Tsumetai Kokou no Tenkousei wa Houkago, Aikagi Mawashite Amadereru [LN] J1 Bab 2.4
Bab 2
"......---"
Kuuya perlahan-lahan membuka matanya dan apa yang dilihatnya adalah warna perak yang lembut.
Ia sepertinya sudah tertidur cukup lama, matahari sudah terbenam sepenuhnya, dan melalui celah tirai terdapat cahaya lemah dari bulan, yang akan menjadi bulan baru besok.
Rambut perak Fatima bersinar samar-samar di bawah sinar bulan.
"......Fatima......?"
Dia menyandarkan kepalanya di pangkuan Kuuya, wajahnya terlihat tenang dan bernapas dengan damai dalam tidurnya.
Tepat sebelum tertidur, ia khawatir apa Fatima akan mengunci pintu dengan benar ketika dia pulang, tapi......sepertinya ia meleset.
"......Dasar penuh celah......kau tidak lupa kalau aku seorang laki-laki, kan."
Melihat dirinya yang tanpa pertahanan, Kuuya tersenyum pahit.
---Aku tahu.
Dia tidak lupa kalau Kuuya adalah seorang laki-laki.
Fatima tidak sebodoh atau seceroboh itu.
Karena dia mengenal dan mempercayainya, maka dia menunjukkan kerentanannya sepeti ini.
Kuuya bukanlah tipe orang yang bisa mengkhianati kepercayaan semacam itu.
"Tapi, yah......dia akan membolehkan kalau hanya sekadar melihat wajah tidurnya, kan."
Kuuya bergumam dengan wajah lembit yang bahkan belum pernah dilihat Fatima sebelumnya, dan meskipun ia berkata demikian, ia menatap bulan yang mengintip melalui tirai.
Berat badannya di atas kakinya sungguh menenangkan.
Untuk beberapa saat, waktu berlalu dengan tenang seperti itu.......
"Gawat......sudah lama lewat waktu makan malam...... nenek akan memarahiku......"
Kuuya tiba-tiba menyadari hal ini.
Ia menyadarinya, tapi......
"......Nah, sudah dipastikan aku akan dimarahi, kalau begitu aku akan tetap seperti ini sedikit lebih lama lagi."
◆◇◆◇◆◇◆
Baca novel ini hanya di Gahara Novel
Hari berikutnya...
"Saat kupikir apa yang kamu lakukan sampai bolos sekolah......"
Koyori berseru sambil memandang Fatima, yang berdiri di dapur.
Seperti yang dia katakan, waktu masih menunjukkan lewat tangah hari.
Dan karena hari ini adalah hari kerja, ini adalah waktu di mana para siswa harus berada di sekolah untuk mengikuti pelajaran mereka.
Namun Fatima ada di rumah.
Dia bolos sekolah dan pulang lebih awal.
"Kenapa kamu membuat krim?"
"Aku berpikir untuk membuatkan Karasu-kun masakan rumahan."
Sambil mengaduk isi mangkuk dengan menggunakan pengocok dengan gembira, Fatima menjawab.
---Kemarin dia mengenal Kuuya sedikit lebih banyak dan itu menyenangkan.
Jadi itu bukan hari yang buruk, tapi...... Kuuya tetaplah Kuuya, dan tidak mengajukan pertanyaan apa pun pada Fatima, yang bertidak eksentrik.
Dengan kata lain, tujuan utamanya seperti belum tercapai.
Oleh karena itu, ini langkah berikutnya.
(Ini pasti akan cocok dengan kopi Karasu-kun.......)
Ibunya sering membuat roti manis---roti bundar, dilubangi dan diisi dengan krim almond yang manis.
Jika kau memakannya dengan secangkir kopi panggang yang kuat, ini akan membantu menangkal rasa pahit yang tertinggal di mulutmu.
(Dan di atas segalanya---)
Ya. Yang paling penting, ini adalah hidangan tradisional yang umum di negara asal orang tua Fatima, tapi jarang di Jepang.
Hal ini pasti akan membuat Kuuya ingin menanyakan sesuatu.
Dengan begitu, itu akan menjadi kesempatan yang baik bagi Fatima untuk membicarakan tentang dirinya sendiri.
"Hmmm.........dalam situasi seperti ini, haruskah aku memuji cucuku, atau haruskah aku menyuruh putriku untuk menggenggamnya dengan erat......"
Sambil melihat Fatima mencicipi krim kocok dengan sendok kecil, Koyori bergumam pada dirinya sendiri.
Itu adalah sebuah monolog yang tidak ditujukan pada siapa pun secara khusus, tapi Fatima menangkapnya dan memiringkan kepalanya.
"Aku tidak merasa keberatan dengan salah satu dari keduanya, jadi aku tidak akan men-tsukkomi 'Normalnya, salah satunya itu lebih buruk dari yang lain, kan,'......tapi, menggenggamnya?"
Jika dia dipuji karena memiliki mata yang bagus, atau ditegur bukankah ada laki-laki yang lebih baik, dia bisa mengerti, tapi......jika dia disuruh menggenggamnya, itu adalah cerita yang berbeda.
Dia sangat penasaran, apakah ada sesuatu dalam diri Kuuya.
Namun, tampaknya itu bukan masalah yang sangat fatal.
Dengan nada suara yang ringan, Koyori menjawab.
"Kuuya sama seperti Kuugo-san."
Kuugo adalah nama mendiang suami Koyori, yang merupakan kakek Kuuya.
"Nah, kemiripannya hanya pada akarnya, tapi pada dasarnya mereka sangat berbeda....... Tidak, ketika aku pertama kali bertemu Kuugo-san, aku berpikir apa-apaan pria lemah ini, dan aku lumayan meremehkannya."
"Haa......"
Fatima tidak bisa membaca maksud sebenarnya dari Koyori yang berbicara, dan dia terdengar terhenyak.
Kuuya hanya kalem yang tidak cocok untuk usianya, tapi ia tidak memiliki aura lemah.
Karena itu, lebih mudah dipahami kalau dibilang mereka berdua itu sangat berbeda, tapi......sepertinya, tidak seperti itu.
"Ada pepatah yang mengatakan bahwa pedang yang benar-benar bagus itu yang berada di sarungnya, kan. Ya, Kuugo-san itu orang yang seperti itu, ia tidak melotot seperti pisau murahan."
"Karasu-juga juga bukan orang murahan yang memamerkan kekuatannya."
Ketika Fatima membalas menyanggah dengan nada suara yang sedikit lebih tegas, Koyori tertawa.
"Ia masih hanya anak yang meniru Kuugo-san sekarang. Karena ia itu anak kakek---ups, aku tidak bermaksud berbicara buruk tentangnya, jadi jangan terlalu menatapku seperti itu."
Sambil menenangkan Fatima, yang mood-nya memburuk karena penyangkalannya, Koyori dengan lembut menyipitkan matanya.
"Aku hanya orang tua yang bercerita tentang Kuuya yang pasti akan menjadi pria yang baik seperti Kuugo-san, dan aku bangga pada cucuku. Dan ketika itu terjadi, wanita yang memiliki mata yang jeli tidak akan mengabaikannya. Kalau pedang yang dicabut dari sarungnya, wanita-wanita murahan akan mendatanginya, kan."
"......"
Fatima mulai memahami apa yang mungkin Koyori coba katakan, saat dia mendengarkan kata-kata Koyori yang anehnya serius, mungkin berbicara dari pengalaman.
"Karena itu, genggan ia erat-erat?"
"Aku tidak berpikir ia adalah tipe anak yang, begitu ia mengambil keputusan, akan berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain lagi---omong-omong Fatima."
Koyori yang mengatakan itu, melihat ke sekeliling dapur dengan ekspresi heran, melanjutkan.
"Apa cucuku serakus itu?"
Sejumlah besar roti panggang berjejer di dapur. Bahkan, mereka bahkan berjejer di atas meja ruang keluarga.
"Tidak, yah......aku tidak yakin apa aku memanggangnya dengan bagus atau tidak, jadi......"
Dengan wajah malu, Fatima menjawab.
Dia membuat beberapa karena masih kikuk, tapi dia sadar kalau dia terlalu banyak memanggangnya.
◆◇◆◇◆◇◆
Post a Comment for "Tsumetai Kokou no Tenkousei wa Houkago, Aikagi Mawashite Amadereru [LN] J1 Bab 2.4"