Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 1.1
Bab 1 - Hari Kepindahan
Sesampainya di stasiun tempat kami akan bertemu, aku berjalan dengan cepat melewati kerumunan, lalu menyandarkan punggungku ke pilar besar di depan gerbang tiket, dan melihat waktu di papan tanda elektronik.
Pukul 16:12, tiga menit sebelum kereta yang dinaikinya tiba. Meski sampai pada menit-menit terakhir, aku lega tidak terlambat, aku menyandarkan bagian belakang kepalaku ke pilar dan menghela nafas kecil di tengah hiruk pikuk stasiun disore hari.
Sebulan yang lalu ibuku memberi tahuku kalau seorang kerabat kami akan pindah ke rumah kami. Sejak saat itu, aku buru-buru membersihkan kamar di lantai dua yang menjadi ruang penyimpanan sampai kemarin, dan meletakkan meja tua yang tidak terpakai dan futon tambahan di lemari untuk membuatnya siap untuk ditinggali orang.
Aku belum pernah bertemu dengannya, juga tidak memiliki ingatan apapun tentang namanya. Dari awal, aku tidak pernah memiliki banyak kontak dengan kerabatku. Hanya setidaknya pernah suatu ketika ketika aku masih SD, aku dibawa ke pemakaman kakak perempuan nenekku, yang wajahnya bahkan tidak kukenal.
Hari ini, hujan turun sejak pagi tadi. Langit berwarna abu-abu pekat di musim hujan, dan ada banyak tetesan air di kaca jendela. Udaranya juga, sedikit berbau amis. Payung dan sepatu basah orang-orang yang berjalan di stasiun membasahi lantai keramik.
Saat aku menatap stasiun di senja hari, dengan orang-orang yang terburu-buru datang dan pergi, waktu di papan elektronik akhirnya menunjukkan pukul 16:15. Pengumuman yang mengumumkan kedatangan kereta terdengar sampai ke luar gerbang tiket, dan dentang logam dari kereta terdengar. Setelah itu, tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar. Di layar ada nomor yang tidak diketahui. Tapi, dari waktunya, tidak salah lagi itu pasti dia. Mungkin, ibunya sudah memberinya nomorku.
Aku merasa napasku tercekat di tenggorokan, tapi aku tidak bisa mengabaikannya. Aku menghela napas pelan, menyentuh ikon panggilan, dan mendekatkannya ke telingaku.
"Ya."
Speaker dipenuhi dengan campuran beraneka ragam langkah kaki dan pengumuman dari dalam stasiun. Kemudian, seperti yang kuduga, suara lembut seorang gadis mengenalkan namanya.
『Aku Izumi. Aku baru saja tiba. Um, di mana kamu sekarang?』
Ketika ditanya, aku buru-buru melihat sekeliling. Sejumlah pekerja kantoran dan siswa SMA berseragam sekolah berjalan cepat melewatiku.
"---Aku di sekitar pilar di depan mesin tiket. Aku memakai jeans dan kemeja abu-abu."
『Aku mengerti. Maaf membuatmu menunggu.』
Telepon ditutup setelah kata, "Permisi,". Terdengar bunyi bip elektronik, dan aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan memasukkannya ke dalam saku.
Aku mendongak dan melihat para penumpang yang baru saja turun dari kereta datang melalui gerbang tiket satu demi satu. Tentu saja, tidak mungkin aku tahu yang mana Izumi Rina, orang yang akan tinggal denganku mulai sekarang, tapi entah bagaimana aku mendapati diriku menatap arus orang-orang itu.
Kemudian, mataku bertemu dengan mata seorang gadis berambut hitam dengan ransel kecil berwarna cokelat dan koper merah, yang baru saja keluar dari gerbang tiket.
Begitu mata kami bertemu, ekspresi wajahnya menjadi cerah, lalu dia menundukkan kepalanya dan berjalan lurus ke arahku. Aku tahu dari raut wajahnya bahwa inilah gadis yang kucari.
Rambut panjang sedangnya yang lurus jatuh sampai ke tulang selangka, dan bagian atas telinganya sedikit mengintip keluar. Pipi dan pandangannya melembut, dan kardigan krem pucat diatas blus putihnya, dan rok panjang biru tuanya memberinya kesan rapi.
Dia sedikit menundukkan kepalanya di depanku dan bertanya, "Kamu Sakamoto Kenichi-kun, kan?"
"Ya."
Ketika aku menjawab, dia tersenyum dan mulai berbicara dengan ramah.
"Maaf, aku membuatmu datang jauh-jauh ke stasiun. Aku akan berada dalam perawatanmu mulai sekarang."
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
Sifat pemaluku keluar dan aku hanya bisa menjawab dengan samar, "Sama-sama,". Dari setelah ibuku memberi tahuku tentang kepindahannya, itu adalah perasaan yang aneh untuk benar-benar melihat orang yang kubayangkan dari hanya mendengar namanya, "Izumi Rina," muncul di depanku.
Aku melihat jam di gerbang tiket dan membalikkan tubuhku ke arah pintu keluar stasiun sambil berkata, "Sudah hampir waktunya bus berangkat,". Izumi mengangguk dan mulai berjalan mengikuti, sedikit di belakangku dengan menarik kopernya.
Kami turun dari eskalator dan pergi ke bundaran stasiun. Bus sudah di halte, dengan pintu terbuka, menunggu penumpang. Kota terlihat gelap dan basah karena hujan yang terus menerus turun dari awan kelabu yang tebal. Dibandingkan dengan di dalam, suara hujan di luar lebih keras.
Tidak ada atap di atas jarak lima puluh meter ke halte bus. Di bawah atap beton di pintu keluar-masuk stasiun, Izumi menurunkan tali bahu ranselnya dan mengeluarkan payung lipat merah dari dalam.
Aku juga membuka payung plastik lusuh di satu tangan, dan kami mulai berjalan ke halte bus. Suara hujan menabrak payung dan suara langkah Izumi di trotoar bata bergema di sekitar kami. Pada senja yang gelap dengan hujan turun, orang-orang yang berjalan di depan stasiun semuanya bisu, seolah-olah bayanganlah yang sedang lewat.
Ada beberapa kursi kosong untuk dua orang di bus. Aku berjalan ke salah satunya dan memberi isyarat pada Izumi, yang buru-buru mengikutiku di belakangku, untuk duduk di sebelah jendela. Mungkin menyadari isyaratku, dia menundukkan kepalanya, mengangkat kopernya yang terlihat berat sambil berjalan dengan langkah kecil, dan membawanya melewati tangga. Kemudian dia duduk dan meletakkan ranselnya di pangkuannya.
"......Hujannya tidak kunjung berhenti, ya. Padahal prakiraan cuaca mengatakan akan berhenti di sore hari."
Izumi berkata saat aku duduk di sebelahnya.
Aku menjawab, "Benar juga,". Izumi sedang melihat ke langit melalui jendela yang dipenuhi tetesan air. Bagian dalam jendela sedikit mengembun, mungkin karena udara hangat di dalam bus.
Saat kami duduk berdampingan di tempat di mana siku kami saling bersentuhan, udara di dalam bus yang berdebu dipenuhi dengan aroma manis yang samar yang tercium darinya. Aku bertanya-tanya apakah itu dari aromanya sendiri atau cologne.
Dia duduk dengan kedua tangannya di pangkuannya. Di pergelangan tangan kirinya, dia memakai jam tangan kecil. Barang-barangnya terlihat sedikit lebih mewah daripada milik siswa SMA biasanya. Izumi bersekolah di sekolah khusus perempuan yang terkenal, dengan SMP dan SMA yang terintegrasi. Aura yang dia keluarkan sejak sebelumnya membuatku merasa kalau dia dididik dengan baik, yang membuatku, seorang siswa di SMA biasa, merasa sedikit sadar diri.
Akhirnya mesin menyala, bus bergetar, dan pengumuman dibuat dengan datar, memberi tahu penumpang di mana kendaraan akan berhenti. Lalu, tiba-tiba Izumi menoleh padaku dan bertanya, "Seberapa jauh dari sini?"
"---Kurasa, sekitar 20 menit."
"Begitu ya."
Percakapan terputus hanya dengan itu, dan keheningan turun. Pada saat yang sama, pintu bus tertutup dan bus melaju ke kota yang sedang hujan.
Sambil tersenyum, Izumi menoleh ke arahku sementara waktu seolah-olah masih mencoba mencari awal untuk percakapan. Aku mencoba mencari sesuatu untuk dilanjutkan, tapi tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan. Saat keheningan berlanjut, aku bisa merasakan aura kecanggungan merembes keluar dari balik senyumnya yang menyenangkan, dan aku mulai merasa kasihan padanya.
Seperti yang kuduga, gadis ini gugup. Jika aku memikirkannya, itu wajar. Meskipun itu adalah rumah kerabatnya, dia akan tinggal dengan seseorang yang belum pernah dia temui sebelumnya untuk sementara waktu. Dia akan jauh dari orang tuanya, dan dia mungkin merasa sedikit kesepian.
Umm, kata Izumi, suaranya keluar dengan senyuman yang seperti akan mengeluarkan keringat dingin.
"Berapa jauh dari halte bus ke rumahmu?"
"......Sekitar lima menit."
"Ah, begitu ya......"
Percakapan terputus lagi dalam sekejap, dan Izumi menundukkan pandangannya. Melihatnya seperti itu, aku dengan tidak sabar memutar otak, lalu entah bagaimana terpikirkan sesuatu, dan melemparkan pertanyaan ringan.
"Apa kamu mengikuti suatu klub?"
Dia mengangkat wajahnya dan kemudian memberikan ekspresi cerah pada suara rendahku, yang sepertinya menyatu dengan suara mesin bus.
"Aku masuk klub bulu tangkis. Itu bukan klub yang sangat aktif, hanya latihan ringan dua tiga kali seminggu. ---Bagaimana denganmu, Sakamoto-kun?
"Aku ikut klub sepak bola."
Ketika aku menjawabnya, "Begitu ya," katanya, terdengar sedikit bersemangat.
"Aku suka menonton sepak bola. Meski, aku tidak begitu tahu aturannya. Aku tahu pemain seperti Honda. --- Sejak kapan kamu bermain?"
"Sejak SD."
"Hebat. Jadi kamu sudah bermain sejak lama, ya."
Dia kemudian sepertinya ingin melanjutkan percakapan, mulai menanyakan beberapa pertanyaan dan berbicara tentang sekolahnya. Meskipun aku masih merasa tidak nyaman berbicara dengannya, aku terus menanggapinya dengan kata yang sesuai, berusaha untuk tidak bertindak seolah aku menolak untuk berbicara dengannya.
Sementara kami mengulangi percakapan sedemikian rupa sehingga kami bisa mengukur jarak antara satu sama lain, bus mendekati halte bus terdekat.
"Selanjutnya adalah pemberhentian kita."
Ketika aku mengatakan itu, "Ya," ucapnya dan menekan tombol dengan tanda "Turun" di atasnya.
Bus melambat dan berhenti. Aku berjalan menyusuri jalan kecil didalam bus di depannya, dan saat di pintu keluar, aku berbalik ke arah Izumi, yang membawa barang bawaan besar.
"Barang bawaanmu, aku akan membawakannya."
Anak tangganya sempit dan licin karena hujan. Aku mengulurkan tanganku, berpikir kalau itu akan berbahaya dengan koper yang terlihat berat di tangannya. Jika aku tidak menutupi ketidakmampuanku untuk berbicara dengan baik dengan hal seperti ini, aku benar-benar hanya akan dianggap sebagai pria dengan sikap yang buruk.
"Ah......Ya, terima kasih."
Setelah sejenak menunjukan ekspresi sungkan, Izumi lalu tersenyum dan menyerahkan pegangan kopernya padaku.
Sambil bertanya-tanya apa yang ada didalamnya, dan saat aku mengangkatnya, ternyata lumayan berat juga. Kurasa aku benar untuk menyarankan membawa koper karena tak disangka sulit juga untuk menghindari benturan antara koper dan pintu bus.
Aku turun duluan dan membuka payung plastikku. Izumi yang turun setelahku juga membuka payung lipat merahnya, berkata, "Terima kasih," dan menerima kopernya.
Hujan terus turun dengan tenang dan terus memercik tanpa ada tanda akan berhenti. Bus mulai melaju ketika arus lalu lintas mereda.
"Setelah ini, kita hanya harus berjalan lurus."
"Ya."
Izumi mengangguk dan berjalan di sampingku pada jarak di mana payung kami tidak akan bertabrakan. Kali ini, jarak yang halus dan suara hujan mengisi kesunyian.
Jalanan yang diguyur hujan di musim hujan, membuat genangan air yang cukup besar di beberapa tempat. Hujan turun tak henti-hentinya, menciptakan beberapa luapan melingkar.
Aku melihat Izumi dari samping dan melihat bahwa dia lebih pendek satu kepala dariku. Rambutnya yang terlihat lembut dan halus sepertinya menyerap dan membawa kelembapannya.
☆ ☆ ☆
Post a Comment for "Chikasugiru Karera no, Juunanasai no Tooi Kankei [LN] V1 Chapter 1.1"