergi ke belahan lain dunia itu normal."


"Kalau itu entahlah, sepertinya itu adalah peluang bisnis yang sangat besar."


"Biji kopi baru, ya. Aku ingin tahu apa itu benar-benar menguntungkan untuk mengimpornya."


"Menurut ibuku, sepertinya rasanya sangat enak."


Mereka bertukar percakapan seperti itu dengan tempo tinggi. 


Sudah kuduga, ibuku terlihat akrab dengan Izumi, mungkin karena dia adalah seorang kerabat dan putri dari sahabatnya. Mereka berbicara tentang orang tua Izumi dan sekolahnya dan terus terlibat dalam percakapan yang hidup sepanjang makan malam.


Aku dengan diam makan makananku di samping mereka, mengabaikan percakapan mereka yang masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri.


Setelah selesai makan dalam waktu sekitar 10 menit, ketika aku menuangkan secangkir teh jelai ke dalam gelas dan meminumnya, aku merasakan getaran di sakuku. Ketika aku mengeluarkan ponselku, aku melihat pesan masuk di SNS. Itu dari kakak laki-lakiku.


《Aku yakin kau sudah selesai dengan kepindahan anak itu, kan? Datanglah ke tempatku dan ceritakan semuanya padaku.》


Meskipun sama seperti biasa, pesan itu ditulis dalam bahasa Jepang kasar yang tidak diharapkan dari seorang mahasiswa pascasarjana di bidang humaniora. Dan meskipun aku berpikir, "Bukankah lebih baik kau saja yang datang ke sini sendiri," aku segera menjawab, 《Mengerti. Aku akan kesana nanti.》


"Terima kasih atas makanannya."


Aku berdiri dan mencuci peralatan makanku sendiri di wastafel. Kemudian saat aku akan meninggalkan ruang keluarga untuk kembali ke kamarku, berpikir aku hanya akan mengambil dompet,


"Kenichi, apa kau akan pergi ke suatu tempat?" tanya ibuku.


"Tempat Ryuu-kun. Entah kenapa aku dipanggilnya."


Aku berhenti dan menjawab.


"Ini bukan untuk sesuatu yang aneh, bukan?"


Kata ibuku dengan ekspresi waspada di wajahnya.


"Bukan seperti itu. 'Datanglah bermain. Kau tidak sibuk, kan?' seperti itu."


Saat aku mengatakannya, "Haa," ibuku menghela nafas dengan sengaja.


"Beri tahu Ryuuichi kalau aku sudah menyetujuinya untuk melanjutkan ke sekolah pascasarjana dan katakan kalau ia harus pulang sesekali."


"Mengerti."


Izumi mendengarkan percakapan kami dengan ekspresi bingung di wajahnya. Kemudian, mungkin merasakan bahwa aku akan meninggalkan rumah, "Kenichi-kun," dia memanggilku.


Apa? Aku bereaksi secara spontan, dan kemudian, setelah jeda, aku merasakan ketidaknyamanan.


---Kenichi-kun?


Ketika aku kebingungan saat dia memanggilku dengan namaku,


"Ah, um, ada Oba-san juga, dan kupikir akan aneh memanggilmu Sakamoto-kun."


Izumi berkata seperti membuat alasan. Aku berkata, "Ya, yah, itu benar," dan melontarkan kata-kata yang sesuai.


"Terima kasih untuk hari ini. Kamu banyak membantuku." 



Kata Izumi, sambil duduk di kursinya, dia membungkuk seolah melipat bagian atas tubuhnya. Meskipun dia adalah seorang kerabat, dipanggil dengan nama belakangku oleh seorang gadis yang hampir tidak pernah kutemui sebelumnya membuatku merasa malu atau mungkin anehnya gelisah.


"Tidak, tidak apa-apa, lagipula aku tidak punya kegiatan hari ini......"


Sambil mengatakan itu, aku mengangguk kecil pada Izumi. Izumi menutup mulutnya dan tersenyum, mengangkat pipinya dengan lembut.

☆ ☆ ☆