Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Jika ada kesalahan ejaan, salah ketik dan yang lainnya, tolong berikan feedback di kolom komentar

Yume no Shizuku to Hoshi no Hana [WN] Chapter 3



Chapter 3




"Hati-hati dijalan. Sampai jumpa lagi." ayah dan ibuku mengantarku sampai keluar rumah.


Bunga sakura yang ditanam di kuil sedang mekar sempurna. Kelopak bunga sakura berjatuhan berserakan, bercampur dengan kerikil di halaman kuil. Aku seorang siswa SMA mulai hari ini.


SMA Maika. Aku bisa masuk SMA yang sama dengan Kaede. Aku di kelas 1-5. Dan pada daftar nama siswa yang terpampang di pintu kelas, nama Kaede juga ada di sana.


Ketika aku pergi ke kelasku, Kaede sudah duduk di kursi paling belakang dekat jendela.


Sebagian rambut panjangnya dikepang tipis, seperti saat dia masih di sekolah dasar. Rambut indahnya berkibar tertiup angin dari jendela yang terbuka. Itu adalah pemandangan yang indah.


Aku ingin melihatnya seperti itu selamanya, tapi aku tidak bisa. Setelah memasuki kelas dari pintu belakang, aku langsung menghampirinya dan memulai percakapan.


"Yo. Mohon bantuannya lagi, ya."


"Ya......mohon bantuannya."


Dia berkata dengan ekspresi sedikit dingin. Sebelum aku menyadarinya, situasinya sudah menjadi seperti ini. Meskipun kami sangat dekat di sekolah dasar. Pada titik apa dia membenciku? Aku khawatir apakah hari itu akan terjadi atau tidak.


Sepertinya aku tidak bisa mendekati Kaede sekarang, jadi aku segera kembali ke tempat dudukku. Tempat dudukku berada di barisan paling depan di sebelah jendela. Aku suka kusri yang didekat jendela, karena aku bisa menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup dari luar.




Guru wali kelas kami kali ini berusia sekitar 30 tahun, dan dia terlihat sangat muda. Suaranya lembut dan pelan. Di tengah perwalian setelah upacara masuk. Dia perlahan mengingatkan kita tentang hal-hal yang perlu diingat saat di sekolah.


"Tidak apa-apa jika ingin bekerja paruh waktu, tapi kalian harus mendaftar. Formulir aplikasi ada di Ruang Bimbingan Siswa, jadi silakan ambil sendiri dan kirimkan......"


Suaranya terdistorsi sejenak dan bidang penglihatanku dialihkan. Aku segera menyadari bahwa itu adalah ramalan.


Tapi itu aneh. Itu adalah pemandangan yang sama dengan ramalan yang kulihat ketika aku berusia enam tahun.


27 Juli. Festival Kembang Api di Otomigawa. Di sebuah bukit berangin yang menghadap ke kota, aku ada di sana menatap langit bersama Kaede. Tapi saat kembang api empat shaku terakhir meledak, yang mengaku adalah aku.

Tln : mohon maaf banget, ternyata ada kesalahan terjemahan, aku nerjemahinnya empat kembang api besar yang seharusnya kembang api sebesar empat shaku (1 shaku sekitar 30,3 cm), untuk di bab sebelumnya udah kuperbaiki, sekali lagi mohon maaf🙏


Adegan berganti. Kaede sedang tidur di ruangan yang tidak kuketahui. Kaede bangun dari tempat tidur dan melihat kalender yang tergantung di dinding dekat pintu masuk ruangan. Kemudian dia berbalik dan berkata, "Dua minggu lagi."


Pada saat berikutnya, pemandangan berubah lagi dan aku kembali ke kelasku.


Kepalaku berantakan. Wali kelasku berdiri di podium dan terus berbicara, tapi yang dikatakannya benar-benar tidak masuk dalam pikiranku. Aku memejamkan mata untuk mengatur pikiranku.


Berbeda dengan ramalan yang kubuat ketika aku berusia enam tahun, aku yang mengaku pada Kaede disini. Ini aneh. Dalam adegan yang sama di mana kembang api empat shaku naik ke langit, ada ramalan Kaede yang mengaku dan ramalan aku yang mengaku. Sungguh aneh bahwa dua ramalan ada pada saat yang bersamaan.


Dan ada hal aneh lainnya. Kenapa aku meramalkan adegan di mana Kaede bangun? Jika ada hubungan antara adegan pengakuan dan adegan di mana Kaede bangun, maka apa yang baru saja kulihat pastilah ramalan bahwa Kaede akan memimpikan aku akan mengaku padanya.


Apa karena aku tidak terlalu memikirkan ini karena aku bisa meramal. Tapi bagaimana jika Kaede juga bisa meramal?




Hari itu hanya ada upacara masuk dan perwalian, tidak ada kelas, dan sekolah berakhir lebih awal dari biasanya. Aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dan aku pulang hari itu dengan seorang teman laki-laki dari saat SMP. Kepalaku penuh dengan pemikiran tentang ramalan. Aku tidak sabar untuk membicarakannya dengan ayah.


Mungkinkah Kaede bisa meramal? Jika Kaede bisa, apa aku akan mengubah ramalanku? Jika demikian, apa aku akan kehilangan kemampuan untuk meramalkan? Pikiran berkecamuk di benakku.


Setelah berpisah dengan teman-temanku, aku berlari pulang, orang tuaku datang ke sekolah untuk menghadiri upacara penerimaan, tapi ketika aku tiba di rumah, mereka sudah ada di rumah.


"Oh, selamat datang. Hari ini lebih awal dari biasanya ya."


"Ayah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."


"Oh, apa? Tentang ramalan?"


"Begitulah, apa ayah sudah meramalkannya?"


"Tidak, saat kau berbicara dengan wajah seperti itu pasti selalu tentang ramalan."


"Wajah seperti itu, itu seperti apa."


"Yah, seperti itu."


Saat kami pindah ke kamar kosong bergaya Jepang, aku menjelaskan secara rinci pada ayahku tentang ramalan yang kulihat di sekolah hari ini.


Kemudian, aku bertanya padanya apakah mungkin Kaede juga bisa membuat ramalan. 


“Keluarga Futami awalnya adalah keluarga Miko. Tidak seperti kita, meskipun kuil mereka telah menghilang, kemungkinan mereka masih memiliki kemampuan untuk meramal karena sejarah keluarga mereka. Seperti yang kukatakan sebelumnya, ramalan kita terkait dengan fakta bahwa kita adalah keluarga pendeta Shinto di kuil ini. Aku yakin jika kau bertanya pada kakek, ia akan tahu lebih banyak, tapi aku tidak akan terkejut jika Kaede, yang berasal dari keluarga Miko di kota ini, mampu membuat ramalan."


Itu adalah kejutan bagiku. Di luar keluargaku sendiri, aku hanya pernah mendengar tentang okultisme yang mampu memprediksi hal-hal. Aku tidak pernah menyangka bahwa seorang gadis yang mungkin akan aku kencani di masa depan akan juga bisa meramal, dan bahwa dia meramalkan situasi yang sama.


Pertanyaan lain. Dengan asumsi Kaede adalah seorang peramal, bisakah ada dua ramalan yang kontradiktif? Apa yang kulihat adalah adegan di mana dia mengaku padaku. Kaede melihat aku mengaku padanya di hari yang sama dan di tempat yang sama.


"Kalau itu ayah juga tidak tahu. Ramalan bisa diubah. Karena itu, ada kemungkinan kalau ramalanmu telah berubah dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Tapi, mengubah ramalan itu tindakan yang memang diniatkan. Kalau kau bermaksud untuk mengubah ramalan, itu beda cerita lagi, tapi kalau bukan, tidak mungkin akan berubah semudah itu. Sebenarnya, apa benar-benar ada kontradiksi antara kedua ramalan itu? Cobalah untuk mengingatnya dengan baik."


Tidak ada kontradiksi antara kedua ramalan itu? Tapi itu adalah adegan yang sama. Pertunjukan kembang api di Otomigawa. Ketika empat kembang api empat shaku diluncurkan, masing-masing dari kami mengatakan suka dalam kedua ramalan. Apa artinya jika tidak ada kontradiksi?


"Terima kasih. Aku akan coba memikirkannya."


Aku meninggalkan ruangan bergaya Jepang dengan kepala yang masih berputar-putar untuk melihat apakah aku bisa mengungkap kontradiksinya.


"Kalau ada yang ingin ditanyakan lagi, tanyakan kapanpun," kata ayahku dari belakang.


Setelah itu, aku berbaring di tempat tidur di kamarku dan mencoba memikirkannya, tapi tidak bisa menemukan jawabannya.




Selama seminggu berikutnya, aku memikirkan kedua ramalan itu setiap hari, tapi aku tetap pada jawaban bahwa keduanya bertentangan, dan aku memiliki lebih sedikit waktu untuk memikirkannya.


Aku juga mulai terbiasa dengan kehidupan SMA dan mendapatkan teman baru. AKu belum mulai melihat-lihat kegiatan klub, tapi aku berencana untuk bergabung dengan klub sepak bola, sama seperti saat SMP. Karena aku tidak ada kegiatan klub, aku pulang lebih awal.


Ketika aku tiba di rumah dan membuka pintu depan, ibuku berada tepat di depanku.


"Oh, sungguh mengejutkan. Aku pulang."


"Selamat datang. Kamu pulang disaat yang tepat. Bisa kamu membawa ini ke ruang utama untukku?"


Ada sekotak sari buah di depan pintu. Aku yakin kakek dari pihak ibuku, yang tinggal di kota lain dan biasa memberikannya pada kami, kali ini juga memberikannya pada kami.


"Mengerti," jawabku, meletakan tasku di depan pintu dan mengangkat sekotak kardus yang penuh dengan sari buah apel. Kotak kardus itu bertuliskan 30 x 250ml. AKu menghitung di kepalaku bahwa beratnya kira-kira 7,5 kilogram.




Bangunan utama berada tepat di sebelah rumah. Aku menyusuri batu pijakan yang mengarah ke bangunan utama, berhati-hati untuk menjaga langkahku, dan membuka pintu ke bangunan utama, memegang kotak kardus dengan meletakannya di satu lutut. Tidak ada seorang pun di sana. Setelah meletakkan kardus di depan altar, aku pergi ke ruang keluarga dan ada kakek di sana. Ia mematikan radio, yang selalu dinyalakannya, dan tampak sedang melakukan sesuatu.


"Oh, Ryo. Ingin makan ini?" Dengan mengatakan itu, ia menawarkan sepotong manisan Jepang dari mejanya.


"Tidak, aku tidak suka yang manis-manis. Kita mendapat sari buah lagi, jadi aku meletakannya di altar."


"Oh, beitu ya," kakek tertawa ketika ia mengatakan meskipun ia tidak terlalu menyukai sari buah apel.


"Apa itu?" aku melihat sekilas foto kembang api di atas meja di depannya.


"Oh, ini? Ini foto pertunjukan kembang api tahun lalu."


"Hee, siapa yang mengambilnya?"


"Siapa? Tentu saja fotografernya. Kalau aku yang mengambilnya, akan ada dua kembang api."


"Blur?" kataku, sambil tertawa.


"Ya," kata kakek sambil tertawa.


"Seperti yang diharapkan dari seorang profesional. Ia mengambilnya dengan indah, ya."


Kakek mengangguk puas.


"Dari sini, kami akan memilih foto-foto untuk selebaran pertunjukan kembang api tahun ini."


"Apa ini selebaran dari pertunjukan kembang api tahun lalu?"


Selebaran itu memiliki foto satu halaman penuh dari kembang api besar yang jadi pusat pertunjukan, yang dicetak di bagian depan. Tahun sebelumnya, empat kembang api ini berwarna oranye dan beberapa kembang api berwarna merah.


"Ya, benar. Seperti yang kuduga, apa kembang api besar itu bagus?"


Ini mengingatkanku pada kembang api empat shaku yang kulihat pada ramalan terakhir. Itu adalah kembang api dengan garis oranye besar yang menyebar dan akhirnya menghilang dengan sejumlah warna merah muda kecil yang berkelap-kelip.


Aku ingat ramalan yang kulihat ketika aku berusia enam tahun. Kembang api empat shaku yang sama. Garis-garis oranye yang sama. Tapi cahaya berkilau terakhir berwarna hijau, kurasa.


Apa kembang api yang terlihat pada kedua ramalan itu berbeda? Dengan kata lain, itu pertunjukan kembang api yang berbeda? Tidak, itu adalah satu-satunya pertunjukan kembang api yang bisa dilihat dari bukit yang itu.


Pertunjukan kembang api yang sama di Otomigawa tapi beda tahun? Tidak, kalender di kamar Kaede berasal dari tahun ini dan Kaede mengatakan itu dua minggu lagi. Setidaknya Kaede berpikir bahwa ramalan itu adalah pertunjukan kembang api tahun ini. Sulit dipercaya bahwa seorang peramal akan salah tahun.


Kalau begitu......


"Kakek, pertunjukan kembang api di Otomigawa memiliki satu tembakan terakhir dari kembang api sebesar empat shaku, bukan?"


"Ya."


"Itu selalu satu setiap tahun, bukan?"


"Ya."


"Apa mungkin menembakkan dua kembang api? Seperti foto-foto blur yang diambil oleh Kakek. Yah, tidak pada saat yang sama.


"Hah?" Kacamata kakek tergelincir dan ia melihatku dengan ekspresi wajah yang sedikit bodoh.




Pertunjukan kembang api di Otomigawa adalah pertunjukan kembang api tradisional yang telah diadakan setiap tahun selama beberapa dekade, dan dimulai oleh pendeta Shinto leluhur kami untuk mempromosikan perkembangan kota ini dan untuk menenangkan roh-roh. Jadi, bahkan sekarang pertunjukan kembang api ini diselenggarakan oleh kuil kami. Itulah kenapa kakekku yang memilih foto untuk selebaran. Selebarannya belum dibuat, tapi program kembang api sudah diputuskan sampai batas tertentu karena ini adalah acara tahunan.


Ketika aku memberi tahu kakekku tentang ramalan tersebut, ia setuju untuk mengumpulkan panitia penyelenggara.


Kakekku sangat antusias pada hari itu dan menghadiri rapat panitia penyelenggara. Tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku pergi ke bangunan utama untuk melihat kapan ia akan kembali dan duduk di teras menunggunya pulang. Di taman, ada pohon pinus dan wastafel yang sering dirawat kakekku, dan pemandangan kuno membuatku merasa betah di sini.


Setelah menunggu beberapa saat, aku mendengar kehadiran di belakangku. Aku pergi ke ruang keluarga dan mendapati kakekku telah kembali. Ekspresinya tidak bagus. Tampaknya, diskusi tidak berjalan dengan baik.


Program ini belum diputuskan secara resmi, tapi tampaknya sulit untuk membuat perubahan mendadak pada program, yang akan meluncurkan dua kembang api besar. Meskipun usulan penyelenggara tidak dapat diabaikan, namun dikatakan bahwa sangat sulit untuk meluncurkan hanya satu bola berukuran empat shaku yang diluar standar.


Kembang api berukuran empat shaku ini pernah menjadi kembang api terbesar di dunia, dan ada berbagai kendala untuk meluncurkannya, termasuk anggaran dan keamanan. Para teknisi piroteknik diberitahu bahwa hal itu akan sulit, meskipun mereka akan melakukan beberapa penyelidikan. Ia mengatakan padaku bahwa ia harus memesannya setahun sebelumnya.


"Maaf, Ryo."


"Aku mengerti. AKu minta maaf karena meminta sesuatu yang tidak mungkin."


Sepertinya, sangat menyakitkan bagi kakekku tidak memenuhi harapanku - cucunya, dan punggungnya yang tinggi tampak menyusut dan kecil saat ia berjalan kembali ke kamarnya.



"Apa yang harus kulakukan, ya......"


Aspek keselamatan seharusnya sudah diselesaikan, karena pada awalnya direncanakan satu peluncuran.


Aspek anggaran berada di luar kendaliku. Aku mendengar bahwa harga satu kembang api empat shaku lebih dari 2,5 juta yen. Wali kelasku memberi tahu bahwa pekerjaan paruh waktu diperbolehkan di sekolah kami selama kami mengajukannya, tapi hanya ada sekitar tiga bulan sampai pertunjukan kembang api, dan aku tidak mungkin menyiapkan sejumlah uang lebih dari 2,5 juta yen.


Dan jika kita tidak bisa menyiapkan kembang api empat shaku sejak awal, tidak peduli berapa banyak uang yang kita siapkan, kita tidak akan bisa meluncurkan dua kembang api empat shaku.




Setelah makan malam, aku duduk di sofa di ruang keluarga sambil menonton TV dengan linglung.


"Haa......" desahan panjang keluar.


"Aku mendengarnya, lho. Tentang kembang api," ayahku berseru dari balik sofa.


"Ya, sepertinya tidak bisa," jawabku, sambil berbalik.


"Tapi kau sudah mengetahui kontradiksi itu, bukan?"


"Daripada mengetahui, aku hanya berpikir itu tidak akan menciptakan kontradiksi, tapi aku tidak tahu apakah itu benar-benar seperti iyu."


"Kalau Ryo mengatakan demikian, maka pasti begitu. Kau sudah meramalkan hal ini. Ini bukan tentang menemukan jawaban yang benar, ini tentang memberikan jawaban. Itulah jawaban yang tepat, aku yakin."


"Apa memang seperti itu?"


"Begitulah adanya. Jadi, kau ingin meluncurkan dua kembang api besar?"


"Ya, tapi itu tidak akan mudah."


"Lakukanlah agar tidak menyesal," aku merasa ayahku mendukungku.


Inilah yang kupikir harus kulakukan.


"Kupikir aku akan pergi dan menemui ahli kembang api."


Ayahku mengangguk puas. Ia tampak seakan-akan ingin mengatakan, "Itu baru anakku".


Menurut ayahku, sebuah perusahaan bernama Kembang Api Miyamori membuat semua kembang api untuk Festival Kembang Api Otomigawa dan terletak di pegunungan kota ini. Aku menelepon mereka sebelumnya dan membuat janji temu. Ketika aku menyebutkan nama Ichinomiya, mereka setuju untuk bertemu denganku dengan mudah. 

Post a Comment for "Yume no Shizuku to Hoshi no Hana [WN] Chapter 3"