Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Yume no Shizuku to Hoshi no Hana [WN] Chapter 1



Chapter 1




Sudah tiga bulan sejak aku masuk SMA Maika pada bulan April, dan aku mulai cukup familiar dengan sekolah dan kelas. Aku bersekolah di SMA yang sama dengan Ichinomiya-kun dan berada di kelas yang sama. Kami sudah berada di sekolah yang sama sejak masih di sekolah dasar, dan kadang-kadang kami berada di kelas yang sama. Aku diam-diam bergembira ketika kami bisa di kelas yang sama.


Sesampainya di kelas, aku langsung menuju mejaku. Tempat duduku berada di samping jendela paling belakang. Itu adalah tempat duduk favorit, tapi belakangan ini matahari begitu terik jadi aku tidak sabar untuk berganti tempat duduk.


Aku adalah tipe yang datang ke sekolah lebih awal, dan hanya ada sekitar 10 siswa di kelas. Ia termasuk di antara sepuluh orang itu.


Tempat duduknya ada di sebelah jendela paling depan. Ia duduk disana, dan berbicara dengan seorang teman yang berdiri di seberang meja. Ia memiliki rambut cokelat dan terlihat sedikit mencolok, tapi semua orang di kelas tahu kalau ia orang yang sangat bertanggung jawab. Ia menjadi ketua kelas berkat itu. Aku meletakkan tanganku di telingaku dan meletakkan sikuku di atas meja, mengintip kearahnya. Keren.


Biasanya, setelah aku meletakkan tasku di atas meja, aku pergi untuk berbicara dengan seorang teman bernama Watanabe Misa, yang duduk di dekatnya. Lalu, ia akan menyapa dengan setidaknya "Selamat pagi", tapi ketika aku mengingat mimpiku pagi ini, aku tidak bisa mendekatinya.


Untuk sesaat, aku berdiri dari kursiku, namun pada akhirnya aku memutuskan untuk duduk kembali.


Selama kelas, punggung empat orang di depanku menghalangi dan aku hanya bisa melihat kepalanya, tapi sekarang aku bisa melihat sosoknya dari belakang dengan jelas. Aku merasa aku bisa melihatnya selamanya. Sambil memikirkan akan bagus jika selanjutnya aku bisa duduk disampingnya, ia yang sedang duduk di kursinya dan berbicara dengan temannya berbalik dan melihat kearahku, yang sedang melihat sosoknya dari belakang. Lalu, ia meninggalkan tempat duduknya dan berjalan ke arahku. Semakin dekat ia denganku, semakin cepat jantungku berdetak.


Apa? apa? apa? Kenapa ia datang ke sini? Kepalaku panik.


Ia terus berjalan dan berhenti tepat didepan mataku.


"Ada apa?" Katanya dan menatap wajahku.


“Eh? Apa maksudmu ada apa?” Wajahku kaku dan mataku berkaca-kaca.


“Tidak, kau selalu berbicara dengan Watanabe kan. Apa kalian bertengkar?” Katanya dan mengalihkan pandangannya ke arah Misa.


“Tidak, bukan begitu.”


“Kalau begitu demam?” Ia seperti mencoba menyentuh keningku. Itu memalukan dan aku tidak bisa menahannya, jadi aku berakhir menepis tangannya.


Padahal ketika di sekolah dasar, aku biasa mengatakan kata-kata kasar seperti "Jangan sentuh aku", meskipun caraku mengatakannya seperti bercanda, tapi sekarang......aku benar-benar menepisnya.


‘Ah’ suara penyesalan keluar dari mulutku. Meski begitu, aku dengan dingin melanjutkan, "Tidak apa-apa."


“Begitukah.” katanya, dan ia kembali ke tempat duduknya dan mulai mengobrol dengan temannya lagi.


Aku melakukannya. Ini juga karena mimpi. Suara-suara di sekitarku seolah menghilang. Akankah ia benar-benar menyatakan perasaannya jika aku melakukan hal seperti ini? Aku khawatir apakah masa depan akan berubah atau tidak.


Ramalan masa depan memiliki satu kelemahan. Jika masa depan tidak seperti yang diramalkan, kemampuan meramal akan hilang. Ini adalah cerita yang kudengar dari nenekku. Nenekku juga mampu memprediksi masa depan. Tampaknya ramalan nenekku bukan dalam bentuk mimpi, tapi masa depan satu menit ke depan muncul di benaknya.


Sekitar 20 tahun yang lalu, ketika nenekku berusia 62 tahun, dia meramalkan bahwa kakekku akan mengalami kecelakaan mobil. Saat itu, nenekku sedang berjalan di trotoar bersama kakekku dan meramalkan bahwa ia akan ditabrak mobil di penyeberangan pejalan kaki yang mereka tuju. Jadi nenekku memberi tahu kakekku tentang hal itu, dan keduanya memilih jalan yang tidak melewati penyeberangan pejalan kaki yang telah mereka tuju sebelumnya. Akibatnya, kecelakaan lalu lintas yang diramalkan tidak terjadi dan kakekku terselamatkan, tapi nenekku kehilangan kemampuannya untuk meramal.


Ketika dia menceritakan kisah itu kepadaku, nenekku juga berkata:


"Kamu bisa mengubah apa yang telah kamu ramalkan, tapi hanya sekali. Jika kamu mengubahnya, kamu akan kehilangan kemampuan untuk meramal. Gunakan satu kali itu untuk menyelamatkan orang yang berharga bagimu."


Karenanya, aku tidak akan menggunakan satu kali itu untuk masa depan dimana ia menyatakan perasaannya. Karena ini adalah masa depan yang bahagia. Aku tidak boleh mengubahnya. Nenekku mengubah ramalannya dan tidak menyesal kehilangan kemampuan meramalnya. Akupun tidak ingin menyesal saat aku mengubah ramalanku.


Mungkin merupakan kesalahan besar untuk menepis tangannya. Mulai sekarang, aku meneguhkan hatiku untuk tidak memperlakukannya dengan kasar. Aku juga ingin akrab dengannya agar setidaknya bisa pergi ke pertunjukan kembang api bersama.




Enam hari telah berlalu sejak aku berpikir begitu. Mulai besok adalah liburan musim panas. Aku sedikit lega karena kupikir itu masih dua minggu lagi sebelum pertunjukan kembang api, tapi aku benar-benar lupa tentang liburan musim panas. Aku bahkan tidak bertemu dengannya selama liburan musim panas.


Aku masih belum membuat janji untuk pergi melihat kembang api bersama. Yang seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya, dan ia tidak akan mengajakku lagi. Jika aku tidak pergi ke pertunjukan kembang api bersama, pengakuan itu tidak akan terjadi. Kemudian aku kehilangan kemampuan untuk meramal.


Aku menghela nafas.


Hari ini adalah satu-satunya waktu untuk mengundangnya ke pertunjukan kembang api. Aku akan minta maaf untuk yang sebelumnya dan mengundangnya ke pertunjukan kembang api. Tidak ada kesempatan lain.


Saat itulah aku memutuskan untuk melakukannya sambil berjalan di jalan menuju sekolah. Aku mendengar klakson mobil di dekatku. Aku merasa seperti seluruh dunia melambat. Aku tidak bisa mengikuti pikiranku dan hanya berpikir aku akan mati.


Saat itu, seseorang menarik lengan kiriku. Saat berikutnya, kecepatan dunia kembali normal, dan aku melihat sebuah truk lewat di depanku.


"Itu berbahaya! Kau bodoh!"


Didekatku, aku mendengar suara keras, yang perlahan gemetar. Dengan takut-takut aku berbalik, dan ia ada disana. Sepertinya ketika aku dalam perjalanan ke sekolah, aku mencoba menyeberang jalan tanpa lampu lalu lintas tanpa melihat sekeliling, dan dia menolongku di sana.


"Maaf," kataku dan menatapnya, dan dia sedikit kehabisan napas.


Melihatnya, aku ingat bahwa ini pernah terjadi sebelumnya.




Ketika di sekolah dasar, ia pernah menarik tanganku ketika aku akan jatuh ke sungai dan menolongku. Seperti sekarang.


Itulah penyebab aku jatuh cinta padanya.




Aku pergi ke sekolah dengannya. Padahal aku berencana untuk meminta maaf untuk yang sebelumnya dan mengundangnya ke pertunjukan kembang api, permintaan maafku bertambah satu lagi. Rencananya tiba-tiba gagal, dan langkahku terasa berat.


Dalam perjalanan ke sekolah, ia selalu berjalan di sebelah jalan raya. Aku senang dengan kebaikannya, tapi aku merasa bersalah dan menurunkan pandanganku. Setelah beberapa saat, aku menyadari bahwa akan berbahaya jika aku tidak melihat ke depan saat berjalan, jadi aku mengangkat wajahku. Tapi setelah beberapa saat, aku menurunkannya lagi. Aku mengulanginya beberapa kali. Lalu, aku memutuskan untuk meminta maaf dengan benar.


“Hei.”


"Hmm?" Ia yang berjalan setengah langkah di depanku menoleh.


“Itu......aku minta maaf”


“Tidak apa-apa. Tadi kau juga meminta maaf, 'kan?”


“Ya. Tapi untuk hari ini, dan untuk yang sebelumnya juga.”


“Apa ada yang terjadi sebelumnya?”


“Tempo hari di kelas, aku menepis tangan Ichinomiya-kun bukan.”


“Ah, itu ya. Kalau itu aku yang salah. Jangan khawatir.”


“Ya.”


Gerbang sekolah sudah terlihat. Guru konseling yang berdiri di depan gerbang sekolah yang selalu mengamati siswa yang terlambat juga terlihat padahal ini belum waktu terlambat.


“Daripada itu, hati-hatilah saat berjalan. Meskipun dari kecil sudah diberi tahu seperti ini.”


“Aku mengerti.”


“Kau tidak mengerti, 'kan? Lalu, bukan maaf, tapi terima kasih bukan? Disaat seperti ini.”


“Ya......maaf.......maksudku terima kasih.”


“Kalau begitu sebagai rasa terima kasih, mau pergi melihat kembang api bersamaku?”


“Eh?”


“Karena itu adalah sebagai balasan dari rasa terima kasih, jadi jangan menolak.”


Aku sangat senang. Dan kupikir ramalan mimpi itu benar. Aku menyembunyikan perasaanku dan hanya berkata, "Oke," seolah-olah itu tidak bisa dihindari. Aku sangat senang sampai-sampai hampir menyeringai, tapi aku mati-matian menahan mulutku tidak naik agar tidak ketahuan. Kakiku menjadi ringan. Aku harus memperbaiki sisi tidak bisa jujurku ini.




Hari pertunjukan kembang api. Sejak awal liburan musim panas, aku kesulitan memilih pakaian untuk dikenakan di pertunjukan kembang api. Aku tidak bisa mengingat pakaian yang kukenakan dalam mimpi itu.


Pada akhirnya, tiga hari sebelum pertunjukan kembang api, ia meneleponku dan mengatakan ingin melihatku memakai yukata, jadi aku memutuskan untuk memakai yukata.


“Wah, cantik sekali. Sama seperti ibu saat masih muda.”


Ibuku sedang mendandaniku di kamar bergaya Jepang di lantai satu. Itu adalah yukata berwarna biru indigo dengan motif ikan mas, dan itu adalah milik ibuku yang diberikan padaku. Sepertinya dia memakainya ketika dia pergi ke pertunjukan kembang api bersama ayah ketika dia masih muda. Itu adalah yukata yang sangat lucu dengan desain yang tidak kuno sama sekali.


“Apa ibu sudah pernah mengubah ramalan?”


Ibuku, yang mengencangkan obi di belakangku, melirikku.


“Masih belum.”


“Begitu ya.”


Obi itu dikencangkan dengan erat. Sepertinya dia melakukan berbagai hal di belakangku setelah itu, tapi aku tidak bisa melihatnya dari sini. Setelah beberapa saat, ibuku muncul dari belakang. Lalu, dia mengelilingiku dan mengrapikan kerutan di yukata.


“Baik, sudah selesai.”


Penampilanku yang terpantul di cermin terlihat dewasa seperti bukan diriku saja. Obi merah bersinar di atas yukata berwarna biru indigo.


“Melihat seorang gadis manis dalam yukata seperti ini, kurasa tidak perlu mengubah ramalannya.”


Kata-kata ibuku membuatku percaya diri. Sambil membawa dompet ditangan, aku memutar tubuhku untuk melihat penampilan belakangku. 


“Aku tidak menyangka kamu mengubah ramalan untuk mendapatkan pacar.” Kata ibu yang berdiri di sebelahku.


"Tidak! Itu kebalikannya! Aku bermimpi mendapatkan pengakuan." kataku tanpa sadar.


“Enaknya masih muda.”


Ibu meletakkan tangannya di depan mulutnya dan menatapku dengan pandangan menggodaku. Sepertinya dia memikirkan sesuatu yang tidak sopan.


“Sudahlah! Aku berangkat.”


“Selamat jalan. Jangan sampai terlambat ya.”


Aku meninggalkan rumah seperti ingin melompat keluar. Aku bertemu dengannya di depan tangga batu. Itu sekitar 3 menit berjalan kaki dari rumahku. Saat kau berjalan dengan geta, kau bisa mendengar suara kayu yang berbenturan dengan jalan dan itu membuatku merasa nyaman. Tidak ada seorang pun yang menuju ke arah yang sama denganku. kupikir semua orang akan pergi ke festival.


Langkahku berjalan dengan geta lebih kecil dari biasanya, dan butuh waktu sekitar 5 menit untuk sampai di tempat pertemuan. Ia sudah menunggu di sana dengan yukata. Kesenjangan antara rambut cokelat mudanya dan yukata hitamnya begitu keren hingga jantungku berdebar.


Pertemuan seperti itu adalah mimpi. Dalam imajinasiku, aku mengatakan, "Sudah lama menunggu?" Dan ia menjawab, "Aku baru datang." Sebuah imajinasi klasik. Aku memutuskan untuk membuat mimpi itu menjadi kenyataan.


"Sudah lama menunggu?".


Itu canggung meskipun hanya 3 kata. Dan suaraku kecil.


“Tidak, aku baru datang. Yukatamu sangat imut.”


Aku tidak membayangkan kata imut akan keluar, dan wajahku menjadi sangat panas hingga kupikir mungkin akan keluar api dari wajahku. Meski begitu, aku hanya bisa berkata, “Kamu juga lumayan.” Dan kali ini aku menekankan suaraku, mengatakannya dengan merendahkannya. Padahal aku ingin mengatakan kalau itu keren. Pada akhirnya aku tidak bisa mengatakannya. Aku sama sekali tidak bisa jujur.


Dia tampak kebingungan, tapi segera tersenyum, “Kalau begitu, ayo pergi.” Katanya dan mengulurkan tangannya. Aku sangat malu dan hatiku berdebar, tapi aku bermaksud berpura-pura itu bukan masalah besar. Namun, meskipun aku mencoba meraih tangannya, ternyata cukup sulit bagiku. Akhirnya, dia yang menggenggam tanganku. Tangannya yang menggenggam tanganku sangat besar. Mungkin karena panas, atau mungkin ia juga merasa sedikit gugup, saat aku menyadarinya kegugupanku sedikit menghilang.


Dua orang menaiki tangga batu, yang mungkin memiliki 100 anak tangga. Lebar anak tangga batu hanya cukup untuk dua orang berjalan berdampingan. Jarak kami sangat dekat. Ada banyak lampu jalan di sisi kanan tangga batu yang dipasang secara berkala, suasananya begitu menakjubkan sehingga memberikan ilusi bahwa ini ada dunia lain. Aku bisa mendengar suara serangga dari pepohonan di sekitar, yang membuatku merasakan suasana malam musim panas. Dan suara dua pasang geta yang berjalan melewatinya.


“Di sini luar biasa ya. Kalau malam ternyata seperti ini," katanya sambil melihat lampu jalan yang berjejer.


“Ya.”


Tempat ini adala tempat yang familiar bagiku. Aku hanya datang di siang hari, tapi aku mendengar dari orang tuaku kalau cahaya lampu jalan disini indah di malam hari.


Setelah berjalan beberapa menit, pandanganku terbuka dan kami sampai di puncak. Puncaknya kira-kira seukuran lapangan tenis dan memiliki halaman rumput yang luas. Lalu, ada ladang bunga kecil di salah satu sudut. Aku tahu pemandangan di siang hari, tapi suasananya berubah total di malam hari. Kupikir itu akan menakutkan tanpa dirinya karena disini gelap.


Yang kulihat dalam mimpi itu adalah, tempat dimana aku bisa melihat ke arah kota dibawah dengan pagar disebelahnya. Mungkin di sana. Pagar yang terbuat dari kayu seukuran pahaku dipasang sepanjang sekitar 20 meter melingkar. Disekitar pusatnya.


Secara alami, kaki kami menuju ke tempat itu.


“Indahnya.” Tanpa sadar kata itu keluar.


Melihat kota dari atas bukit, aku bisa melihat lampu-lampu kios dan lentera merembes melalui celah-celah di antara pepohonan. Ini adalah pemandangan malam dengan cahaya, yang jarang terjadi di kota kecil seperti ini.


“Ingin pergi ke kios.”


“Tidak. Kembang api saja sudah cukup.”


Aku benar-benar cukup hanya dengan kembang api. Aku senang bisa berkeliling kios bersama, tapi aku takut aku gugup dan hatiku tidak bisa menahannya. Untuk sekarang kembang api saja sudah cukup. Selain itu, jika ia mengakui perasaannya seperti yang diramalkan dalam mimpi, aku pasti akan memberikan OK. Setidaknya pada saat itu, aku akan benar-benar jujur. Kemudian aku bisa pergi ke pertunjukan kembang api atau festival lain dan berkeliling di sana.


“Ini akan segera dimulai.”


Ia melihat jam di smartphone-nya, dan setelah beberapa saat, kembang api bundar besar menyebar di hadapan kami dengan keras dan menghilang.


Itu cantik. Meskipun lebih kecil dari kembang api yang kulihat dalam mimpi, tapi ledakannya lebih kuat saat melihatnya secara langsung. Mungkin karena aku tidak bisa mendengar apa pun selain suaranya dalam mimpiku.


“Luar biasa,” gumamnya lalu melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Aku berdebar-debar mengetahui bahwa sekarang ia akan menyatakan perasaannya.


Tapi ia mengalihkan wajahnya ke kembang api lagi. Akupun melihat kearah kembang api lagi. Pertunjukan Kembang Api Otomigawa berlangsung sekitar satu setengah jam setiap tahun, dan 20.000 kembang api diluncurkan. Lalu, pertunjukan kembang api yang terakhir adalah pertunjukan kembang api yang terkenal.


Dimulai dengan satu ledakan kembang api, berbagai kembang api diluncurkan. Memang menakjubkan. Aku menontonnya setiap tahun, tapi aku juga kagum setiap tahun.


Ada juga kembang api lucu seperti kembang api emoji tersenyum dan kembang api hijau dan merah seperti semangka yang dipotong menjadi dua. Bola kembang api lainnya naik ke langit melalui kembang api yang terbuka lebar. Dan kembang api mekar pada posisi yang lebih tinggi. Kontras antara tinggi dan rendah itu indah.


Ada berbagai warna kembang api, ada berbagai suara kembang api. Suara kembang api seperti memiliki ritme layaknya musik.


Di tengah pertunjukan, ada begitu banyak kembang api yang berjajar hingga suara kembang api yang diluncurkan tumpang tindih. Aku dibanjiri oleh banyaknya cahaya. Langit malam yang penuh cahaya, seperti di siang hari.


Dua orang bersebelahan selama sekitar satu setengah jam dan menikmati kembang api. Tapi seiring berjalannya waktu setelah kembang api dimulai, aku mulai bertanya-tanya kapan ia akan menyatakan perasaannya. Aku melirik wajahnya, yang sesaat terang, sesaat gelap karena kembang api. Sayang sekali aku tidak bisa menikmati kembang api yang begitu indah ini dengan tulus. Tapi jika terus seperti ini dan kembang api berakhir, aku akan kehilangan kemampuan meramalku. Lalu, mungkin aku tidak bisa menyelamatkan orang yang berharga bagiku dimasa depan. Memikirkan hal itu, tulang punggungku terasa dingin bahkan di tengah panasnya musim panas.


Kembang api akan segera berakhir. Yang membuatku merasa seperti itu karena kembang api yang tadinya seperti hampir mencapai puncaknya, tapi ternyata masih ada kembang api yang meluncur lagi. Seolah-olah mempersiapkan kedatangan kembang api yang besar. Sudah waktunya untuk kembang api empat shaku terakhir untuk meluncur.


Aku memperhatikan saat-saat itu. Jika ia tidak menyatakan perasaanya padaku, aku bukan hanya akan kehilangan kemampuan meramalku, tapi aku juga tidak akan berkencan dengannya. Aku tidak suka itu. Aku sangat menyukainya.  Karenanya aku berdoa. Aku berdoa pada kembang api layaknya berdoa pada bintang jatuh. Katakanlah kamu menyukaiku seperti didalam mimpi. Aku tahu itu permintaan yang sangat arogan. Aku bertanya-tanya apakah ia tidak menyukaiku seperti dalam mimpi karena aku selalu bersikap dingin. Dengan tidak sabar, berbagai macam pikiran bermunculan.


Saat itu, aku mendengar suara kembang api besar diluncurkan. Ini pasti suara kembang api terakhir. Ia masih menatap langit. Aku berharap dari lubuk hatiku. Tolong  berbaliklah kearahku.

***

Post a Comment for "Yume no Shizuku to Hoshi no Hana [WN] Chapter 1"