Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Watashi Igai to no Love Comedy wa Yurusanai n Dakara ne [LN] V1 Chapter 8.5 Interlude 2

 Interlude II

Sosoknya saat sedang menembak sangat indah.


Bola yang dilempar dari jarak yang begitu jauh, melukiskan lengkungan layaknya pelangi dan terhisap oleh ring. Itu terlihat seperti sebuah sihir.


Tentu saja, aku tahu itu adalah skill dan perwujudan dari usaha kerasnya.  Untuk mata amatir, itu adalah kemampuan yang sia-sia untuk dipamerkan di tempat seperti turnamen permainan bola sekolah.


Aku ingin melihat tembakkannya  di pertandingan resmi, pikirku dengan egois.


Tapi justru karena ia beruasaha keras, ia memahami seperti apa kemampuan dirinya sendiri, ‘kan.


Ia secara alami memilih untuk menjaga bakat luar biasanya daripada dirinya yang biasa.


Dia cenderung selalu menyatu dengan latar belakang.


Tanpa ada ketidakpuasan karena menjadi bayangan, dan tidak menyerah untuk membantu orang lain.

 

Ia mengerti apa yang paling mereka butuhkan, dan tanpa diminta, ia menutupi kekurangannya.

 

Pihak lain semakin bersinar, tapi hanya sedikit orang yang melihat bayangan seperti dirinya.


Sulit mendapat penilaian karena tidak mencolok, dan mungkin itu adalah peran yang merugikan.


Orang biasa enggan melakukannya, tapi tanpa disadari ia tahu pentingnya hal itu.


Tanpa berpikir panjang, ia mendukung banyak orang. Menyelamatkannya. Memberikan dorongan. Merupakan kekuatan yang luar biasa untuk bisa dengan mudahnya menempatkan orang lain di atas dirinya sendiri.


Kebaikannya yang sederhana itu memang tidak mencolok, tapi aku sangat bersyukur.


Karena aku juga adalah orang yang telah diselamatkannya.


Sebelum aku menyadarinya, perasaan yang tumbuh didalam dadaku berkembang semakin besar.


Tidak peduli berapa banyak aku mencoba untuk mengabaikan apa yang sebenarnya kupikirkan, pandanganku terus mengikutinya.


Itu saja membuatku bahagia.


Itu saja sudah cukup.


Aku takut akan masa depan, jadi aku tidak bisa berharap.


Jika aku mencurahkan dengan jujur yang ada dalam pikiranku, mungkin saja semuanya akan berubah.


Begitulah, lagi-lagi aku menyadari bahwa aku semakin dan semakin terpikat pada anak laki-laki yang seperti udara itu.